Kamis, 27 Maret 2014

VIDEO UPACARA TRADISI KEAGAMAAN AGAMA HINDU-BUDDHA DI INDONESIA

UPACARA PERNIKAHAN UMAT HINDU DI INDONESIA




UPACARA PERNIKAHAN UMAT BUDDHA DI INDONESIA




UPACARA KREMASI PERABUAN UMAT BUDDHA DI INDONESIA




UPACARA IBADAH TAWUR AGUNG UMAT HINDU

Selasa, 25 Maret 2014

SEJARAH AGAMA HINDDU

Sejarah Agama HinduPrintE-mail
PENGANTAR
Agama Hindu adalah agama yang mempunyai usia terpanjang merupakan agama yang pertama dikenal oleh manusia. Dalam uraian ini akan dijelaskan kapan dan dimana agama itu diwahyukan dan uraian singkat tentang proses perkembangannya. Agama Hindu adalah agama yang telah melahirkan kebudayaan yang sangat kompleks dibidang astronomi, ilmu pertanian, filsafat dan ilmu-ilmu lainnya. Karena luas dan terlalu mendetailnya jangkauan pemaparan dari agama Hindu, kadang-kadang terasa sulit untuk dipahami.
Banyak para ahli dibidang agama dan ilmu lainnya yang telah mendalami tentang agama Hindu sehingga muncul bermacam- macam penafsiran dan analisa terhadap agama Hindu. Sampai sekarang belum ada kesepakatan diantara para ahli untuk menetapkan kapan agama Hindu itu diwahyukan, demikian juga mengenai metode dan misi penyebarannya belum banyak dimengerti.
Penampilan agama Hindu yang memberikan kebebasan cukup tinggi dalam melaksanakan upacaranya mengakibatkan banyak para ahli yang menuliskan tentang agama ini tidak sesuai dengan apa yang sebenarnya ada dalam agama Hindu.
Sebagai Contoh: "Masih banyak para ahli menuliskan Agama Hindu adalah agama yang polytheistis dan segala macam lagi penilaian yang sangat tidak mengenakkan, serta merugikan agama Hindu".
Disamping itu di kalangan umat Hindu sendiripun masih banyak pemahaman-pemahaman yang kurang tepat atas ajaran agama yang dipahami dan diamalkan. Demikianlah tujuan penulisan ini adalah untuk membantu meluruskan pendapat-pendapat yang menyimpang serta pengertian yang belum jelas dari hal yang sebenarnya terhadap agama Hindu.
AGAMA HINDU DI INDIA
Perkembangan agama Hindu di India, pada hakekatnya dapat dibagi menjadi 4 fase, yakni Jaman Weda, Jaman Brahmana, Jaman Upanisad dan Jaman Budha. Dari peninggalan benda-benda purbakala di Mohenjodaro dan Harappa, menunjukkan bahwa orang-orang yang tinggal di India pada jamam dahulu telah mempunyai peradaban yang tinggi. Salah satu peninggalan yang menarik, ialah sebuah patung yang menunjukkan perwujudan Siwa. Peninggalan tersebut erat hubungannya dengan ajaran Weda, karena pada jaman ini telah dikenal adanya penyembahan terhadap  Dewa-dewa.
Jaman Weda dimulai pada waktu bangsa Arya berada di Punjab di Lembah Sungai Sindhu, sekitar 2500 s.d 1500 tahun sebelum Masehi, setelah mendesak bangsa Dravida kesebelah Selatan sampai ke dataran tinggi Dekkan. bangsa Arya telah memiliki peradaban tinggi, mereka menyembah Dewa-dewa seperti Agni, Varuna, Vayu, Indra, Siwa dan sebagainya. Walaupun Dewa-dewa itu banyak, namun semuanya adalah manifestasi dan perwujudan Tuhan Yang Maha Tunggal. Tuhan yang Tunggal dan Maha Kuasa dipandang sebagai pengatur tertib alam semesta, yang disebut "Rta". Pada jaman ini, masyarakat dibagi atas kaum Brahmana, Ksatriya, Vaisya dan Sudra.
Pada Jaman Brahmana, kekuasaan kaum Brahmana amat besar pada kehidupan keagamaan, kaum brahmanalah yang mengantarkan persembahan orang kepada para Dewa pada waktu itu. Jaman Brahmana ini ditandai pula mulai tersusunnya "Tata Cara Upacara" beragama yang teratur. Kitab Brahmana, adalah kitab yang menguraikan tentang saji dan upacaranya. Penyusunan tentang Tata Cara Upacara agama berdasarkan wahyu-wahyu Tuhan yang termuat di dalam ayat-ayat Kitab Suci Weda.
Sedangkan pada Jaman Upanisad, yang dipentingkan tidak hanya terbatas pada Upacara dan Saji saja, akan tetapi lebih meningkat pada pengetahuan bathin yang lebih tinggi, yang dapat membuka tabir rahasia alam gaib. Jaman Upanisad ini adalah jaman pengembangan dan penyusunan falsafah agama, yaitu jaman orang berfilsafat atas dasar Weda. Pada jaman ini muncullah ajaran filsafat yang tinggi-tinggi, yang kemudian dikembangkan pula pada ajaran Darsana, Itihasa dan Purana. Sejak jaman Purana, pemujaan Tuhan sebagai Tri Murti menjadi umum.
Selanjutnya, pada Jaman Budha ini, dimulai ketika putra Raja Sudhodana yang bernama "Sidharta", menafsirkan Weda dari sudut logika dan mengembangkan sistem yoga dan semadhi, sebagai jalan untuk menghubungkan diri dengan Tuhan.
Agama Hindu, dari India Selatan menyebar sampai keluar India melalui beberapa cara. Dari sekian arah penyebaran ajaran agama Hindu sampai juga di Nusantara.
MASUKNYA AGAMA HINDU DI INDONESIA
Berdasarkan beberapa pendapat, diperkirakan bahwa Agama Hindu pertamakalinya berkembang di Lembah Sungai Shindu di India. Dilembah sungai inilah para Rsi menerima wahyu dari Hyang Widhi dan diabadikan dalam bentuk Kitab Suci Weda. Dari lembah sungai sindhu, ajaran Agama Hindu menyebar ke seluruh pelosok dunia, yaitu ke India Belakang, Asia Tengah, Tiongkok, Jepang dan akhirnya sampai ke Indonesia. Ada beberapa teori dan pendapat tentang masuknya Agama Hindu ke Indonesia.
Krom (ahli - Belanda), dengan teori Waisya.
Dalam bukunya yang berjudul "Hindu Javanesche Geschiedenis", menyebutkan bahwa masuknya pengaruh Hindu ke Indonesia adalah melalui penyusupan dengan jalan damai yang dilakukan oleh golongan pedagang (Waisya) India.
Mookerjee (ahli - India tahun 1912).
Menyatakan bahwa masuknya pengaruh Hindu dari India ke Indonesia dibawa oleh para pedagang India dengan armada yang besar. Setelah sampai di Pulau Jawa (Indonesia) mereka mendirikan koloni dan membangun kota-kota sebagai tempat untuk memajukan usahanya. Dari tempat inilah mereka sering mengadakan hubungan dengan India. Kontak yang berlangsung sangat lama ini, maka terjadi penyebaran agama Hindu di Indonesia.
Moens dan Bosch (ahli - Belanda)
Menyatakan bahwa peranan kaum Ksatrya sangat besar pengaruhnya terhadap penyebaran agama Hindu dari India ke Indonesia. Demikian pula pengaruh kebudayaan Hindu yang dibawa oleh para para rohaniwan Hindu India ke Indonesia.
Data Peninggalan Sejarah di Indonesia.
Data peninggalan sejarah disebutkan Rsi Agastya menyebarkan agama Hindu dari India ke Indonesia. Data ini ditemukan pada beberapa prasasti di Jawa dan lontar-lontar di Bali, yang menyatakan bahwa Sri Agastya menyebarkan agama Hindu dari India ke Indonesia, melalui sungai Gangga, Yamuna, India Selatan dan India Belakang. Oleh karena begitu besar jasa Rsi Agastya dalam penyebaran agama Hindu, maka namanya disucikan dalam prasasti-prasasti seperti:
Prasasti Dinoyo (Jawa Timur):
Prasasti ini bertahun Caka 628, dimana seorang raja yang bernama Gajahmada membuat pura suci untuk Rsi Agastya, dengan maksud memohon kekuatan suci dari Beliau.
Prasasti Porong (Jawa Tengah)
Prasasti yang bertahun Caka 785, juga menyebutkan keagungan dan kemuliaan Rsi Agastya. Mengingat kemuliaan Rsi Agastya, maka banyak istilah yang diberikan kepada beliau, diantaranya adalah: Agastya Yatra, artinya perjalanan suci Rsi Agastya yang tidak mengenal kembali dalam pengabdiannya untuk Dharma. Pita Segara, artinya bapak dari lautan, karena mengarungi lautan-lautan luas demi untuk Dharma.
AGAMA HINDU DI INDONESIA
Masuknya agama Hindu ke Indonesia terjadi pada awal tahun Masehi, ini dapat diketahui dengan adanya bukti tertulis atau benda-benda purbakala pada abad ke 4 Masehi denngan diketemukannya tujuh buah Yupa peningalan kerajaan Kutai di Kalimantan Timur. Dari tujuh buah Yupa itu didapatkan keterangan mengenai kehidupan keagamaan pada waktu itu yang menyatakan bahwa: "Yupa itu didirikan untuk memperingati dan melaksanakan yadnya oleh Mulawarman". Keterangan yang lain menyebutkan bahwa raja Mulawarman melakukan yadnya pada suatu tempat suci untuk memuja dewa Siwa. Tempat itu disebut dengan "Vaprakeswara".
Masuknya agama Hindu ke Indonesia, menimbulkan pembaharuan yang besar, misalnya berakhirnya jaman prasejarah Indonesia, perubahan dari religi kuno ke dalam kehidupan beragama yang memuja Tuhan Yang Maha Esa dengan kitab Suci Veda dan juga munculnya kerajaan yang mengatur kehidupan suatu wilayah. Disamping di Kutai (Kalimantan Timur), agama Hindu juga berkembang di Jawa Barat mulai abad ke-5 dengan diketemukannya tujuh buah prasasti, yakni prasasti Ciaruteun, Kebonkopi, Jambu, Pasir Awi, Muara Cianten, Tugu dan Lebak. Semua prasasti tersebut berbahasa Sansekerta dan memakai huruf Pallawa.
Dari prassti-prassti itu didapatkan keterangan yang menyebutkan bahwa "Raja Purnawarman adalah Raja Tarumanegara beragama Hindu, Beliau adalah raja yang gagah berani dan lukisan tapak kakinya disamakan dengan tapak kaki Dewa Wisnu"
Bukti lain yang ditemukan di Jawa Barat adalah adanya perunggu di Cebuya yang menggunakan atribut Dewa Siwa dan diperkirakan dibuat pada masa Raja Tarumanegara. Berdasarkan data tersebut, maka jelas bahwa Raja Purnawarman adalah penganut agama Hindu dengan memuja Tri Murti sebagai manifestasi dari Tuhan Yang Maha Esa. Selanjutnya, agama Hindu berkembang pula di Jawa Tengah, yang dibuktikan adanya prasasti Tukmas di lereng gunung Merbabu. Prasasti ini berbahasa sansekerta memakai huruf Pallawa dan bertipe lebih muda dari prasasti Purnawarman. Prasasti ini yang menggunakan atribut Dewa Tri Murti, yaitu Trisula, Kendi, Cakra, Kapak dan Bunga Teratai Mekar, diperkirakan berasal dari tahun 650 Masehi.
Pernyataan lain juga disebutkan dalam prasasti Canggal, yang berbahasa sansekerta dan memakai huduf Pallawa. Prasasti Canggal dikeluarkan oleh Raja Sanjaya pada tahun 654 Caka (576 Masehi), dengan Candra Sengkala berbunyi: "Sruti indriya rasa", Isinya memuat tentang pemujaan terhadap Dewa Siwa, Dewa Wisnu dan Dewa Brahma sebagai Tri Murti.
Adanya kelompok Candi Arjuna dan Candi Srikandi di dataran tinggi Dieng dekat Wonosobo dari abad ke-8 Masehi dan Candi Prambanan yang dihiasi dengan Arca Tri Murti yang didirikan pada tahun 856 Masehi, merupakan bukti pula adanya perkembangan Agama Hindu di Jawa Tengah. Disamping itu, agama Hindu berkembang juga di Jawa Timur, yang dibuktikan dengan ditemukannya prasasti Dinaya (Dinoyo) dekat Kota Malang berbahasa sansekerta dan memakai huruf Jawa Kuno. Isinya memuat tentang pelaksanaan upacara besar yang diadakan oleh Raja Dea Simha pada tahun 760 Masehi dan dilaksanakan oleh para ahli Veda, para Brahmana besar, para pendeta dan penduduk negeri. Dea Simha adalah salah satu raja dari kerajaan Kanjuruan. Candi Budut adalah bangunan suci yang terdapat di daerah Malang sebagai peninggalan tertua kerajaan Hindu di Jawa Timur.
Kemudian pada tahun 929-947 munculah Mpu Sendok dari dinasti Isana Wamsa dan bergelar Sri Isanottunggadewa, yang artinya raja yang sangat dimuliakan dan sebagai pemuja Dewa Siwa. Kemudian sebagai pengganti Mpu Sindok adalah Dharma Wangsa. Selanjutnya munculah Airlangga (yang memerintah kerajaan Sumedang tahun 1019-1042) yang juga adalah penganut Hindu yang setia.
Setelah dinasti Isana Wamsa, di Jawa Timur munculah kerajaan Kediri (tahun 1042-1222), sebagai pengemban agama Hindu. Pada masa kerajaan ini banyak muncul karya sastra Hindu, misalnya Kitab Smaradahana, Kitab Bharatayudha, Kitab Lubdhaka, Wrtasancaya dan kitab Kresnayana. Kemudian muncul kerajaan Singosari (tahun 1222-1292). Pada jaman kerajaan Singosari ini didirikanlah Candi Kidal, candi Jago dan candi Singosari sebagai sebagai peninggalan kehinduan pada jaman kerajaan Singosari.
Pada akhir abad ke-13 berakhirlah masa Singosari dan muncul kerajaan Majapahit, sebagai kerajaan besar meliputi seluruh Nusantara. Keemasan masa Majapahit merupakan masa gemilang kehidupan dan perkembangan Agama Hindu. Hal ini dapat dibuktikan dengan berdirinya candi Penataran, yaitu bangunan Suci Hindu terbesar di Jawa Timur disamping juga munculnya buku Negarakertagama.
Selanjutnya agama Hindu berkembang pula di Bali. Kedatangan agama Hindu di Bali diperkirakan pada abad ke-8. Hal ini disamping dapat dibuktikan dengan adanya prasasti-prasasti, juga adanya Arca Siwa dan Pura Putra Bhatara Desa Bedahulu, Gianyar. Arca ini bertipe sama dengan Arca Siwa di Dieng Jawa Timur, yang berasal dari abad ke-8.
Menurut uraian lontar-lontar di Bali, bahwa Mpu Kuturan sebagai pembaharu agama Hindu di Bali. Mpu Kuturan datang ke Bali pada abad ke-2, yakni pada masa pemerintahan Udayana. Pengaruh Mpu Kuturan di Bali cukup besar. Adanya sekte-sekte yang hidup pada jaman sebelumnya dapat disatukan dengan pemujaan melalui Khayangan Tiga. Khayangan Jagad, sad Khayangan dan Sanggah Kemulan sebagaimana termuat dalam Usama Dewa. Mulai abad inilah dimasyarakatkan adanya pemujaan Tri Murti di Pura Khayangan Tiga. Dan sebagai penghormatan atas jasa beliau dibuatlah pelinggih Menjangan Salwang. Beliau Moksa di Pura Silayukti.
Perkembangan agama Hindu selanjutnya, sejak ekspedisi Gajahmada  ke Bali (tahun 1343) sampai akhir abad ke-19 masih terjadi pembaharuan dalam teknis pengamalan ajaran agama. Dan pada masa Dalem Waturenggong, kehidupan agama Hindu mencapai jaman keemasan dengan datangnya Danghyang Nirartha (Dwijendra) ke Bali pada abad ke-16. Jasa beliau sangat besar dibidang sastra, agama, arsitektur. Demikian pula dibidang bangunan tempat suci, seperti Pura Rambut Siwi, Peti Tenget dan Dalem Gandamayu (Klungkung).
Perkembangan selanjutnya, setelah runtuhnya kerajaan-kerajaan di Bali pembinaan kehidupan keagamaan sempat mengalami kemunduran. Namun mulai tahun 1921 usaha pembinaan muncul dengan adanya Suita Gama Tirtha di Singaraja. Sara Poestaka tahun 1923 di Ubud Gianyar, Surya kanta tahun1925 di SIngaraja, Perhimpunan Tjatur Wangsa Durga Gama Hindu Bali tahun 1926 di Klungkung, Paruman Para Penandita tahun 1949 di Singaraja, Majelis Hinduisme tahun 1950 di Klungkung, Wiwadha Sastra Sabha tahun 1950 di Denpasar dan pada tanggal 23 Pebruari 1959 terbentuklah Majelis Agama Hindu. Kemudian pada tanggal 17-23 Nopember tahun 1961 umat Hindu berhasil menyelenggarakan Dharma Asrama para Sulinggih di Campuan Ubud yang menghasilkan piagam Campuan yang merupakan titik awal dan landasan pembinaan umat Hindu. Dan pada tahun 1964 (7 s.d 10 Oktober 1964), diadakan Mahasabha Hindu Bali dengan menetapkan Majelis keagamaan bernama Parisada Hindu Bali dengan  menetapkan Majelis keagamaan bernama Parisada Hindu Bali, yang selanjutnya menjadi Parisada Hindu Dharma Indonesia.
Direproduksi kembali dari buku Tuntunan Dasar Agama Hindu (milik Departemen Agama)
Disusun oleh: Drs. Anak Agung Gde Oka Netra
 

PENGARUH PERKEMBANGAN AGAMA DAN KEBUDAYAAN HINDU-BUDDHA DI INDONESIA


PENGARUH PERKEMBANGAN AGAMA DAN KEBUDAYAAN HINDU-BUDHA TERHADAP MASYARAKAT DI BERBAGAI DAERAH DI INDONESIA
PROSES MASUKNYA AGAMA DAN KEBUDAYAAN HINDU-BUDHA DI KEPULAUAN INDONESIA.


Hubungan Indonesia dengan india telah terjalin sejak abad pertama masehi. Hubungan ini mula-mula terjadi di bidang perdagangan dan berkembang ke bidang agama dan kebudayaan. Orang-orang india membawa barang dagangan seperti wangi-wangian, tekstil, mutiara dan permata untuk di jual di Indonesia. Sementara dari Indonesia mereka membeli barang seperti kayu cendana, kayu gaharu, cengkeh dan lada. Sejalan dengan berkembangnya hubungan kedua Negara masuk pula agama dan kebudayaan India ke Indonesia seperti agama hindu, budha, bahasa sansekerta, huruf palawa dan nama-nama berakhiran warama.
Masuknya pengaruh india ke Indonesia berjalan lancar dan berkembang dengan baik. Hal ini disebabkan adanya persamaan kebudaayaan antara india dengan Indonesia. Kebudayaan india dengan Indonesia tidak jauh berbeda corak dan ragamnya. Masuknya kebudayaan india ke Indonesia makin memperkaya khazanah budaaya Indonesia.
Hubungan Indonesia-India yang telah terjalin berabad-abad membawa dampak sebagai berikut :
Masuknya agama hindu-budha
Masuknya bahasa sansekerta dan huruf palawa
Munculnya kerajaan-kerajaan bercorak hindu-budha
Munculnya nama berakhiran warman
Wilayah perdagangan makin luas dan ramai
Perkembangan feodalisme makin cepat
Kemajuan kebudayaan asli lebih cepat terutama bidang agama.
Berkembangnya hubungan india-indonesia bukan bersifat kebetulan melainkan didorong oleh factor-faktor lain sebagai berikut :
Iklim
Iklim memiliki peranan yang cukup penting terhadap terjadinya hubungan Indonesia dengan india. Pada saat Indonesia musim hujan orang-orang india melakukan pelayaran dan perdagangan ke Indonesia dengan memanfaatkan angin muson. Sesampainya di Indonesia para pedagang india mulai mengumpulkan barang-barang dagangan untuk dibawa pulang ke negaranya. Mereka tinggal di Indonesia biasanya sampai 6 bulan karena hasrat menunggu angin yang berganti arah ke barat india.
Karena lamanya tinggal di Indonesia para pedagang india ada yang menikah dengan penduduk pribumi dan memiliki keturunan di Indonesia. Selain berdagang, pedagang india juga aktif menyebarkan agama hindu maupun budha di Indonesia. Mereka tidak mengalami kesulitan ketika menyebarkan agama sebab para pedagang india ini lama hidup ditengah-tengah masyarakat sambil menanti datangnya angin ke arah barat.
Letak Indonesia
posisi Indonesia pada persimpangan jalan perdagangan internasional antara eropa dan asia. Posisi semacam ini sangat menguntungkan Indonesia karena selalu terlibat dalam percaturan perdagangan internasional khususnya antara india-indonesia-china.
Pengaruh Perguruan Tinggi Nalanda
Perguruan Tinggi Nalanda di india memiliki daya tarik tersendiri bagi orang-orang Indonesia yang hendak belajar memperdalam agama budha. Pada masa Balaputradewa (Sriwijaya) memiliki peranan yang sangat penting dalam pengembangan agama Budha. Orang-orang Indonesia yang belajar di Nalanda dibuatkan asrama sebagai tempat tinggal mereka di india. Dengan demikian hubungan india dengan Indonesia sudah mulai melebar ke dalam bidang agama baik hindu maupun budha.
Agama hindu
Agama hindu di india muncul sebagai akibat adanya perpaduan antara kepercayaan bangsa arya dan bangsa dravida. Bangsa arya adalah bangsa pendatang dan bangsa dravida  adalah bangsa asli india. Hubungan kedua bangsa di bidang kepercayaan melahirkan kepercayaan baru yakni Hindu.
Hindu mengenal adanya pemujaan para dewa. Diantara para dewa yang paling di puja adalah Brahma, Wisnu dan Siwa yang sering disebut trimurti. Diantara ketiga dewa tersebut yang paling banyak di puja adalah dewa siwa (siwa mahadewa).
Agama hindu mengenal kitab suci yang disebut Weda (pengetahuan tertinggi). Weda dibedakan menjadi empat himpunan sebagai berikut :
Rigweda, berisi syair-syair pujian terhadap para dewa.
Samawesa, beridi syair-syair dari Rigweda, tetapi sudah diberi tanda-tanda nada agar dapat dinyanyikan.
Yajurweda, berisi doa-doa pengatar sesaji kepada para dewa yang diiringi penyajian Rigweda dan nyanyian Samaweda
Atharwaweda, berisi mantra-mantra dan jampi-jampi untuk sihir dan ilmu gaib untuk mengusir musuh dan penyakit.
Sementara masyarakat hindu dibedakan menjadi 4 kasta, yakni :
Kasta Brahmana (para pendeta)
Kasta Ksatria (raja, bangsawan dan prajurit)
Kasta Waisya (pedagang dan buruh menengah), dan
Kasta Sudra (petani dan buruh kecil)
Pembagian masyarakat menjadi empat kasta sebenarnya bukan dari ajaran Hindu, melainkan upaya bangsa arya agar darah keturunannya tidak ternoda oleh keturunan bangsa Dravida. Oleh karena itu diadakan pengelompokan berdasarkan status social mereka dalam masyarakat.
Teori-Teori tentang Masuknya Agama Hindu di Indonesia
Agama hindu masuk ke Indonesia dibawa oleh orang-orang india. Yang menjadi pertanyaan dari golongan manakah mereka ini? Sebab di dalam hindu tidak semua orang bisa/boleh menyiarkan hindu. Oleh karena itu para ahli menyimpulkan adanya beberapa teori tentang masuknya agama hindu ke Indonesia. Yakni :
Teori Brahmana
Menurut teori ini agama hindu masuk ke Indonesia dibawa oleh golongan Bramana sebab hanya golongan inilah yang berhak mempelajari dan menyebarkan agama hindu. Teori ini dikemukakan oleh Van Leur. Yang menjadi pertanyaan adalah bagaimana golongan brahmana ini bisa sampai ke Indonesia, sebab mestinya mereka ini tidak boleh meninggalkan tanah airnya.
Teori Waysia
Menurut teori ini agama hindu masuk ke Indonesia dibawa oleh para pedagang india. Mereka datang ke Indonesia untuk berdagang, namun disela-sela waktu berdagang mereka memanfaatkan untuk menyebarkan agama. Apalagi para pedagang india yang ada di Indonesia tidak hanya satu atau dua minggu tinggal di Indonesia melainkan sampai enam bulan sambil menunggu  datangnya angin yang membawa mereka ke arah barat. Nah, selama mereka tinggal di Indonesia mereka gunakan untuk menyebarkan agama di sela-sela kegitan perdagangan mereka.
Teori Ksatria
Teori ksatria didukung oleh Nehru dan majundar. Menurut teori ini golongan ksatria india melakukan kolonisasi atau penaklukan-penaklukan di luar india, termasuk Indonesia. Di daerah taklukan inilah mereka menyebarkan agama hindu. Teori ksatria disebut pula teori kolonisasi.
Teori Sudra
Menurut teori ini kaum sudra meninggalkan negerinya karena ingin mencari penghidupan yang lebih baik di Negara lain. Sebab mereka ini kelompok masyarakat india yang menjadi korban system kasta. Golongan sudra merupakan golongan mayoritas. Namun karena kedudukan mereka dipandang sebagai golongan masyarakat bawah mereka tidak banyak mendapat kesempatan dalam pemerintahan. Mereka keluar india kemudian menyebarkan agama di daerah yang mereka singgahi, termasuk Indonesia.
Dari ke-4 teori ini yang mendekati kebenaran adalah teori Brahmana
Teori Masuknya Agama Budha
Agama Budha lebih terbuka sifatnya ketimbang agama Hindu. Artinya siapa saja bisa mengembangkan ajaran agama Budha tanpa harus memandang dari golongan mana mereka ini
Agama Budha masuk ke Indonesia lebih awal ketimbang Hindu. Diperkirakan budha masuk ke Indonesia abab 2M. pendapat ini didasarkan pada penemuan patung Budha di Sempaga, Sulawesi Selatan abad 2M. namun dalam perkembangannya agama budha terdesak oleh hindu yang baru masuk abad 4M. agama budha mulai berkembang abad 7M ditandai dengan berdirinya kerajaan sriwijaya.
Lalu siapa yang membawa agama budha sampai ke Indonesia? Berikut ini pendapat yang mendukungnya.
Para pedagang
Hubungan india dengan Indonesia yang terjalin sejak awal abad masehi menyebabkan masuknya pengaruh india ke Indonesia bidang agama. Orang-orang india yang paling besar peranannya terhadap masuknya pengaruh budha ke Indonesia ialah para pedagang. Mereka inilah kelompok masyarakat yang paling luwes bergaul dengan masyarakat lain di Indonesia sehingga lewat merka ini pula agama budha masuk dan berkembang di Indonesia.
Dharmaduta
Selain lewat perdagangan, agama budha masuk ke Indonesia melalui petugas khusus yaitu Dharmaduta. Mereka ini lebih paham tentang ajaran mereka dan memiliki keahlian tersendiri bagaimana dia harus menyebarkan agama ditengah-tengah masyarakat.
Dampak Perkembangan Hindu dan Budha di Indonesia
Bidang politik
Munculnya kerajaan-kerajaan yang bercorak hindu dan Budha seperti kutai, tarumanegara, mataram, majapahit dan sriwijaya.
Munculnya system kemaharajaan sehingga seorang pemimpin tidak dipilih dengan demokratis melainkan turun-temurun.
Munculnya feodalisme
Bidang Agama
Kepercayaan animisme dan dinamisme yang berkembang sebelum masuk hindu-budha mulai menyatu dengan hindu-budha (sinkritisme)
Munculnya aliran tantrayana di jawa timur seperti yang dianut oleh kertanegara dari singosari
Munculnya pemujaan para dewa yang sebelumnya tidak dikenal dalam masyarakat dinamisme dan animisme.
Bidang Seni Bangun
Dampak masuknya Hindu-Budha di Indonesia ialah munculnya bangunan-bangunan berupa candi. Candi berasal dari kata candika yaitu dewi durga (istri siwa) dia sebagai dewi maut. Maka candi fungsinya untuk memuliakan orang mati missal araj atau orang terkemuka. Sedang bagi agama budha candi berfungsi sebagai tempat pemujaan dewa. Munculnya bangunan-bangunan candi di Indonesia merupakan dampak masuknya hindu dan budha di Indonesia.
Bidang Seni Rupa
Bidang seni sastra mengalami perkembangan sangat pesat sejak masuknya hindu dan budha. Pembuatan candi dan patung yang disertai relief merupakan bagian yang tak terpisahkan dengan bidang seni rupa. Pada candi Borobudur terdapat relief sidharta Gautama dan di candi prambanan terdapat relief yang mengisahkan Ramayana dan krenayana.
Bidang sastra dan aksara
Sejak msauknya agama hindu dan budha di Indonesia, bahasa sansekerta dan huruf palawa mulai digunakan dalam penulisan prasasti dan kitab sastra, misalnya : prasasti kutai, prasasti  tugu, prasasti kebun kopi, prasasti canggal, dan lain-lain. Sementara kitab-kitab sastra baru muncul pada zaman airlangga dan mencapai puncaknya pada zaman Kediri dan majapahit. Dalam perkembangannya bahasa sansekerta dan huruf palawa mengalami akulturasi dengan bahasa dan huruf jawa sehingga munculah bahasa jawa kuno dan huruf jawa kuno.
Bidan Kalender
Masuknya hindu dan budha berdampak pula pada penggunaan tahun saka dalam system perhitungan waktu di Indonesia. Tahun saka dimulai pertama kalu pada tahun 78M pada masa raja Kanisca I di india.
Ketika hindu berkembang di Indonesia, penggunaan tahun saka di masyarakat sudah banyak. Namun penggunaan tahun saka mulai berkurang lagi ketika masuk di Indonesia.
Bidan Perdagangan
Masuknya hindu dan budha di Indonesia makin memperluas wilayah perdagangan di Indonesia. Hal ini disebabkan masuknya Hindu ke Indonesia terkait dengan masuknya pedagang india ke Indonesia.
Bidang Sosial Masyarakat
Sejak masuknya pengaruh hindu di Indonesia, pembagian kelompok masyarakat berdasarkan kasta mulai dianut sebagian masyarakat Indonesia yang beragama hindu. Penggolongan masyarakat berdasarkan system kasta ini didasarkan atas kedudukan seseorang dalam masyarakat atau karena keturunan.
PERKEMBANGAN TRADISI HINDU-BUDHA DENGAN PERUBAHAN STRUKTUR SOSIAL MASYARAKAT, PENDIDIKAN, KESENIAN, DAN TEKNOLOGI PADA MASA KERAJAAN-KERAJAAN BERCORAK HINDU-BUDHA
Perkembangan agama hindu-budha di Indonesia membawa perubahan besar bagi kehidupan masyarakat di Indonesia sebenarnya masyarakat di Indonesia telah memiliki tingkat kemampuan dasar yang patut dibanggakan sebelum masuknya hindu dan budha.
Unsur-unsur pokok yang dimiliki masyarakat sebagaimana yang dikemukakakan Dr. Brandes meliputi :
Kemampuan bercocok tanam
Wayang
Seni gamelan
Kepandaian membatik
Kemampuan mengolah logam
Macapat
Perdagangan
Pelayaran
Astronomi
Kemasyarakatan (gotong royong)
Setelah hindu dan budha berkembang di Indonesia kemampuan masyarakat Indonesia makin berkembang karena berinteraksi dan berakulturasi dengan tradisi hindu dan budha.
Struktur masyarakat
Perkembangan hindu dan budha membawa perubahan baru bagi struktur masyarakat di Indonesia seperti :
Golongan raja
Raja dan keturunannya merupakan kelompok masyarakat elit yang menikmati berbagai macam fasilitas dan kemudahan. Raja dianggap sebagai keturunan dewa di bumi, oleh karena itu setiap perkataan dan perintahnya selalu didengan oleh rakyatnya. Sebagai penguasa raja berhak mendapatkan hak-hak istimewa seperti upeti, pajak, menjadi penguasa perdagangan, dan sebagainya. Munculnya golongan raja di masyarakat masa hindu merupakan fenomena baru bagi masyarakat di Indonesia karena sebelumnya tidak pernah ada.
Golongan Bangsawan
Mereka terdiri atas kerabat kerajaan atau keturunan darah biru, termasuk didalamnya para adipati/penguasa daerah. Di dalam masyarakat golongan bangsawan termasuk kelompok istimewa walaupun mereka bukan termasuk penguasa. Mereka juga berhak atas fasilitas dan kemudahan dibangdingkan masyarakat biasa.
Golongan Masyarakat Kebanyakan
Umumnya mereka adalah masyarakat biasa yang tidak memiliki hak-hak istimewa sebagaimana golongan sebagaimana golongan sebelumnya. Golongan masyarakat ini merupakan kelompok bawah yang banyak beban dan tanggung jawabnya. Sementara hak-hak mereka kadang-kadang tidak diperhatikan.
System Kasta
Suatu hal istimewa dalam masyarakat hindu adalah munculnya system kasta dalam masyarakat. Masyarakat hindu terbagi menjadi empat tingkatan berdasarkan satus social mereka dalam masyarkat yaitu kasta Bramana, Ksatria, Waisya, dan Sudra.
Bhiksu dan Bhiksuni
Bhiksu dan Bhiksuni adalah pemeluk agama Budha yang telah berhasil meninggalkan sifat keduniawiannya dan telah menempati tempat tersendiri, yaitu biara. Para bhiksu (laki-laki) dan bhiksuni (perempuan) harus menaati aturan-aturan yang telah ditentukan dalam biara, mereka tidak bisa bebas sebagaimana masyarakat umum.
Upasaka-Upasika
Adalah masyarkat budha yang tingkatannya masih seperti masyarakat kebanyakan. Mereka tidak begitu terikat dengan aturan-aturan seperti para bhiksu dan bhiksuni. Mereka adalah mayarakat awam yang belum banyak memperoleh atau memahami tentang ajaran agama budha.
Pendidikan
Perkembangan hindu dan budha di Indonesia memiliki peranan yang sangat besar terhadap pendidikan di Indonesia. Hal ini dapat dibuktikan dengan hal-hal berikut :
Masuknya huruf palawa dan bahasa sansekerta yang kemudian dijadikan sebagai penulisan dalam prasasti di Indonesia. Ditemukannya prasasti yang bertuliskan huruf palawa dan bahasa sansekerta menjadi tonggak sejarah masyarakat Indonesia dari masa prasejarah ke masa sejarah.
Prasasti-prasasti yang berhasil ditemukan akhirnya berhasil dipelajari dan dibaca serta diketahui isinya. Hal ini secara tidak langsung telah memberikan nilai pendidikan kepada masyarakat Indonesia.
Munculnya golongan bramana dalam masyarakat
Brahmana adalah golongan pendeta, guru, pengajar yang memberikan nasehat ajaran agama hindu. Sebagai seorang penyiar agama, para brahmana memiliki andil yang cukup besar dalam proses pendidikan di Indonesia. Munculnya para pujangga, yang banyak jasanya dalam pengembangan kesusastraan adalah bagian dari pendudukan.
Kesenian
Masuknya hindu dan budha memiliki andil yang sangat besar bagi perkembangan kesenian di Indonesia, baik itu seni pahat, seni bangunan maupun senin sastra. Perkembangan seni bangunan ditandai dengan berdirinya bangunan candi, seperti candi prambanan dan Borobudur. Dua bangunan megah ini merupakan bukti nyata kemajuan di bidang seni bangunan.
Sementara seni pahat/ukir dapat dilihat pada relief candi Borobudur maupun prambanan. Ternyata gambar relief yang ada pada candi tersebut memiliki arti dan makna tersendiri. Adapun pengaruhnya di bidang sastra berkembang pesat pada zaman Kediri dan majapahit. Banyak di buku-buku sastra yang ditulis para pujangga baik di Kediri maupun di majapahit.
Teknologi
Kemampuan masyarakat pada masa hindu dan budha di bidang teknologi telah menghasilkan beberapa peninggalan yang sangat membanggakan. Bukti-bukti yang masih dapat kita saksikan adalah peninggalan candi Borobudur, prambanan dan lain-lain. Pembangunan Borobudur dan prambanan sulit terwujud bila tidak didukung kemampuan yang tinggi bidang teknologi
Arca, relief dan ukiran batu bisa tertata rapid an urut serta serasi memerlukan keahlian tersendiri. Selain candi bukti-bukti kemajuan bidang teknologi masyarakat masa hindu adalah kemahiran membuat wayang dan system irigasi. Peninggalan-peninggalan tersebut menunjukan bahwa masyarakat masa hindu telah memiliki kemampuan di bidang teknologi.
(Sour

MAKALAH TOKOH BUDDHISME




BAB I
PENDAHULUAN
1.            Latar Belakang

Bagi Mahasiswa yang telah mempelajari Hinduisme tidak akan heran ketika mendengar tokoh yang sangat kontras sekali dengan zamannya yaitu Sidharta Gautama. Karena dalam periodesasi agama Hindu dikenal dengan zaman Buddha.  Namun sekaligus mendapati kesulitan-kesulitan dalam menguraikan gambaran historis mengenai Sidharta Gautama ini, yang diyakini sebagai pendiri agama Buddha.
Kesulitan-kesulitan itu timbul karena sangat sedikitnya mengenai sumber-sumber sejarah asli yang membahas tentang Sidharta Gautama. Terutama sekali di India, -tempat lahir Sang Buddha- ide atau budaya tentang penulisan biografi tidak dikenal di dalam perpustakaannya. Meskipun begitu, penulis tidak berkecil hati, melalui beberapa sumber yang telah tersedia diantaranya karya Ven Narada Mahathera, berusaha memilah dan memilih mana yang menjadi kajian sejarah. Namun demikian, bukan berarti yang tercantum di sini boleh dipercaya dan yang tidak itu dianggap tidak dapat dipercaya. Penulis berusaha mencoba sebisa mungkin untuk objektif dalam artian dapat diterima umum, dan semoga mendapatakan penerangan mengenai riwayat Hidup Sang Budha.



2.            Rumusan Masalah

1.      Bagaimana kehidupan tokoh sang Buddha?
2.      Bagaimana tokoh sang Buddha mendapat penerangan tinggi?
3.      Bagaimana tokoh sang budha mengajarkan Dharma?


3.            Tujuan Masalah

1.      Mengetahui kehidupan tokoh sang Buddha
2.      Mengetahui tokoh sang Buddha dalam mendapat penerangan tinggi
3.      Mengetahui tokoh sang Budha dalam mengajarkan Dharma


4.            Manfaat

Pembaca dapat mengetahui makalah ini mengenai  kehidupan tokoh Sang Buddha, tokoh Sang Buddha dalam mendapat penerangan dan tokoh Sang Buddha dalam mengajarkan Dharma.





BAB II
PEMBAHASAN

1.     Kehidupan Sang Buddha ( Sidharta Gautama )

Saat bulan purnama pada Mei, tahun 623 SM di taman  Lumbini. Kapilavastthu diperbatasan India yang sekarang merupakan wilayah Nepal lahir seorang pangeran mulia yang sudah ditunggu-tunggu oleh sang raja bernama Suddhodana dari keluarga Sakya dan istrinya Ratu Maha Maya.[1]
Dikisahkan sebelum kelahiran Sidharta, pada suatu pesta Maya mengucapkan sumpah kesucian dan meminta kepada Suddhodana untuk tidak menunjukan rasa cintanya (melakukan hubungan suami-istri) lagi. Pada malam berikutnya terjadilah penurunan biji secara gaib pada bulan  purnama dan di bawah bintang mengkara. Bodhisattva, dalam wujud seekor gajah putih masuk-dengan penuh kesadaran- ke dalam rahim Maya yang pada saat itu sedang sendirian dikamarnya. Maya hanya merasakan itu seperti mimpi. Di dalam mimpinya itu ia pergi ke Himalaya dan di sana ia diperliahara oleh para dewa dewi yang kemudian tiba-tiba ia dalam keadaan hamil.[2] Dalam kisah lain disebutkan, ia bermimpi bertemu dengan seekor anak gajah dan menari bersamanya. Maya mengajak suaminya ke sebuah hutan dan menceritakan peristiwa itu padanya, bahkan para Brahmana meramalkan bahwa anak yang akan dilahirkannya ini akan menjadi raja besar dan menguasai seluruh dunia. Sebelum masa lahirnya, banyak sekali terjadi keajaiban-keajaiban dan bahkan Maya menjadi sumber pengobatan bagi orang-orang. Ketika masa bersalin semakin dekat, Maya pergi ke taman Lumbini untuk menemui kedua orang tuanya yang berada di desa Lumbini. Pada saat melintasi taman, tiba-tiba ia merasa akan melahirkan kemudian ia melahirkan sambil berdiri dan memgang sebuah pohon.
Ada yang mengatakan bahwa sebelum melahirkan Sidartha, Maya mendapatkan sebuah visi untuk pergi ke sebuah hutan dan melahirkan di sana. Dalam proses melahirkan terjadi keajaiban-keajaiban, ketika Maya akan melahirkan tiba-tiba sebuah batang pohon menunduk sehingga ia dapat berpegangan pada batang tersebut. Maya pun melahirkan tanpa darah, dan bayinya pun sudah dalam keadaan bersih. Bayi itu pun, yang tidak lain adalah Sidharta berjalan sebanyak 7 langkah dan berbicara bahwa ia tidak akan dilahirkan kembali serta akan melepaskan seluruh manusia dari samsara. Ketika ia berjalan dan menginjak bunga teratai yang mati seketika itu pun bunga itu tumbuh lagi.[3]
Tujuh hari setelah kelahiran Sidharta, Maya akhirnya wafat karena dia hanya sebagai tempat untuk kedatangan sang Buddha ke dunia. Kepengasuhanya ditugaskan kep ada adik ratu, Maha Pajapati Gotami yang juga dinikahi oleh raja Suddhodana.
Rakyat sangat bahagia atas kelahiran sang pangeran yang telah ditunggu-tunggu  ini. Bahkan seorang pertapa yang telah mencapai spiritual yang tinggi, Asita, yang dikenalKaladevala pun mengunjungi bayi itu. Raja, merasa terhormat atas kedatangan gurunya yang tidak terduga itu. Ia membawa bayi untuk memberikan salam, tetapi di luar dugaan kaki bayi memutar dan menempel di atas rambut pertapa. Pertapa itu pun mendapatkan visi bahwa kelak bayi ini akan menjadi Buddha, seorang yang mencapai Penerangan Sempurna. Namun, ayahnya tidak setuju, karena ia ingin anaknya menjadi raja yang menguasai seluruh negeri. Akhirnya, pertapa itu pun pergi memberikan salam dengan merangkapkan kedua belah tangan.
Pada hari kelima kelahiran Pangeran, ia diberi nama Siddarttha Gotama. Siddhartaartinya keinginan yang terpenuhi dan Gotama merupakan nama keluarganya.
                
                        Ketika usia Siddharta mencapai 16 tahun, ia menikah dengan saudara sepupunya yang seusia, Yashodara. Hampir selama 13 tahun setelah pernikahnya dia hidup dengan bahagia, dalam kemewahan dan tidak pernah merasakan kesedihan, kekurangan. Ia dikarunia seorang anak. Ia hidup dalam istana tanpa pernah tahu apa yang terjadi di luar istana.[4]
Seiring berjalannya waktu, pada akhirnya kenyataan itu pun nampak. Suatu ketika Ia ingin keluar istana, tetapi ayahnya tidak mengijinkan. Atas desakan dan paksaan dari Siddharta akhirnya diijinkalah keluar. Namun, ayahnya merekayasa keadaan di luar istana, yang boleh muncul dihadapannya adalah orang yang masih muda, dan gagah perkasa. Dalam acara penyambutan sang pangeran, ternyata ada dua orang yang sudah tua, yang satu buta dan satu lagi pincang. Siddharta terkejut dan menanyakan kepada ajudannya, Channa tentang mereka. Kemudian Channa menjelaskan bahwa mereka adalah manusia seperti kita, hanya usia mereka sudah tua. Sekembalinya ke istana, Siddharta marah kepada ayahnya karena selama ini dia menyembunyikan keadaan sebenarnya yang terjadi di luar istana. Ayahnya menjelaskan dengan sangat lembut tanpa nada tinggi bahwa apa yang dilakukanya adalah kasih sayang kepada Siddharta.
Istana bukan lagi tempat yang menyenangkan bagi Siddharta yang sedang melakukan perenungan. Kehidupan istana yang begitu mempesona tidak dapat menjawab segala kegundahan yang dialami oleh Siddharta. Dia meyakini punya peranan penting ketimbang sebagai raja Kapilavastthu. Istri muda, anak yang terkasih tidak dapat menghalangi dan mengubah keputusannya untuk melakukan perenungan di luar istana. Waktu untuk meninggalkan keduniawian sudah tiba.
Ketika malam di mana Siddharta akan melakukan perjalanan suci yang bersejarah, tiba-tiba awan hitam menyelimuti kerajaan sehingga semua orang yang tinggal dikerajaan tertidur pulas. Kemudian Siddharta membangunkan Channa untuk menyiapkan kuda Kanthaka lalu pergi ke gerbang istana. Sebelum meninggalkan istana, Siddharta pergi ke kamarnya berdiri dengan tenang memandang istri  dan anaknya yang tidur nyenyak. Dia sangat menyayangi keduanya, namun kasih sayang kepada umat manusia lebih mendominasinya untuk menyelamatkan mereka dari segala penderitaan.
Pada saat usia 29 tahun, Siddharta melaksanakan perjalanan bersejarah itu. Beliau pergi jauh, menyeberangi sungai Anoma dan beristirahat di tepi sungai. Di sini beliau mencukur rambut dan janggutnya serta memberikan pakaian dan perhiasaan kepada Channa dengan menyuruh agar ia kembali ke istana, selanjutnya ia mengenakan pakaian kuning sederhana untuk menjalani kehidupan miskin.
Siddhartha sebelum melakukan pertapaan, hidup dalam kemewahan dan bergelimang harta. Tapi kini ia menjadi seorang papa, hidup dari pemberian para dermawan atas kemauan mereka sendiri.
Siddharta tidak mempunyai tempat tinggal tetap. Siang atau malam pohin yang rindang atau gua menjadi tempat berteduh sementara. Tanpa alas kaki dan tudung kepala berjalan di bawah sengatan matahari dan kadang dingin yang menusuk.
Beberapa tahun, ia jalani sebagai pertapa. Pada akhirnya ia menemukan seorang pertapa yang terkenal, Alara kalama untuk membimbingnya mencapai Kesunyataan. Lama Siddharta berguru pada Kalama, tetapi tidak sampai pada pemahaman Kesunyataan tertinggi.
Usaha ini menenangkan pikirannya tetapi tidak dapat menjawab segala kegundahan yang dia rasakan yaitu menemukan obat untuk menghilangkan penderitaan.


2.      Tokoh Sang Buddha Mendapatkan Penerangan Tertinggi

Ketika dia berhasil keluar dari istana dan bertekad menjadi seorang pertapa, ia telah siap menerima segala resikonya. Walaupun menjumpai kekecewaan tetapi tidak mengecilkan hati pertapa Gotama, untuk mencari dan menemukan makna dari kehidupan ini. Pengembaraannya melalui daerah Maghada dan tiba di daerah Uruvela (kota dagang Senani). Di sana ia menemukan sebuah tempat yang dianggap cocok untuk meditasi, sebuah hutan belukar yang sangat rimbun dengan pepohonan seperti belum terjamah oleh manusia.
Mula-mula ia melakukan olah pernapasan dan pantangan makan. Pada fase pertama ia melakukan pantangan makan secara ekstrim. Kemudian ia menjadi terkenal sebagai pertapa yang suci sehingga diikuti oleh lima pertapa lain yang kemudian menjadi murid-muridnya generasi pertama yaitu Kondana, Bodiya,  Wappam Mahanama dan Asaji. Selama enam tahun mereka menahan lapar dan haus tidak makan dan minum, sehinnga tubuh mereka semakin melemah. Bahkan begitu kerasnya puasa yang dia lakukan, ketika menyentuh pusarnya maka ia dapat merasaakan tulang punggungnya. Tiba-tiba Siddharta jatuh pingsan sehingga murid-muridnya mengira bahwa ia telah mati. Namun ia sadar kembali dan menyadari bahwa apa yang dilakukannya selama ini tidak bermanfaat[5].
Ada yang mengatakan bahwa ketika ia sedang melakukan meditasi, melintaslah seorang pujangga yang sedang memetik dawainya. Ia menyadari jika senar itu diikatkan terlalu keras, maka yang terjadi putus dan jika terlalu kendor maka tidak akan menghasilkan bunyi yang bagus tidak sedap didengarkan. Namun hal imi, membuat  kelima muridnya goncang dan meninggalkan dia sendiri. Siddharta melakukan jalan tengah, karena ia menyadari bahwa Penerangan Sempurna tidak dapat dicapai dengan tubuh yang amat lelah seperti ini. Kesehatan jasmani perlu sekali untuk kemajuan batin. Jadi dia memutuskan untuk memberikan makan secara sedikit-sedikit kepada tubuhnya.[6]
Pada suatu malam di bulan Waisak, ketika purnama di tepi sungai Neranjara, Siddharta yang kala itu berusia 35 tahun, duduk padmasana di bawah pohon Assatta(pohon Bodi) sambil mengheningkan cipta melakukan meditasi dengan mengatur pernapasannya, sehingga ia mendapatkan penerangan sempurna meliputi pengetahuan yang tinggi,[7] yaitu :
a.       Pubbenivasanussati, yaitu pengetahuan tentang kehidupan dan proses kelahiran kembali (tumiba lahir)
b.      Dibacakkhu, yaitu pengetahuan dari mata dewa dan mata batin
c.       Cuti upapatana, yaitu pengetahuan bahwa timbul dan hilangnya bentuk-bentuk kehidupan, baik atau buruk, bergantung pada perilaku masing-masing
d.      Asvakkhayanana, pengetahuan tentang padamnya semua kecenderungan dan Adviya, tentang menghilangkan ketidaktahuan.
Setelah tujuh minggu menetap dengan tujuh kali bergeser tempat di sekeliling Pohon Bodi, maka hari terkakhir dari peristiwa yang suci itu, datanglah dua saudara, Tapusa dab Bhaluka yang terpesona melihat Sang Buddha. Kemudian keduanya mempersembahkan nasi, makanan dan madu serta memohon untuk menjadi pengikutnya. Itulah pengikut Buddha yang pertama.
Dengan demikian, ia mendapatkan penerangan yang paripurna, pengetahuan sejati dan kebebasan batin sempurna. Dia telah mendapatkan jawaban atas teka-teki kehidupan yang selama ini dia cari dengan pengertian penuh sebagaimana tercantum dalam empat “kasunyataan mulia” yaitu Penderitaan, Sumber Penderitaan, Lenyapnya penderitaan dan delapan cara yang utama untuk melenyapkan penderitaan itu.


3.     Bagaimana tokoh Sang Buddha mengajarkan Dharma

Pada suatu ketika setelah tercapainya Penerangan, Sang Buddha berada di kaki pohon Ajapala banyan ditepi sungai Neranjara. Karena beliau sedang bermeditasi sendiri, pikiran semacam ini muncul dalam benaknya, apakah untuk dirinya sendiri ; atau apakah dia bertanggung jawab untuk mengajar orang lain? Setelah sejumlah perdebatan dengan dirinya sendiri, dia memilih menjadi guru Dharma. Formulasi paling dasar wawasannya adalah Empat Kebenaran Utama. Semua kehidupan adalah penderitaan. Penyebab penderitaan adalah keinginan. Menghilangkan keinginan berarti menghilangkan penderitaan. Cara menghilangkan penderitaan adalah dengan mengikuti Delapan Jalan yang utama : pandangan yang benar, perhatian yang benar, berkata yang benar, bertindak yang benar, hidup yang benar, berusaha yang benar, berpikiran yang benar dan berkonsentrasi yang benar[8].
Ajaran Buddha selalu merujuk pada Empat Kebenaran Utama. Ajaran ini menggunakan Delapan Jalan sebagai rangsangan untuk melengkapi bentuk agama yang lengkap dan utuh yang difokuskan pada tiga perhatian utama : kebijaksanaan, moralitas dan meditasi. Buddha menghabiskan separuh akhir hidupnya mengajarkan apa yang telah dipelajarinya. Motifnya adalah keinginan yang besar agar semua makhluk hidup memperoleh penerangan seperti yang diberikan padanya. Dibanding dengan cahaya yang menyinarinya, tidak ada yang bersifat dunia yang dapat mempengaruhinya. Karenanya dia berkelana dalam kesunyianm mengemis untuk makan, mengajarkan mereka yang ingin mendengarkan solusinya terhadap masalah keberadaan manusia.[9]
Selama 45 tahun lamanya Sang Buddha mengajarkan ajaran-ajaranya, pengikutnya semakin bertambah dari sekitar 60 orang anggota sangha menjadi ribuan orang yang tentunya memerlukan banyak Vihara. Pada akhirnya Siddharta wafat usia 80 tahun di Kusiwara yang terletak sekitar 180 Km kota Benares. Ia meninggal tanpa menunjukan siapa yang akan menjadi penerus setelahnya, terjadilah perpecahan dihari kemudian ke pada dua golongan, yaitu Theravada (Hinayana) dan Mahasangika (Mahayana


BAB III
PENUTUP

Pada saat dia mendirikan sebuah komunitas penting yang terdri dari para pendeta, Siddharta sangat puas dengan perannya sebagai guru Dharm, pemrakarsa Ketertiban terhadap model kehidupan yang diberkat. Jika cahaya adalah simbol sentral dalam pengalaman jiwa yang membuat dia menjadi seorang Buddha, kedamaian tampaknya mendominasi penampilan luarnya. Dia sangat ramah, lembut tetapi sangat tegas ketika menyangkut tentang kebenaran religius.
Siddharta mungkin menggunakan intuisinya untuk menunjukan peran penting kerukunan, dari pemahamannya yang dicerahkan bagi sifat alami manusia. Siddharta memikirkan kelompoknya sebagai sebuah kelompok demokrasi dalam artian bahwa dia menginginkan mereka untuk berkumpul lebih sering, supaya melakukan hal-hal yang perlu dilakukan agar dapat mempertahankan ketertiban.
Keheningan yang kita temukan dalam diri Siddharta dan kejujuran konservatif yang terbingkai dari khotbah-khotbahnya, dipahami sebagai ekspresi keseimbangan di dalam jiwa. Keseimbangan itu membuat dia menyatakat memiliki kebijaksanaan persuasif.


DAFTAR KEPUSTAKAAN

1. Mukti, Khrishnanda, Wacana Hindu-Buddha.  Jakarta : Yayasan Dharma Pembangunan, 2003.
2. Ali, Mukti Agama-agama Dunia. Yogyakarta : PT. Hanindita.
3. http://buddhisme.wordpress.com
4. Ali, Abdullah, Agama dalam Ilmu Perbandingan, Bandung : Penerbit                NUANSA AULIA, 2007,



[1]  Mukti, Khrishnanda, Wacana Hindu-Buddha.  Jakarta : Yayasan Dharma Pembangunan, 2003, hal 104
[2]  Ali, Abdullah, Agama dalam Ilmu Perbandingan, Bandung : Penerbit NUANSA AULIA, 2007, hal, 175
[3]  Ali, Mukti Agama-agama Dunia. Yogyakarta : PT. Hanindita, 1988, hal 115
[4] Ali, Abdullah, Agama dalam Ilmu Perbandingan, Bandung : Penerbit NUANSA AULIA, 2007, hal,159
[5]  Ali, Mukti Agama-agama Dunia. Yogyakarta : PT. Hanindita, 1988, hal108
[6] Mukti, Khrishnanda, Wacana Hindu-Buddha.  Jakarta : Yayasan Dharma Pembangunan, 2003, hal 108
[7] Ali, Abdullah, Agama dalam Ilmu Perbandingan, Bandung : Penerbit NUANSA AULIA, 2007, hal,160
[8] Ali, Mukti Agama-agama Dunia. Yogyakarta : PT. Hanindita, 1988, hal 112
[9] Mukti, Khrishnanda, Wacana Hindu-Buddha.  Jakarta : Yayasan Dharma Pembangunan, 2003, hal 106