BAB I
PENDAHULUAN
1.
Latar
Belakang
Bagi Mahasiswa yang telah
mempelajari Hinduisme tidak akan heran ketika mendengar tokoh yang sangat
kontras sekali dengan zamannya yaitu Sidharta Gautama. Karena dalam periodesasi
agama Hindu dikenal dengan zaman Buddha. Namun sekaligus mendapati
kesulitan-kesulitan dalam menguraikan gambaran historis mengenai Sidharta
Gautama ini, yang diyakini sebagai pendiri agama Buddha.
Kesulitan-kesulitan itu timbul karena sangat sedikitnya mengenai
sumber-sumber sejarah asli yang membahas tentang Sidharta Gautama. Terutama
sekali di India, -tempat lahir Sang Buddha- ide atau budaya tentang penulisan
biografi tidak dikenal di dalam perpustakaannya. Meskipun begitu, penulis tidak
berkecil hati, melalui beberapa sumber yang telah tersedia diantaranya karya Ven Narada Mahathera, berusaha memilah dan memilih mana yang menjadi kajian sejarah. Namun
demikian, bukan berarti yang tercantum di sini boleh dipercaya dan yang tidak
itu dianggap tidak dapat dipercaya. Penulis berusaha mencoba sebisa mungkin
untuk objektif dalam artian dapat diterima umum, dan semoga mendapatakan
penerangan mengenai riwayat Hidup Sang Budha.
2.
Rumusan Masalah
1.
Bagaimana kehidupan tokoh sang Buddha?
2.
Bagaimana tokoh sang Buddha mendapat penerangan
tinggi?
3.
Bagaimana tokoh sang budha mengajarkan Dharma?
3.
Tujuan Masalah
1.
Mengetahui kehidupan tokoh sang Buddha
2.
Mengetahui tokoh sang Buddha dalam mendapat
penerangan tinggi
3.
Mengetahui tokoh sang Budha dalam mengajarkan
Dharma
4.
Manfaat
Pembaca dapat mengetahui makalah ini
mengenai kehidupan tokoh Sang Buddha,
tokoh Sang Buddha dalam mendapat penerangan dan tokoh Sang Buddha dalam
mengajarkan Dharma.
BAB II
PEMBAHASAN
1.
Kehidupan Sang Buddha ( Sidharta Gautama )
Saat bulan purnama pada
Mei, tahun 623 SM di taman Lumbini. Kapilavastthu diperbatasan India yang sekarang merupakan wilayah Nepal lahir
seorang pangeran mulia yang sudah ditunggu-tunggu oleh sang raja bernama Suddhodana dari
keluarga Sakya dan istrinya Ratu Maha Maya.[1]
Dikisahkan sebelum kelahiran Sidharta, pada suatu pesta Maya mengucapkan
sumpah kesucian dan meminta kepada Suddhodana untuk tidak
menunjukan rasa cintanya (melakukan hubungan suami-istri) lagi. Pada malam berikutnya
terjadilah penurunan biji secara gaib pada bulan purnama dan di
bawah bintang mengkara. Bodhisattva, dalam wujud seekor gajah putih masuk-dengan
penuh kesadaran- ke dalam rahim Maya yang pada saat itu sedang sendirian
dikamarnya. Maya hanya merasakan itu seperti mimpi. Di dalam mimpinya itu ia pergi ke
Himalaya dan di sana ia diperliahara oleh para dewa dewi yang kemudian
tiba-tiba ia dalam keadaan hamil.[2]
Dalam kisah lain disebutkan, ia bermimpi bertemu dengan seekor anak gajah dan
menari bersamanya. Maya mengajak suaminya ke sebuah hutan dan menceritakan
peristiwa itu padanya, bahkan para Brahmana meramalkan bahwa anak yang akan
dilahirkannya ini akan menjadi raja besar dan menguasai seluruh dunia. Sebelum
masa lahirnya, banyak sekali terjadi keajaiban-keajaiban dan bahkan Maya
menjadi sumber pengobatan bagi orang-orang. Ketika masa bersalin semakin dekat,
Maya pergi ke taman Lumbini untuk menemui kedua orang tuanya yang berada di
desa Lumbini. Pada saat melintasi taman, tiba-tiba ia merasa akan melahirkan
kemudian ia melahirkan sambil berdiri dan memgang sebuah pohon.
Ada yang mengatakan bahwa sebelum melahirkan Sidartha, Maya mendapatkan
sebuah visi untuk pergi ke sebuah hutan dan melahirkan di sana. Dalam proses
melahirkan terjadi keajaiban-keajaiban, ketika Maya akan melahirkan tiba-tiba
sebuah batang pohon menunduk sehingga ia dapat berpegangan pada batang
tersebut. Maya pun melahirkan tanpa darah, dan bayinya pun sudah dalam keadaan
bersih. Bayi itu pun, yang tidak lain adalah Sidharta berjalan sebanyak 7
langkah dan berbicara bahwa ia tidak akan dilahirkan kembali serta akan
melepaskan seluruh manusia dari samsara. Ketika ia berjalan dan
menginjak bunga teratai yang mati seketika itu pun bunga itu tumbuh lagi.[3]
Tujuh hari setelah kelahiran Sidharta, Maya akhirnya wafat karena dia hanya
sebagai tempat untuk kedatangan sang Buddha ke dunia. Kepengasuhanya ditugaskan
kep ada adik ratu, Maha Pajapati Gotami yang juga dinikahi
oleh raja Suddhodana.
Rakyat sangat bahagia atas kelahiran sang pangeran yang telah
ditunggu-tunggu ini. Bahkan seorang pertapa yang telah mencapai
spiritual yang tinggi, Asita, yang dikenalKaladevala pun
mengunjungi bayi itu. Raja, merasa terhormat atas kedatangan gurunya yang tidak
terduga itu. Ia membawa bayi untuk memberikan salam, tetapi di luar dugaan kaki
bayi memutar dan menempel di atas rambut pertapa. Pertapa itu pun mendapatkan visi bahwa
kelak bayi ini akan menjadi Buddha, seorang yang mencapai Penerangan Sempurna.
Namun, ayahnya tidak setuju, karena ia ingin anaknya menjadi raja yang
menguasai seluruh negeri. Akhirnya, pertapa itu pun pergi memberikan salam
dengan merangkapkan kedua belah tangan.
Pada hari
kelima kelahiran Pangeran, ia diberi nama Siddarttha Gotama. Siddhartaartinya
keinginan yang terpenuhi dan Gotama merupakan nama
keluarganya.
Ketika usia Siddharta mencapai 16 tahun, ia menikah dengan saudara
sepupunya yang seusia, Yashodara. Hampir selama 13 tahun setelah pernikahnya
dia hidup dengan bahagia, dalam kemewahan dan tidak pernah merasakan kesedihan,
kekurangan. Ia dikarunia seorang anak. Ia hidup dalam istana tanpa pernah tahu
apa yang terjadi di luar istana.[4]
Seiring berjalannya waktu, pada akhirnya kenyataan itu pun nampak. Suatu
ketika Ia ingin keluar istana, tetapi ayahnya tidak mengijinkan. Atas desakan
dan paksaan dari Siddharta akhirnya diijinkalah keluar. Namun, ayahnya
merekayasa keadaan di luar istana, yang boleh muncul dihadapannya adalah orang
yang masih muda, dan gagah perkasa. Dalam acara penyambutan sang pangeran, ternyata
ada dua orang yang sudah tua, yang satu buta dan satu lagi pincang. Siddharta
terkejut dan menanyakan kepada ajudannya, Channa tentang mereka. Kemudian
Channa menjelaskan bahwa mereka adalah manusia seperti kita, hanya usia mereka
sudah tua. Sekembalinya ke istana, Siddharta marah kepada ayahnya karena selama
ini dia menyembunyikan keadaan sebenarnya yang terjadi di luar istana. Ayahnya
menjelaskan dengan sangat lembut tanpa nada tinggi bahwa apa yang dilakukanya
adalah kasih sayang kepada Siddharta.
Istana bukan lagi tempat yang menyenangkan bagi Siddharta yang sedang
melakukan perenungan. Kehidupan istana yang begitu mempesona tidak dapat
menjawab segala kegundahan yang dialami oleh Siddharta. Dia meyakini punya
peranan penting ketimbang sebagai raja Kapilavastthu. Istri
muda, anak yang terkasih tidak dapat menghalangi dan mengubah keputusannya
untuk melakukan perenungan di luar istana. Waktu untuk meninggalkan keduniawian
sudah tiba.
Ketika malam di mana Siddharta akan melakukan perjalanan suci yang
bersejarah, tiba-tiba awan hitam menyelimuti kerajaan sehingga semua orang yang
tinggal dikerajaan tertidur pulas. Kemudian Siddharta membangunkan Channa untuk
menyiapkan kuda Kanthaka lalu pergi ke gerbang istana. Sebelum meninggalkan
istana, Siddharta pergi ke kamarnya berdiri dengan tenang memandang istri dan
anaknya yang tidur nyenyak. Dia sangat menyayangi keduanya, namun kasih sayang
kepada umat manusia lebih mendominasinya untuk menyelamatkan mereka dari segala
penderitaan.
Pada saat usia 29 tahun, Siddharta melaksanakan perjalanan bersejarah itu.
Beliau pergi jauh, menyeberangi sungai Anoma dan beristirahat di tepi sungai.
Di sini beliau mencukur rambut dan janggutnya serta memberikan pakaian dan
perhiasaan kepada Channa dengan menyuruh agar ia kembali ke istana, selanjutnya
ia mengenakan pakaian kuning sederhana untuk menjalani kehidupan miskin.
Siddhartha sebelum melakukan pertapaan, hidup dalam kemewahan dan
bergelimang harta. Tapi kini ia menjadi seorang papa, hidup dari pemberian para
dermawan atas kemauan mereka sendiri.
Siddharta tidak mempunyai tempat tinggal tetap. Siang atau malam pohin yang
rindang atau gua menjadi tempat berteduh sementara. Tanpa alas kaki dan tudung
kepala berjalan di bawah sengatan matahari dan kadang dingin yang menusuk.
Beberapa tahun, ia jalani sebagai pertapa. Pada akhirnya ia menemukan
seorang pertapa yang terkenal, Alara kalama untuk membimbingnya mencapai
Kesunyataan. Lama Siddharta berguru pada Kalama, tetapi tidak sampai pada
pemahaman Kesunyataan tertinggi.
Usaha ini menenangkan pikirannya tetapi tidak dapat menjawab segala
kegundahan yang dia rasakan yaitu menemukan obat untuk menghilangkan
penderitaan.
2.
Tokoh Sang Buddha Mendapatkan Penerangan
Tertinggi
Ketika dia berhasil keluar dari istana dan bertekad menjadi seorang
pertapa, ia telah siap menerima segala resikonya. Walaupun menjumpai kekecewaan
tetapi tidak mengecilkan hati pertapa Gotama, untuk mencari dan menemukan makna
dari kehidupan ini. Pengembaraannya melalui daerah Maghada dan tiba di daerah Uruvela
(kota dagang Senani). Di sana ia menemukan sebuah tempat yang dianggap cocok
untuk meditasi, sebuah hutan belukar yang sangat rimbun dengan pepohonan
seperti belum terjamah oleh manusia.
Mula-mula ia melakukan olah pernapasan dan pantangan makan. Pada fase
pertama ia melakukan pantangan makan secara ekstrim. Kemudian ia menjadi
terkenal sebagai pertapa yang suci sehingga diikuti oleh lima pertapa lain yang
kemudian menjadi murid-muridnya generasi pertama yaitu Kondana,
Bodiya, Wappam Mahanama dan Asaji. Selama enam tahun mereka menahan
lapar dan haus tidak makan dan minum, sehinnga tubuh mereka semakin melemah.
Bahkan begitu kerasnya puasa yang dia lakukan, ketika menyentuh pusarnya maka
ia dapat merasaakan tulang punggungnya. Tiba-tiba Siddharta jatuh pingsan
sehingga murid-muridnya mengira bahwa ia telah mati. Namun ia sadar kembali dan
menyadari bahwa apa yang dilakukannya selama ini tidak bermanfaat[5].
Ada yang mengatakan bahwa ketika ia sedang melakukan meditasi, melintaslah
seorang pujangga yang sedang memetik dawainya. Ia menyadari jika senar itu
diikatkan terlalu keras, maka yang terjadi putus dan jika terlalu kendor maka
tidak akan menghasilkan bunyi yang bagus tidak sedap didengarkan. Namun hal
imi, membuat kelima muridnya goncang dan meninggalkan dia sendiri.
Siddharta melakukan jalan tengah, karena ia menyadari bahwa Penerangan Sempurna
tidak dapat dicapai dengan tubuh yang amat lelah seperti ini. Kesehatan jasmani
perlu sekali untuk kemajuan batin. Jadi dia memutuskan untuk memberikan makan
secara sedikit-sedikit kepada tubuhnya.[6]
Pada suatu malam di bulan Waisak, ketika purnama di tepi sungai Neranjara,
Siddharta yang kala itu berusia 35 tahun, duduk padmasana di
bawah pohon Assatta(pohon Bodi) sambil mengheningkan cipta
melakukan meditasi dengan mengatur pernapasannya, sehingga ia mendapatkan
penerangan sempurna meliputi pengetahuan yang tinggi,[7]
yaitu :
a. Pubbenivasanussati, yaitu pengetahuan tentang
kehidupan dan proses kelahiran kembali (tumiba lahir)
b. Dibacakkhu, yaitu pengetahuan dari
mata dewa dan mata batin
c. Cuti upapatana, yaitu pengetahuan bahwa
timbul dan hilangnya bentuk-bentuk kehidupan, baik atau buruk, bergantung pada
perilaku masing-masing
d. Asvakkhayanana, pengetahuan tentang
padamnya semua kecenderungan dan Adviya, tentang menghilangkan ketidaktahuan.
Setelah tujuh minggu menetap dengan tujuh kali bergeser tempat di
sekeliling Pohon Bodi, maka hari terkakhir dari peristiwa yang suci itu,
datanglah dua saudara, Tapusa dab Bhaluka yang terpesona melihat Sang Buddha.
Kemudian keduanya mempersembahkan nasi, makanan dan madu serta memohon untuk
menjadi pengikutnya. Itulah pengikut Buddha yang pertama.
Dengan demikian, ia mendapatkan penerangan yang paripurna, pengetahuan
sejati dan kebebasan batin sempurna. Dia telah mendapatkan jawaban atas
teka-teki kehidupan yang selama ini dia cari dengan pengertian penuh
sebagaimana tercantum dalam empat “kasunyataan mulia” yaitu Penderitaan, Sumber
Penderitaan, Lenyapnya penderitaan dan delapan cara yang utama untuk
melenyapkan penderitaan itu.
3.
Bagaimana tokoh Sang Buddha mengajarkan Dharma
Pada suatu ketika setelah tercapainya Penerangan, Sang Buddha berada di
kaki pohon Ajapala banyan ditepi sungai Neranjara. Karena beliau sedang
bermeditasi sendiri, pikiran semacam ini muncul dalam benaknya, apakah untuk
dirinya sendiri ; atau apakah dia bertanggung jawab untuk mengajar orang lain?
Setelah sejumlah perdebatan dengan dirinya sendiri, dia memilih menjadi guru
Dharma. Formulasi paling dasar wawasannya adalah Empat Kebenaran Utama. Semua
kehidupan adalah penderitaan. Penyebab penderitaan adalah keinginan.
Menghilangkan keinginan berarti menghilangkan penderitaan. Cara menghilangkan
penderitaan adalah dengan mengikuti Delapan Jalan yang utama : pandangan yang
benar, perhatian yang benar, berkata yang benar, bertindak yang benar, hidup
yang benar, berusaha yang benar, berpikiran yang benar dan berkonsentrasi yang
benar[8].
Ajaran Buddha selalu merujuk pada Empat Kebenaran Utama. Ajaran ini
menggunakan Delapan Jalan sebagai rangsangan untuk melengkapi bentuk agama yang
lengkap dan utuh yang difokuskan pada tiga perhatian utama : kebijaksanaan,
moralitas dan meditasi. Buddha menghabiskan separuh akhir hidupnya mengajarkan
apa yang telah dipelajarinya. Motifnya adalah keinginan yang besar agar semua
makhluk hidup memperoleh penerangan seperti yang diberikan padanya. Dibanding
dengan cahaya yang menyinarinya, tidak ada yang bersifat dunia yang dapat
mempengaruhinya. Karenanya dia berkelana dalam kesunyianm mengemis untuk makan,
mengajarkan mereka yang ingin mendengarkan solusinya terhadap masalah
keberadaan manusia.[9]
Selama 45 tahun lamanya Sang Buddha mengajarkan ajaran-ajaranya,
pengikutnya semakin bertambah dari sekitar 60 orang anggota sangha menjadi
ribuan orang yang tentunya memerlukan banyak Vihara. Pada akhirnya Siddharta
wafat usia 80 tahun di Kusiwara yang terletak sekitar 180 Km kota Benares. Ia
meninggal tanpa menunjukan siapa yang akan menjadi penerus setelahnya,
terjadilah perpecahan dihari kemudian ke pada dua golongan, yaitu Theravada
(Hinayana) dan Mahasangika (Mahayana
BAB III
PENUTUP
Pada saat dia
mendirikan sebuah komunitas penting yang terdri dari para pendeta, Siddharta
sangat puas dengan perannya sebagai guru Dharm, pemrakarsa Ketertiban terhadap model kehidupan yang diberkat. Jika
cahaya adalah simbol sentral dalam pengalaman jiwa yang membuat dia menjadi
seorang Buddha, kedamaian tampaknya mendominasi penampilan luarnya. Dia sangat
ramah, lembut tetapi sangat tegas ketika menyangkut tentang kebenaran religius.
Siddharta
mungkin menggunakan intuisinya untuk menunjukan peran penting kerukunan, dari
pemahamannya yang dicerahkan bagi sifat alami manusia. Siddharta memikirkan
kelompoknya sebagai sebuah kelompok demokrasi dalam artian bahwa dia menginginkan
mereka untuk berkumpul lebih sering, supaya melakukan hal-hal yang perlu
dilakukan agar dapat mempertahankan ketertiban.
Keheningan yang
kita temukan dalam diri Siddharta dan kejujuran konservatif yang terbingkai
dari khotbah-khotbahnya, dipahami sebagai ekspresi keseimbangan di dalam jiwa.
Keseimbangan itu membuat dia menyatakat memiliki kebijaksanaan persuasif.
DAFTAR KEPUSTAKAAN
1.
Mukti,
Khrishnanda, Wacana
Hindu-Buddha. Jakarta : Yayasan Dharma Pembangunan, 2003.
2.
Ali, Mukti Agama-agama
Dunia. Yogyakarta : PT. Hanindita.
3. http://buddhisme.wordpress.com
4. Ali,
Abdullah, Agama dalam Ilmu Perbandingan, Bandung : Penerbit NUANSA AULIA, 2007,
[1] Mukti, Khrishnanda, Wacana Hindu-Buddha. Jakarta : Yayasan Dharma
Pembangunan, 2003, hal 104
[2] Ali, Abdullah, Agama dalam Ilmu
Perbandingan, Bandung : Penerbit NUANSA AULIA, 2007, hal, 175
[3] Ali, Mukti Agama-agama Dunia. Yogyakarta : PT. Hanindita, 1988, hal 115
[4]
Ali, Abdullah, Agama dalam Ilmu Perbandingan, Bandung : Penerbit NUANSA
AULIA, 2007, hal,159
[5] Ali, Mukti Agama-agama Dunia. Yogyakarta : PT. Hanindita, 1988, hal108
[6]
Mukti, Khrishnanda, Wacana Hindu-Buddha. Jakarta : Yayasan Dharma Pembangunan, 2003,
hal 108
[7]
Ali, Abdullah, Agama dalam Ilmu Perbandingan, Bandung : Penerbit NUANSA
AULIA, 2007, hal,160
[8]
Ali, Mukti Agama-agama
Dunia. Yogyakarta : PT. Hanindita, 1988, hal
112
[9]
Mukti, Khrishnanda, Wacana Hindu-Buddha. Jakarta : Yayasan Dharma Pembangunan, 2003,
hal 106
Tidak ada komentar:
Posting Komentar