Selasa, 25 Maret 2014

MAKALAH TOKOH BUDDHISME




BAB I
PENDAHULUAN
1.            Latar Belakang

Bagi Mahasiswa yang telah mempelajari Hinduisme tidak akan heran ketika mendengar tokoh yang sangat kontras sekali dengan zamannya yaitu Sidharta Gautama. Karena dalam periodesasi agama Hindu dikenal dengan zaman Buddha.  Namun sekaligus mendapati kesulitan-kesulitan dalam menguraikan gambaran historis mengenai Sidharta Gautama ini, yang diyakini sebagai pendiri agama Buddha.
Kesulitan-kesulitan itu timbul karena sangat sedikitnya mengenai sumber-sumber sejarah asli yang membahas tentang Sidharta Gautama. Terutama sekali di India, -tempat lahir Sang Buddha- ide atau budaya tentang penulisan biografi tidak dikenal di dalam perpustakaannya. Meskipun begitu, penulis tidak berkecil hati, melalui beberapa sumber yang telah tersedia diantaranya karya Ven Narada Mahathera, berusaha memilah dan memilih mana yang menjadi kajian sejarah. Namun demikian, bukan berarti yang tercantum di sini boleh dipercaya dan yang tidak itu dianggap tidak dapat dipercaya. Penulis berusaha mencoba sebisa mungkin untuk objektif dalam artian dapat diterima umum, dan semoga mendapatakan penerangan mengenai riwayat Hidup Sang Budha.



2.            Rumusan Masalah

1.      Bagaimana kehidupan tokoh sang Buddha?
2.      Bagaimana tokoh sang Buddha mendapat penerangan tinggi?
3.      Bagaimana tokoh sang budha mengajarkan Dharma?


3.            Tujuan Masalah

1.      Mengetahui kehidupan tokoh sang Buddha
2.      Mengetahui tokoh sang Buddha dalam mendapat penerangan tinggi
3.      Mengetahui tokoh sang Budha dalam mengajarkan Dharma


4.            Manfaat

Pembaca dapat mengetahui makalah ini mengenai  kehidupan tokoh Sang Buddha, tokoh Sang Buddha dalam mendapat penerangan dan tokoh Sang Buddha dalam mengajarkan Dharma.





BAB II
PEMBAHASAN

1.     Kehidupan Sang Buddha ( Sidharta Gautama )

Saat bulan purnama pada Mei, tahun 623 SM di taman  Lumbini. Kapilavastthu diperbatasan India yang sekarang merupakan wilayah Nepal lahir seorang pangeran mulia yang sudah ditunggu-tunggu oleh sang raja bernama Suddhodana dari keluarga Sakya dan istrinya Ratu Maha Maya.[1]
Dikisahkan sebelum kelahiran Sidharta, pada suatu pesta Maya mengucapkan sumpah kesucian dan meminta kepada Suddhodana untuk tidak menunjukan rasa cintanya (melakukan hubungan suami-istri) lagi. Pada malam berikutnya terjadilah penurunan biji secara gaib pada bulan  purnama dan di bawah bintang mengkara. Bodhisattva, dalam wujud seekor gajah putih masuk-dengan penuh kesadaran- ke dalam rahim Maya yang pada saat itu sedang sendirian dikamarnya. Maya hanya merasakan itu seperti mimpi. Di dalam mimpinya itu ia pergi ke Himalaya dan di sana ia diperliahara oleh para dewa dewi yang kemudian tiba-tiba ia dalam keadaan hamil.[2] Dalam kisah lain disebutkan, ia bermimpi bertemu dengan seekor anak gajah dan menari bersamanya. Maya mengajak suaminya ke sebuah hutan dan menceritakan peristiwa itu padanya, bahkan para Brahmana meramalkan bahwa anak yang akan dilahirkannya ini akan menjadi raja besar dan menguasai seluruh dunia. Sebelum masa lahirnya, banyak sekali terjadi keajaiban-keajaiban dan bahkan Maya menjadi sumber pengobatan bagi orang-orang. Ketika masa bersalin semakin dekat, Maya pergi ke taman Lumbini untuk menemui kedua orang tuanya yang berada di desa Lumbini. Pada saat melintasi taman, tiba-tiba ia merasa akan melahirkan kemudian ia melahirkan sambil berdiri dan memgang sebuah pohon.
Ada yang mengatakan bahwa sebelum melahirkan Sidartha, Maya mendapatkan sebuah visi untuk pergi ke sebuah hutan dan melahirkan di sana. Dalam proses melahirkan terjadi keajaiban-keajaiban, ketika Maya akan melahirkan tiba-tiba sebuah batang pohon menunduk sehingga ia dapat berpegangan pada batang tersebut. Maya pun melahirkan tanpa darah, dan bayinya pun sudah dalam keadaan bersih. Bayi itu pun, yang tidak lain adalah Sidharta berjalan sebanyak 7 langkah dan berbicara bahwa ia tidak akan dilahirkan kembali serta akan melepaskan seluruh manusia dari samsara. Ketika ia berjalan dan menginjak bunga teratai yang mati seketika itu pun bunga itu tumbuh lagi.[3]
Tujuh hari setelah kelahiran Sidharta, Maya akhirnya wafat karena dia hanya sebagai tempat untuk kedatangan sang Buddha ke dunia. Kepengasuhanya ditugaskan kep ada adik ratu, Maha Pajapati Gotami yang juga dinikahi oleh raja Suddhodana.
Rakyat sangat bahagia atas kelahiran sang pangeran yang telah ditunggu-tunggu  ini. Bahkan seorang pertapa yang telah mencapai spiritual yang tinggi, Asita, yang dikenalKaladevala pun mengunjungi bayi itu. Raja, merasa terhormat atas kedatangan gurunya yang tidak terduga itu. Ia membawa bayi untuk memberikan salam, tetapi di luar dugaan kaki bayi memutar dan menempel di atas rambut pertapa. Pertapa itu pun mendapatkan visi bahwa kelak bayi ini akan menjadi Buddha, seorang yang mencapai Penerangan Sempurna. Namun, ayahnya tidak setuju, karena ia ingin anaknya menjadi raja yang menguasai seluruh negeri. Akhirnya, pertapa itu pun pergi memberikan salam dengan merangkapkan kedua belah tangan.
Pada hari kelima kelahiran Pangeran, ia diberi nama Siddarttha Gotama. Siddhartaartinya keinginan yang terpenuhi dan Gotama merupakan nama keluarganya.
                
                        Ketika usia Siddharta mencapai 16 tahun, ia menikah dengan saudara sepupunya yang seusia, Yashodara. Hampir selama 13 tahun setelah pernikahnya dia hidup dengan bahagia, dalam kemewahan dan tidak pernah merasakan kesedihan, kekurangan. Ia dikarunia seorang anak. Ia hidup dalam istana tanpa pernah tahu apa yang terjadi di luar istana.[4]
Seiring berjalannya waktu, pada akhirnya kenyataan itu pun nampak. Suatu ketika Ia ingin keluar istana, tetapi ayahnya tidak mengijinkan. Atas desakan dan paksaan dari Siddharta akhirnya diijinkalah keluar. Namun, ayahnya merekayasa keadaan di luar istana, yang boleh muncul dihadapannya adalah orang yang masih muda, dan gagah perkasa. Dalam acara penyambutan sang pangeran, ternyata ada dua orang yang sudah tua, yang satu buta dan satu lagi pincang. Siddharta terkejut dan menanyakan kepada ajudannya, Channa tentang mereka. Kemudian Channa menjelaskan bahwa mereka adalah manusia seperti kita, hanya usia mereka sudah tua. Sekembalinya ke istana, Siddharta marah kepada ayahnya karena selama ini dia menyembunyikan keadaan sebenarnya yang terjadi di luar istana. Ayahnya menjelaskan dengan sangat lembut tanpa nada tinggi bahwa apa yang dilakukanya adalah kasih sayang kepada Siddharta.
Istana bukan lagi tempat yang menyenangkan bagi Siddharta yang sedang melakukan perenungan. Kehidupan istana yang begitu mempesona tidak dapat menjawab segala kegundahan yang dialami oleh Siddharta. Dia meyakini punya peranan penting ketimbang sebagai raja Kapilavastthu. Istri muda, anak yang terkasih tidak dapat menghalangi dan mengubah keputusannya untuk melakukan perenungan di luar istana. Waktu untuk meninggalkan keduniawian sudah tiba.
Ketika malam di mana Siddharta akan melakukan perjalanan suci yang bersejarah, tiba-tiba awan hitam menyelimuti kerajaan sehingga semua orang yang tinggal dikerajaan tertidur pulas. Kemudian Siddharta membangunkan Channa untuk menyiapkan kuda Kanthaka lalu pergi ke gerbang istana. Sebelum meninggalkan istana, Siddharta pergi ke kamarnya berdiri dengan tenang memandang istri  dan anaknya yang tidur nyenyak. Dia sangat menyayangi keduanya, namun kasih sayang kepada umat manusia lebih mendominasinya untuk menyelamatkan mereka dari segala penderitaan.
Pada saat usia 29 tahun, Siddharta melaksanakan perjalanan bersejarah itu. Beliau pergi jauh, menyeberangi sungai Anoma dan beristirahat di tepi sungai. Di sini beliau mencukur rambut dan janggutnya serta memberikan pakaian dan perhiasaan kepada Channa dengan menyuruh agar ia kembali ke istana, selanjutnya ia mengenakan pakaian kuning sederhana untuk menjalani kehidupan miskin.
Siddhartha sebelum melakukan pertapaan, hidup dalam kemewahan dan bergelimang harta. Tapi kini ia menjadi seorang papa, hidup dari pemberian para dermawan atas kemauan mereka sendiri.
Siddharta tidak mempunyai tempat tinggal tetap. Siang atau malam pohin yang rindang atau gua menjadi tempat berteduh sementara. Tanpa alas kaki dan tudung kepala berjalan di bawah sengatan matahari dan kadang dingin yang menusuk.
Beberapa tahun, ia jalani sebagai pertapa. Pada akhirnya ia menemukan seorang pertapa yang terkenal, Alara kalama untuk membimbingnya mencapai Kesunyataan. Lama Siddharta berguru pada Kalama, tetapi tidak sampai pada pemahaman Kesunyataan tertinggi.
Usaha ini menenangkan pikirannya tetapi tidak dapat menjawab segala kegundahan yang dia rasakan yaitu menemukan obat untuk menghilangkan penderitaan.


2.      Tokoh Sang Buddha Mendapatkan Penerangan Tertinggi

Ketika dia berhasil keluar dari istana dan bertekad menjadi seorang pertapa, ia telah siap menerima segala resikonya. Walaupun menjumpai kekecewaan tetapi tidak mengecilkan hati pertapa Gotama, untuk mencari dan menemukan makna dari kehidupan ini. Pengembaraannya melalui daerah Maghada dan tiba di daerah Uruvela (kota dagang Senani). Di sana ia menemukan sebuah tempat yang dianggap cocok untuk meditasi, sebuah hutan belukar yang sangat rimbun dengan pepohonan seperti belum terjamah oleh manusia.
Mula-mula ia melakukan olah pernapasan dan pantangan makan. Pada fase pertama ia melakukan pantangan makan secara ekstrim. Kemudian ia menjadi terkenal sebagai pertapa yang suci sehingga diikuti oleh lima pertapa lain yang kemudian menjadi murid-muridnya generasi pertama yaitu Kondana, Bodiya,  Wappam Mahanama dan Asaji. Selama enam tahun mereka menahan lapar dan haus tidak makan dan minum, sehinnga tubuh mereka semakin melemah. Bahkan begitu kerasnya puasa yang dia lakukan, ketika menyentuh pusarnya maka ia dapat merasaakan tulang punggungnya. Tiba-tiba Siddharta jatuh pingsan sehingga murid-muridnya mengira bahwa ia telah mati. Namun ia sadar kembali dan menyadari bahwa apa yang dilakukannya selama ini tidak bermanfaat[5].
Ada yang mengatakan bahwa ketika ia sedang melakukan meditasi, melintaslah seorang pujangga yang sedang memetik dawainya. Ia menyadari jika senar itu diikatkan terlalu keras, maka yang terjadi putus dan jika terlalu kendor maka tidak akan menghasilkan bunyi yang bagus tidak sedap didengarkan. Namun hal imi, membuat  kelima muridnya goncang dan meninggalkan dia sendiri. Siddharta melakukan jalan tengah, karena ia menyadari bahwa Penerangan Sempurna tidak dapat dicapai dengan tubuh yang amat lelah seperti ini. Kesehatan jasmani perlu sekali untuk kemajuan batin. Jadi dia memutuskan untuk memberikan makan secara sedikit-sedikit kepada tubuhnya.[6]
Pada suatu malam di bulan Waisak, ketika purnama di tepi sungai Neranjara, Siddharta yang kala itu berusia 35 tahun, duduk padmasana di bawah pohon Assatta(pohon Bodi) sambil mengheningkan cipta melakukan meditasi dengan mengatur pernapasannya, sehingga ia mendapatkan penerangan sempurna meliputi pengetahuan yang tinggi,[7] yaitu :
a.       Pubbenivasanussati, yaitu pengetahuan tentang kehidupan dan proses kelahiran kembali (tumiba lahir)
b.      Dibacakkhu, yaitu pengetahuan dari mata dewa dan mata batin
c.       Cuti upapatana, yaitu pengetahuan bahwa timbul dan hilangnya bentuk-bentuk kehidupan, baik atau buruk, bergantung pada perilaku masing-masing
d.      Asvakkhayanana, pengetahuan tentang padamnya semua kecenderungan dan Adviya, tentang menghilangkan ketidaktahuan.
Setelah tujuh minggu menetap dengan tujuh kali bergeser tempat di sekeliling Pohon Bodi, maka hari terkakhir dari peristiwa yang suci itu, datanglah dua saudara, Tapusa dab Bhaluka yang terpesona melihat Sang Buddha. Kemudian keduanya mempersembahkan nasi, makanan dan madu serta memohon untuk menjadi pengikutnya. Itulah pengikut Buddha yang pertama.
Dengan demikian, ia mendapatkan penerangan yang paripurna, pengetahuan sejati dan kebebasan batin sempurna. Dia telah mendapatkan jawaban atas teka-teki kehidupan yang selama ini dia cari dengan pengertian penuh sebagaimana tercantum dalam empat “kasunyataan mulia” yaitu Penderitaan, Sumber Penderitaan, Lenyapnya penderitaan dan delapan cara yang utama untuk melenyapkan penderitaan itu.


3.     Bagaimana tokoh Sang Buddha mengajarkan Dharma

Pada suatu ketika setelah tercapainya Penerangan, Sang Buddha berada di kaki pohon Ajapala banyan ditepi sungai Neranjara. Karena beliau sedang bermeditasi sendiri, pikiran semacam ini muncul dalam benaknya, apakah untuk dirinya sendiri ; atau apakah dia bertanggung jawab untuk mengajar orang lain? Setelah sejumlah perdebatan dengan dirinya sendiri, dia memilih menjadi guru Dharma. Formulasi paling dasar wawasannya adalah Empat Kebenaran Utama. Semua kehidupan adalah penderitaan. Penyebab penderitaan adalah keinginan. Menghilangkan keinginan berarti menghilangkan penderitaan. Cara menghilangkan penderitaan adalah dengan mengikuti Delapan Jalan yang utama : pandangan yang benar, perhatian yang benar, berkata yang benar, bertindak yang benar, hidup yang benar, berusaha yang benar, berpikiran yang benar dan berkonsentrasi yang benar[8].
Ajaran Buddha selalu merujuk pada Empat Kebenaran Utama. Ajaran ini menggunakan Delapan Jalan sebagai rangsangan untuk melengkapi bentuk agama yang lengkap dan utuh yang difokuskan pada tiga perhatian utama : kebijaksanaan, moralitas dan meditasi. Buddha menghabiskan separuh akhir hidupnya mengajarkan apa yang telah dipelajarinya. Motifnya adalah keinginan yang besar agar semua makhluk hidup memperoleh penerangan seperti yang diberikan padanya. Dibanding dengan cahaya yang menyinarinya, tidak ada yang bersifat dunia yang dapat mempengaruhinya. Karenanya dia berkelana dalam kesunyianm mengemis untuk makan, mengajarkan mereka yang ingin mendengarkan solusinya terhadap masalah keberadaan manusia.[9]
Selama 45 tahun lamanya Sang Buddha mengajarkan ajaran-ajaranya, pengikutnya semakin bertambah dari sekitar 60 orang anggota sangha menjadi ribuan orang yang tentunya memerlukan banyak Vihara. Pada akhirnya Siddharta wafat usia 80 tahun di Kusiwara yang terletak sekitar 180 Km kota Benares. Ia meninggal tanpa menunjukan siapa yang akan menjadi penerus setelahnya, terjadilah perpecahan dihari kemudian ke pada dua golongan, yaitu Theravada (Hinayana) dan Mahasangika (Mahayana


BAB III
PENUTUP

Pada saat dia mendirikan sebuah komunitas penting yang terdri dari para pendeta, Siddharta sangat puas dengan perannya sebagai guru Dharm, pemrakarsa Ketertiban terhadap model kehidupan yang diberkat. Jika cahaya adalah simbol sentral dalam pengalaman jiwa yang membuat dia menjadi seorang Buddha, kedamaian tampaknya mendominasi penampilan luarnya. Dia sangat ramah, lembut tetapi sangat tegas ketika menyangkut tentang kebenaran religius.
Siddharta mungkin menggunakan intuisinya untuk menunjukan peran penting kerukunan, dari pemahamannya yang dicerahkan bagi sifat alami manusia. Siddharta memikirkan kelompoknya sebagai sebuah kelompok demokrasi dalam artian bahwa dia menginginkan mereka untuk berkumpul lebih sering, supaya melakukan hal-hal yang perlu dilakukan agar dapat mempertahankan ketertiban.
Keheningan yang kita temukan dalam diri Siddharta dan kejujuran konservatif yang terbingkai dari khotbah-khotbahnya, dipahami sebagai ekspresi keseimbangan di dalam jiwa. Keseimbangan itu membuat dia menyatakat memiliki kebijaksanaan persuasif.


DAFTAR KEPUSTAKAAN

1. Mukti, Khrishnanda, Wacana Hindu-Buddha.  Jakarta : Yayasan Dharma Pembangunan, 2003.
2. Ali, Mukti Agama-agama Dunia. Yogyakarta : PT. Hanindita.
3. http://buddhisme.wordpress.com
4. Ali, Abdullah, Agama dalam Ilmu Perbandingan, Bandung : Penerbit                NUANSA AULIA, 2007,



[1]  Mukti, Khrishnanda, Wacana Hindu-Buddha.  Jakarta : Yayasan Dharma Pembangunan, 2003, hal 104
[2]  Ali, Abdullah, Agama dalam Ilmu Perbandingan, Bandung : Penerbit NUANSA AULIA, 2007, hal, 175
[3]  Ali, Mukti Agama-agama Dunia. Yogyakarta : PT. Hanindita, 1988, hal 115
[4] Ali, Abdullah, Agama dalam Ilmu Perbandingan, Bandung : Penerbit NUANSA AULIA, 2007, hal,159
[5]  Ali, Mukti Agama-agama Dunia. Yogyakarta : PT. Hanindita, 1988, hal108
[6] Mukti, Khrishnanda, Wacana Hindu-Buddha.  Jakarta : Yayasan Dharma Pembangunan, 2003, hal 108
[7] Ali, Abdullah, Agama dalam Ilmu Perbandingan, Bandung : Penerbit NUANSA AULIA, 2007, hal,160
[8] Ali, Mukti Agama-agama Dunia. Yogyakarta : PT. Hanindita, 1988, hal 112
[9] Mukti, Khrishnanda, Wacana Hindu-Buddha.  Jakarta : Yayasan Dharma Pembangunan, 2003, hal 106

Tidak ada komentar:

Posting Komentar