AJARAN HINDU DHARMA TENTANG MANUSIA DAN ALAM
Oleh:
Habiburrahman dan Laila Nihayati
PENDAHULUAN
Menurut
orang Bali sejarah kebudayaan dan kemasyarakatan Bali di mulai dengan
kedatangan Majapahit di Bali. Zaman sebelumnya dipandang sebagai zaman
jahiliyah, zaman yang gelap, yang dikuasai roh-roh jahat serta
mahluk-mahluk yang ajaib. Kedatangan orang-orang majapahit menciptakan
zaman baru. Akan tetapi sebenarnya jauh berabad-abad sebelum zaman
majapahit, di Bali Selatan sudah ada suatu kerajaan dengan kebudayaan
Hindu, mungkin pada tahap pertama zaman mataram kuno (antara tahun 600
dan 1000). Pusat kerajaan itu terdapat di Pejeng dan Bedulu dengan raja-raja Warmadewa. Ada kemungkinan bahwa kemungkinan kerajaan ini disebabkam karena pengaruh Mataram.[1]
Pada akhir abad ke-10 atau awal abad ke-11 di Bali memerintah seorang raja, Dharmodayana yang berpermaisurikan keturuna Empu Sindok, Mahendradatta, dan melahirkan Erlangga. Dengan
demikian pada waktu itu Bali dihubungkan dengan Jawa. Erlangga kemudian
memerintah atas Jawa, sedang di Bali memerintah atas nama Erlangga,
seorang adiknya. Sesudah Erlangga wafat agaknya hubungan antara Jawa dan Bali menjadi kendor. Pada tahun 1284, Krtanagara, raja
Singasari menaklukkan Bali. Penaklukkan ini agaknya hanya bersifat
sementara saja, sebab pada tahun 1383 Majapahit mengutus tentaranya di
bawah pimpinan Gajah Mada menyerbu Bali. Kali ini penaklukkan dilakukan
secara mendalam. Gajah Mada mendatangkan bangsawan-bangsawan dari
Majapahit. Pemimpin para bangsawan ini mendirikan suatu kerajaan dengan
ibukotanya Srampangan, yang kemudian dipindahkan ke Klungkung. Raja ini bergelar Dewa Agung. Sesudah
Majapahit jatuh pada awal abad ke-16, Bali terisolir dari daerah-daerah
lainnya di Indonesia, hingga kedatangan bangsa Belanda. Sebelum
kedatangan Belanda, Bali dan Jawa berkembang sendiri-sendiri.[2]
Secara
garis besar dapat dikatakan, bahwa kaum bangsawan berkeyakinan
Hindu-Jawa yang dicampuri unsur-unsur religi Bali asli. Sedang rakyat
berkeyakinan religi Bali asli dicampur dengan agama Hindu-Jawa. Tetapi
kedua aspek agama ini saling berhubungan. Agama campuran ini tidak
memiliki nama. Orang Bali sendiri menyebutnya agama Tirta. Baru sekarang agama orang Bali disebut Hindu Dharma. Kira-kira 1.000 tahun sesudah kedatangan agama Hindu yang pertama kali di Bali datanglah pengaruh Barat dengan perantara penjajah Belanda.[3]
Agama
asli Bali mempunyai keprcayaan terhadap para dewa yang dihindukan
sesuai dengan agama Hindu-Jawa. Orang-orang asli Bali mempercayai para
dewa yang dulunya adalah arwah nenek moyang mereka, di samping percaya
terhadap roh-roh jahat. Dewa-dewa yang berasal dari Hindu-Jawa disebut
dengan Bhatara yang terpenting di antaranya adalah Bhatara Brahma
(dewa api), Bhatara Surya (dewa matahari), Bhatara Indra (dewa penguasa
surga), Bhatara Yama (penguasa maut), dan Bhatari Durga (dewi maut atau
kematian). Bhatara Siwa adalah dewa tertinggi yang menguasai dan
memiliki kekuatan para dewa lainnya. Bahkan, semua dewa adalah
penjelmaanya. Penjelmaan Siwa yang dianggap penting adalah Bhatara Guru,
Bhatara Kala dan Bhatari Durga.[4]
Dalam
kaitan ini tidaklah berlebihan apabila dikemukakan bahwa Hindu Dharma
adalah agama yang universal. Hal ini dikemukakan karena sering dalam
pelbagai tulisan dan pertemuan dikatakan bahwa agama-agama besar di
dunia hanya terbatas agama Kristen, Islam dan Buddha, sedangkan Hindu
tidak termasuk di dalamnya. Hal ini tentu tidak benar, karena Hindu pun
tersebar luas sejak zaman dahulu. Selain dianut di India, dianut pula di
negara-negara lain seperti Bhutan, Nepal, Malaysia, Indonesia, Amerika,
Australia, Afrika Selatan, dan lain-lainnya, walaupun tidak sebesar
jumlah seperti terdapat di India. Hal yang sama kita baca dan kita
dengar pula tentang agama Hindu di Indonesia yang katanya hanya ada di
Bali. Kalau dilihat dalam buku pintar nusantara susunan Iwan
Gayo, nyatanya agama Hindu ada di seluruh provinsi di Indonesia, dengan
catatan memang yang terbanyak ada di Bali (93,3%). Provinsi lain yang
penganut Hindunya labih dari 2% ada di Kalimantan Tengah (17,7%), NTB
(2,6%). Dengan demikian agama Hindu sudah menyebar di seluruh pelosok
dunia dan ada di berbagai provinsi di Indonesia.[5]
Aliran
agama Hindu Dharma ini nampak merupakan syacritisme antara faham
animisme setempat dengan Hinduisme India, dan antara Siwaisme dan
Budhisme yang telah mengalami proses rohaniyah typis Jawa.
Prinsip-prinsip Hinduisme-Budhisme tetap dipertahankan dalam agama ini,
sehingga dewa-dewa yang di pujanya pun berpusat pada Trimurti atau
Trisakti yaitu Brahma, Wisnu dan Siwa. Disamping itu masih ada dewa-dewa
yang dipuja secara insidentil misalnya, dewa Ganesha sebagai lambang
ilmu pengetahuan, dewa Kama dan Ratih, dewa lambang cinta kasih; dewa
Bregu sebagai dewa sabung ayam, dewa Skanda sebagai dewa perang, dewa
Kuwera sebagai dewa kekayaan dan Bayu sebagai dewa angin dan sebagainya.
Dewa yang dijadikan titik lingakaran pemujaan dalam Hindu Dharma ini
adalah Siwa. Dewa inilah yang sangat ditakuti oleh mereka karena dapat
menghacurkan jalan hidup manusia serta alam sekitarnya. Dan dewa ini
pula bilamana banyak dilalaikan orang akan dapat menimbulkan
kemarahannya, sehingga dapat merusak manusia serta alam pulau Bali
khususnya.[6]
PEMBAHASAN
Dalam
pembahasan yang kedua ini adalah ajaran tentang penjadian. Brahma
adalah kekuatan sang Hyang Widi waktu menciptakan atau juga dapat
disebut Perbawa (manifestasi) sang Hyang Widi pada waktu ia menciptakan. Daya cipta sang Hyang Widi disebut Kryasaki. Dengan
daya cipta ini segala sesuatu dijadikan. Akan tetapi penjadian ini
bukan terjadi sekaligus selesai, melainkan dengan perlahan-lahan melalui
evolusi. Penciptaan disebut srsti, yaitu pengaliran keluar apa
yang sudah ada secara potensial di dalam sang Hyang Widi. Bagaimana
dunia ini mulai diciptakan, tak dapat diketahui, karena dunia merupakan
suatu perputaran lingkaran. Jadi asal dan akhirnya tak dikenal. Yang
jelas ialah bahwa di dalam kehidupan ini setiap saat ada penciptaan (Srsti) dan setiap saat ada peleburan (Pralaya).[7]
a. Terjadinya Alam Semeta.
Alam
ini dipandang oleh Hinduisme sebagai diciptakan oleh dewa Brahma
berkali-kali, setelah berkali-kali mengalami kehancuran akibat kekuatan
penghancur dari Siwa Mahakala. Dalam tiap-tiap penciptaan terdapat
zaman-zaman yang mengandung 4 tingkatan (periode), yaitu:
- Kreta Yoga, adalah zaman terdapatnya kebahagiaan abadi.
- Dvapara Yoga, adalah zaman mulai timbulnya dosa/noda-noda.
- Treta Yoga, adalah zaman yang penuh sengsara dan merajalelanya dosa-dosa.
- Kali Yoga, adalah zaman yang penuh dengan kejahatan yang banyak menimpa umat manusia.
Akhirnya sebagai periode penutup, maka timbullah masa Pralaya yaitu kehancuran total dari pada alam. Tetapi sesudah itu dewa Brahma menciptakan lagi dunia baru yang dimulai pada Malam Brahma yang digambarkan sebagai malam gelap gulita.[8]
Menurut
pendapat Harun Hadiwijino dalam bukunya, dijelaskan bahwa penciptaan
alam semesta (bhuwana agung) terjadi dengan bertapa. Kemudian sang
Hyang Widi memancarkan kemahakuasaannya, artinya: tenaga pikiran yang
mengeram di dalam sang Hyang Widi dipusatkan sedemikian rupa hingga
menimbulkan panas yang memancar. Pancaran panas ini menyebabkan adanya Brahmanda (telur Brahma
atau telur sang Hyang Widi). Yang di sebut telur Brahma adalah
planet-planet yang bentuknya bulat seperti telur. Proses menuju telur
Brahma adalah sebagai berikut: Karena bertapa tadi terjadilah dua
kekuatan asal (potensi asal) yang disebut Purusa (kekuatan kejiwaan) dan
Prakrti (kekuatan kebendaan). Kedua kekuatan ini bertemu. Pertemuan ini
menimbulkan yang disebut cita (alam pikiran) yang sudah dikuasai oleh
tiga kualitas atau triguna, yaitu sattwa, rajas, dan tamah.
Sesudah itu timbullah buddhi (naluri pengenal), kemudian manah (akal dan perasaan), lalu ahangkara (rasa keakuan), dan dasendrya (sepuluh indra), yang terdiri dari pancendrya (rangsang pendengaran, perasa, pelihat, pengecap, dan pencium) dan karmendrya (penggerak mulut, tangan, kaki, pelepasan, dan kemaluan). Setelah indra-indra ini timbullah yang disebut pancatanmatra atau
lima benih zat alam (yaitu benih suara, rasa sentuhan, penglihatan,
rasa, dan penciuman). Akhirnya unsur-unsur benda materi yang disebut pancamahabhuta (anasir
kasar), yaitu ether, gas (atau hawa), sinar cahaya (apil zat cair
(air), dan zat padat (bumi). Bentuk kelima anasir bendani ini adalah
atom. Karena pengolahan diri maka dari kelima mahabhuta (anasir kasar)
itu terjadilah brahmanda-brahmanda (telur Brahma), yaitu matahari,
bulan, bintang-bintang, dan planet-planet, termasuk bumi kita ini.
Seluruh
alam semesta ini tersusun dari tujuh lapisan, yang makin tinggi makin
halus, sesuai dengan susunan anasir yang menguasainya, yaitu: Bhurloka, Bhuahloka, Swahloka, Mahaloka, Janaloka, Tapoloka, dan Salvaloka. Bhurloka atau Manusialoka adalah
bumi tempat kita hidup, terdiri dari campuran kelima anasir kasar
tersebut dengan zat padat dan zat cair sebagai bagian yang terbanyak. Bhuahloka adalah alam roh, disebut juga Pitraloka, dengan zat cair dan zat sinar cahaya sebagai bagian yang terpokok. Swahloka, disebut juga Dewaloka atau Sorga, karena
dihuni oleh para dewayang bersinar. Alam ini terdiri dari sinar dan
hawa sebagai bagian yang terpokok. Demikianlah terjadinya bhuwana agung atau makrokosmos.[9]
Dalam
buku yang lain dijelaskan bahwa menurut ajaran Hindu, dalam rangka
ciptaan (srsti) alam semesta, sang Hyang Widi dengan ke-Maha-Kuasaan-Nya
dunia diciptakan secara perlahan-lahan (dengan proses evolusi). Pada
hakekatnya, dari sang Hyang Widhi dan kembali kepadaNya pada waktu
kiamat (pralaya) sebagai halnya dari badannya sendiri, kemudian pada
akhirnya menarik kembali kedalam dirinya pada waktu pralaya. Tegasnya
Tuhan Yang Maha Esa/Sang Hyang Widhi menciptakan alam semesta ini
daripada diriNya sendiri, tetapi karena ke-Maha-Kuasaan-Nya, dirinya itu
tetap sempurna. Dalam kitab Upanisada ada diletakkan:
Dari
yang sempurna lahirlah yang sempurna, walaupun yang sempurna (Sang
Hyang Widhi) diambil oleh yang sempurna (alam semesta) tetapi sisanya
(Sang Hyang Widhi) tetap sempurna adanya”.
Kapan
dunia ini diciptakan? Baik penciptaan (srsti) maupun kiamatnya
(pralaya) dunia merupakan perputaran lingkaran sehingga tidak dapat
diketahui awal dan akhirnya, karena umur manusia demikian pendeknya
serta ingatan manusia demikian terbatas. Tetapi yang adalah bahwa dalam
kehidupan ini adalah setiap saat ada penciptaan (srsti), setiat saat ada
pralina (pralaya) sehingga sebenarnya ini kehidupan amuba/sel-sel
sampai kehidupan yang tertinggi terus mengalami “srsti-pralaya” terus
menerus. Dunia diciptakan dengan lima unsur Pancatanmatra, yakni: 1) zat
ether (akasa), 2) zat cahaya (teja), 3) zat hawa (bayu), 4) zat cair
(apah), dan 5) zat padat (prthiwi) yang terdapat dalam sang Hyang Widhi,
atau “parama-anuNya”. ‘Parama’ artinya yang sangat, dan ‘anu’ artinya
atom. Parama anu ialah unsur-unsur yang lebih kecil dari atom. Menurut
agama Hindu tidak dapat diketahui kapan alam semesta ini diciptakan,
tetapi yang jelas adalah: Sang Hyang Widhi secara kontiniu menagadakan
ciptaan sebagai tersebut dalam kitab suci Bhagavadgita, Bab III, sloka
24:[10]
“jika
aku berhenti bekerja, dunia ini akan hancur-lebur. Dan aku jadi
pencipta keruntuhan memusnahkan semua mahluk/manusia ini semua”
Menurut
pandangan agama Hindu terhadap alam semesta serta mahluk/manusia
ciptaan Maha pencipta Sang Hyang Widhi ini, perlu di sadari bahwa
sebelum Hyang Widhi mencipta, sebenarnya tiada terdapat suatu apapun di
alam semesta ini. Pustaka Upanisada (Brihad-aranyaka dan
Chandogya-Upanisada) mengatakan: “idamwa egra naiwa kincid asit, sad ewa
saumnya idam agra asit Ekam Ewa Adwitya.” Artinya “sebelum sebelum
diciptakan alam ini tidak ada apa-apa. Sebelum alam diciptakan hanya
Hyang Widhi yang ada. Maha Esa dan tidak ada duanya”. Ciptaan Hyang
Widhi adalah merupakan pancaran ke-Maha-Kuasaan-Nya (Wibhuti) Hyang
Widhi Wasa sendiri. Wibhuti ini terpancar melalui TAPA. Tapa adalah
pemusatan tenaga fikiran yang terkeram hingga menimbulkan panas yang
memancar. Dalam pustaka Taittrriya-Upanisadha ada disebutkan “Hyang
Widhi Wasa melakukan Tapa. Setelah melakukan Tapa, terciptalah semuanya,
yaitu segala apa yang ada di alam ini. Setelah menciptakan, kedalam
ciptaanNya itu Hyang Widhi menjadi satu”. Kekuatan Tapa-Nya menyebabkan
terwujudnya dunia ini. Bentuk dunia ini bulat seperti telur, maka alam
semesta ini dalam kitab PURUNA disebut “BRAHMA-ANDA” (telur Hyang
Widhi).
Demikian
pula bahwa disebabkan Tapa Hyang Widhi maka terjadilah dua kekuatan
asal, yakni Kekuatan Kejiwaan (Purusa) dan Kekuatan Kebendaan
(Prakrti/Pradhana). Lantaran kedua kekuatan tersebut bertemu, maka
terciptalah alam semesta ini. Perlu diketahui, bahwa terjadinya ciptaan
ini bukan proses ciptaan sekaligus, melainkan tahap demi tahap atau
secara proses evolusi, dari yang halus menjadi yang kasar. Mula pertama
timbullah alam fikiran (Cita/citta) yang sudah mulai dipengaruhi oleh
TRIGUNA yang terdiri atas SATWA, RAJAH dan TAMAH. Kemudian timbul naluri
pengenal (BUDHI). Selanjutnya timbul akal dan perasaan (MANAH). Lalu
timbul rasa keakuan (AHANGKARA). Setelah ini timbul sepuluh sumber
Indria (DASA INDRIA) yang terbagi dua pula, yakni Panca-Budhi Indria dan
Panca Karma Indria.
Panca Budhi Indria terdiri atas:
1). Rangsang pendengar (Srota Indria)
2). Rangsang perasa (Twak Indria)
3). Rangsang pelihat (Caksu Indria)
4). Rangsang pencium/pengecap (Jihwa indria)
5). Rangsang pencium (Ghrana Indria)
Panca Karma Indria terdiri atas:
1). Penggerak mulut (Wak Indria)
2). Penggerak tangan (Pani Indria)
3). Penggerak kaki (Pada Indria)
4). Penggerak pelepasan (Payu Indria)
5). Penggerak kemaluan (Upastha Indria)
Selanjutnya dari Indria-indria tersebut timbullah lima benih dari zat alam (Panca Tanmatra) yang terdiri atas:
1). Benih suara (Sabda Tanmatra)
2). Benih rasa sentuhan (Sparsa Tanmatra)
3). Benih penglihatan (Rupa Tanmatra)
4). Benih rasa (Rasa Tanmatra)
5). Benih penciuman (Gandha Tanmatra)
Dari
Panca Tanmatra yang hanya merupakan benih zat alam terjadilah
unsur-unsur benda materi yang nyata (Maha Bhuta) yang dinamai Panca Maha
Bhuta (lima unsur zat alam).
Panca Maha Bhuta terdiri atas:
1). Ether (akasa)
2). Gas/api (Bayu)
3). Sinar cahaya (Teja)
4). Zat cair (Apah)
5). Zat padat (Prhtiwi)
Kelima
unsur zat alam tersebut berbentuk PARAMA ANU (atom-atom). Panca Maha
Bhuta inilah yang mengolah diri secara evolusi, sehingga terjadilah alam
semesta ini yang terdiri pula dari Brahmanda-brahmanda seperti
matahari, bulan, bintang-bintang dan planet-planet termasuk bumi kita
ini. Semuanya itu terdiri atas tujuh lapisan dunia, yakni:
1). Bhur-loka (Manussa-loka)
2). Bhuwah-loka (Pitra-loka)
3). Swah-loka (Swarga/Dewa-loka)
4). Maha-loka
5). Jana-loka
6). Tapa-loka
7). Satya-loka
Adapun
perbedaan satu dunia (loka) dengan lainnya ditentukan oleh unsur mana
dari Panca Maha Bhuta yang terbanyak menguasainya. Umpamanya Bhur-loka,
Bhuwah-loka dan Swah-loka juga dikenal dengan nama TRILOKA (tiga dunia).
Bhur-loka yakni tempat kita hidup ini terjadi dari campuran kelima
unsur zat alam, tapi komposisi unsur terbanyak adalah zat padat
(prthiwi) dan zat cair (Apah), juga disebut Manussa-Loka. Bhuwah-loka
juga dinamai Pitra-loka atau dunia roh banyak dikuasai oleh unsur zat
cair (Apah) dan zat sinar (Teja). Swah-loka disebut juga Dewa-loka atau
sorga (Swarga) dikuasai oleh unsur sinar (Teja) dan zat hawa (Bayu).
Para dewa di alam dunia (loka) tersebut senantiasa bersinar/bercahaya
berkat pengaruh unsur sinar (Teja). Dewa berarti sinar cahaya.[11]
b. Terjadinya Manusia (Bhuwana Alit)
Mengenai
terjadinya manusia diajarkan demikian: Sari pancamahabhuta, yaitu sari
ether, hawa, api, air, dan bumi bersatu menjadi sadrasa (enam rasa),
yaitu: rasa manis, pahit, asam, asin, pedas, dan sepat. Kemudian
unsur-unsur ini bercampur dengan unsur-unsur yang lain, yaitu cita,
budhi, ahangkara, dasendrya, pancatanmatra, dan pancamahabhuta.
Pencampuran ini menghasilkan dua unsur benih kehidupan, yaitu mani
wanita (swanita) dan mani laki-laki (sukla). Kedua unsur
benih kehidupan itu bertemu. Pertemuannya terjadi seperti halnya dengan
pertemuan purusa dan prakrti, serta melahirkan manusia. Oleh karena itu
maka sama halnya dengan alam semesta, manusia juga juga terdiri dari
unsur-unsur cita, budhi, dan ahangkara, yang membentuk watak budi manusia,
dilengkapi dengan dasendrya dan pancatanmatra serta pancamahabhuta atau
anasir-anasir kasar, yang bersama-sama membentuk tubuh manusia.[12]
Cita,
Bhudi dan Ahangkara membentuk watak budi seseorang . dasendria
membentuk indrianya. Pancatanmatra dan pancamahabhuta membentuk badan
manusia/mahluk. Jika pancamahabhuta di alam besar (Macrocosmos) antara
lain membentu Triloka, yakni: 1). Bhur-loka/alam dunia bumi, 2).
Bhuwah-loka/alam dunia angkasa udara dan 3). Swah-loka/ alam sorga, maka
di alam kecil (microcosmos) atau tubuh manusia/mahluk terbentuklah
tiga lapis badan (Trisarira), yakni: 1) Badan kasar (Sthula Sarira), 2)
Badan Halus (Sukma-Sarira), dan 3) Badan penyebab (Karana Sarira). Kedua
alam tersebut yakni alam-semesta (Bhuwana agung/Macrocosmos) dan alam
badan mahluk (Bhuwana Alit/Microcosmos) mempunyai sifat-sifat keadaan
yang bersamaan.
- Segala yang kental, padat dan keras pada alam maupun badan mahluk disebabkan oleh zat padat (Prthiwi).
- Segala sesuatu yang besifat cair di alam dunia maupun di alam mahluk disebabkan oleh unsur zat cair (Apah).
- Segala sesuatu yang bercahaya panas, baik di Bhuwana Agung maupun di Bhuwana Alit disebabkan oleh unsur cahaya panas/api (Teja).
- Yang bersifat angin, hawa dan gas pada alam dunia serta nafas pada badan mahluk/manusia disebabkan oleh unsur gas (Bayu).
- Adapun unsur kekosongan/kehampaan (Vacuum) yang ada pada alam dunia dan badan mahluk/manusia disebabakan oleh unsur ether (Akasa).
Menurut
ajaran agama Hindu, manusia pertama disebut dengan nama: MANU, atau
selengkapnya SWAYABHU-MANU, tetapi ini bukan nama perseorangan. Sebab
dalam bahasa sansekerta, Swayambhu berarti: yang menjadikan diri
sendiri. Suku kata “swayam” berarti diri sendiri, dan suku kata “bhu”
berarti: menjadi, dan kata “manu” berarti “mahluk berfikir yang
menjadikan dirinya sendiri”, yakni MANUSIA PERTAMA. Istilah manu
sekarang menjadi kata manusia. Menurut ajaran Hinduisme, semua manusia
adalah keturunan Manu.[13]
Jika
di alam semesta atau makrokosmos pancamahabhuta atau anasir kasar
membentuk triloka (Bhur-loka, Bhuwah-loka, dan Swah-loka) maka di dalam
manusia sebagai mikrokosmos pancamahabhuta membentuk trisarira yaitu tubuh kasar, tubuh halus, dan tubuh penyebab. Itulah
sebabnya kedua alam (makro dan mikrokosmos) memiliki sifat-sifat yang
sama. Kecuali ketiga macam tubuh dalam manusia masih terdapat Atman, yaitu percikan kecil atau sinar Parama Atman, sinar sang Hyang Widi. Atman pada manusia disebut Jiwatman, yaitu yang menghidupkan manusia. Fungsi Atman di dalam badan manusia saperti kusir terhadap
kereta. Sebagai sinar ilahi atau percikan sang Hyang Widi, Atman
memiliki sifat-sifat sang Hyang Widi, sebagai misalnya: tak terlukai
oleh senjata, tak terbakar oleh api, tak terkeringkan oleh angin, tak
terbasahkan oleh air, abadi, ada di mana-mana, tak dilahirkan, tak
dipikirkan, dsb.
Sekalipun
demikian manusia tidaklah sempurna, fana, dapat mati. Hal ini
disebabkan karena Atman dipenjarakan di dalam tubuh, yang mengakibatkan
manusia dikuasai oleh awidya. Akibat awidya lebih lanjut ialah manusia
dikuasai oleh hukum karma dan samsara, kelahiran kembali (purnabhawa).
Hukum karma tadi dapat menyebabkan orang dilahirkan kembali sebagai
manusia, tetapi juga sebagai binatang, tumbuh-tumbuhan. Jika orang
dilahirkan kembali sebagai manusia, hal itu adalah suatu keuntungan yang
besar, sebab kelahiran kembali sebagai manusia memberi kesempatan untuk
meningkatkan kesempurnaan hidup, guna mengatasi kesengsaraan. Itulah
sebabnya dewa-dewa pun perlu dilahirkan kembali sebagai manusia dulu,
agar dapat mencapai kebebasan abadi (nirwana).[14]
Berbeda
dengan keyakinan di dalam agama islam, Kristen, yahudi, dan
Zarathustra, yang mengajarkan bahwa alam semesta itu diciptakan tuhan
Yang Maha Esa dari tidak ada menjadi ada melalui iradat dan kodratnya
yang tidak terbatas, maka agama Brahma mengajarkan bahwa alam semesta
itu adalah pancaran dari Brahman. Upanishad pada bagian chandogya mengungkapkan pada kejadian alam semesta sebagai berikut:
Pada
permulaan hanya ADA sendirian, Maha Esa, tanpa ada yang kedua. Dia,
Yang Maha Esa itu,berpikir di dalam dirinya: biarlah aku menjadi banyak,
biarlah aku berkembang selanjutnya. Kemudian dengan zat-nya iapun
melentunkan alam semesta: setelah melentunkan zat-nya ke alam semesta,
ia masuk ke dalam setiap makhluknya itu. Adapun seluruh makhluk memiliki
zat-nya yang paling halus di dalam diri tiap makhluk. Dia adalah
Al-haqq, dia adalah diri. Dan begitulah, hai Svetaku, bahwa ITU ADALAH
ENGKAU.
Di
dalam Upanishad pada bagian chandogya itu dikisahkan seterusnya bahwa
terhadap Svetaku yang belum dapat memahamkan hal itu. Maka Rishi
Uddalaka menyuruh Svetaku meletakan kepingan garam ke dalam mangkok air.
Pada keesokannya Rishi Uddalaku menyuruh Svetaku memeriksa kepingan
garam tersebut, dan hasilnya tidak ada. Kemudian Rhisi Uddalaku menyuruh
Svetaku untuk menyicipinya, dan stevaku merasakan asin pada air
tersebut. Maka Rhisi Uddalaku menjelaskan bahwa demikianlah zat Brahma
merasuk ke dalam tubuh yang ada, dan itulah disebut atman.
Seorang
manusia memanggilkan dirinya “aku” , sewaktu kakinya dipotong , dia
masih berteriak “aku”, setelah kedua lengannya terpotong dia masih
berteriak “aku”, dan setelah badannya dicincang dia masi berteriak
“aku”, hingga ketika ia menghembuskan nafas terakhir iapun berbisik
“aku”.
Lantas siapakah “aku” itu?
Menurut
ajaran Brahman “aku” itu adalah atman yang merupakan proyeksi dari zat
Brahman.dalam ajaran ini tampak kesamaan dengan ajaran neoplatonism.
Aliran filsafat grik yang terakhir, dibangun oleh Plotinus(205-270M)
pada abad ke 3 masehi di Iskandaria. Ada yang berpendapat bahwa Plotinus
pernah mendalami filsafat India. Pokok ajaran tentang mengenali dia
dalam diri sendiri dan dia terdapat pada diri seluruhnya dan dia
adalah seluruhnya yang banyak dijumpai dalam Kitab Veda terutama dalam
Kitab Upanishad, melahirkan paham bahwa wujud tunggal pencipta
itu meresapi seluruh alam. Paham itu di dalam dunia filsafat disebut
dengan panteism. Paham tersebut juga pernah dianut oleh sufi-sufi islam
sejak abad ke 10 masehi, oleh Jalaludin Ar-rumi pada tahun(1207-1273).
Adapun paham itu juga berpengaruh dalam pihak tertentu dari mistik
Kristen, seperti St. Augustinus salah satu tokoh dalam agama Kristen
yang disebut sebagai santa atau wali allah pada tahun (396-430M).[15]
PENUTUP
Proses
penciptaan alam samesta berawal dari tidak ada apa-apa, yang ada hanya
Tuhan Yang Maha Esa (Paramasiwa/Nirguna Brahma/Tuhan Tidak berbentuk),
sunyi, kosong, gelap, sepi dan hampa. Kemudian Tuhan mewujudkan diriNya
menjadi Sadasiwa/Saguna Brahma (Tuhan berwujud) yang merupakan
penunggalan dari Purusa (unsur dasar kejiwaan) dan Pradana (unsur dasar
kebendaan). Baik Purusa maupun Prakerti keduanya adalah tanpa permulaan,
sifatnya tidak dapat diamati.
Penyatuan keduanya (unsur dasar kejiwaan dan unsur dasar kebendaan) melahirkan Tiga sifat yang disebut Triguna yaitu:
- Satwa: sifat dasarnya tenang, terang dan menerangi.
- Rajas: sifat dasarnya aktif dan dinamis.
- Tamas: sifat dasarnya berat dan gelap, statis.
Maksud tiga ajaran di atas tersebut adalah sebagai berikut:
- Hubungan manusia kepada Tuhan, diwujudkan dalam berbagai bentuk pelaksanaan agama dan keagamaan, sehingga menimbulkan kebahagiaan bhatin yang damai. Seperti Sembahyang, upakara yadnya sebagai bentuk visualisasi bhakti yang tinggi.
- Hubungan manusia dengan manusia, yaitu dengan selalu menjunjung nilai persaudaraan sejati, toleransi dan hidup rukun.
- Hubungan manusia dengan alam, hal ini mengharuskan manusia untuk bisa memahami makna mendekatkan diri dengan alam, karena manusia tidak bisa hidup tanpa alam, yaitu makna relasi yang saling menguntungkan dan saling menjaga satu sama lain.
Kemudian
sebelum menciptakan manusia, Tuhan Yang Maha Esa, menciptakan mulai
dari yang paling halus menuju yang paling kasar, yaitu menciptakan
Dewa-dewa (malaikat), Gandharwa, Pisaca, Raksasa, Yakosa dan sejenisnya,
kemudian baru mahluk-mahkluk berbadan kasar seperti manusia dan
binatang. Manusia pertama disebut MANU, atau Swayambhu yang artinya:
Mahluk berfikir yang menjadikan dirinya sendiri. Dari kata Manu sekarang
ini berkembang menjadi kata manusya (MANUSIA) yang berarti: keturunan
manu.
Manusia
adalah bagian dari Alam samesta, demikian pula asal mula manusia dan
alam samesta pada hakekatnya adalah sama, yaitu berawal dari pertemuan
Purusa dan Prakerti. Setelah terciptanya Panca Mahabutha yaitu: unsur
ruang, unsur Hawa/udara, unsur Api/Panas, unsure Air/bersifat Cair, dan
unsur padat/keras, maka sari-sari dari panca mahabutha ini menjadi Sad
Rasa yaitu: Enam Jenis Rasa: Manis, Pahit, Asam, Asin, Pedas dan Sepat.
Dalam proses penciptaan setelah munculnya Ahamkara (unsure dasar rasa)
maka muncullah Dasa Indriya yang dibagi menjadi dua yaitu: Panca Budhi
Indria dan Panca Karma Indria.
DAFTAR PUSTAKA
Ali, Mukti. Agama-agama di Dunia. Yogyakarta: IAIN SUNAN KALIJAGA PRESS. 1988.
Arifin, H.M., Belajar Memahami Ajaran Agama-agama Besar. Jakarta: C.V. Sera Jaya, 1980.
Hadiwijono, Harun. Agama Hindu dan Buddha. Jakarta: PT BPK Gunung Mulia, 2001, cet. Ke-12.
Setia, Putu. Cendekiawan Hindu Berbicara. Denpasar: Yayasan Dharma Naradha, 1992. cet. Ke-3.
Sou’yb, Joesoef. Agama-Agama Besar di Dunia (Jakarta, PT. Al Husna Zikra.1996.
Swabodhi, Pandita D.D. Harsa. Upamana-Pramana Buddha dharma dan Hindu Dharma. Medan: Yayasan Perguruan “Budaya” & I.B.C., 1980.
[1] Harun Hadiwijono, Agama Hindu dan Buddha (Jakarta: PT BPK Gunung Mulia, 2001), cet. Ke-12, h. 139.
[5] Putu Setia, Cendekiawan Hindu Berbicara (Denpasar: Yayasan Dharma Naradha, 1992), cet. Ke-3, h. 55.
[6] H.M. Arifin, Belajar Memahami Ajaran Agama-agama Besar (Jakarta: C.V. Sera Jaya, 1980), h. 74-75.
[10] Pandita D.D. Harsa Swabodhi, Upamana-Pramana Buddha dharma dan Hindu Dharma (Medan: Yayasan Perguruan “Budaya” & I.B.C., 1980), h. 57-58.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar