Selasa, 24 Juni 2014

AJARAN HINDU DHARMA TENTANG MANUSIA DAN ALAM

AJARAN HINDU DHARMA TENTANG MANUSIA DAN ALAM
Oleh:
Habiburrahman dan Laila Nihayati

PENDAHULUAN
Menurut orang Bali sejarah kebudayaan dan kemasyarakatan Bali di mulai dengan kedatangan Majapahit di Bali. Zaman sebelumnya dipandang sebagai zaman jahiliyah, zaman yang gelap, yang dikuasai roh-roh jahat serta mahluk-mahluk yang ajaib. Kedatangan orang-orang majapahit menciptakan zaman baru. Akan tetapi sebenarnya jauh berabad-abad sebelum zaman majapahit, di Bali Selatan sudah ada suatu kerajaan dengan kebudayaan Hindu, mungkin pada tahap pertama zaman mataram kuno (antara tahun 600 dan 1000). Pusat kerajaan itu terdapat di Pejeng dan Bedulu dengan raja-raja Warmadewa. Ada kemungkinan bahwa  kemungkinan kerajaan ini disebabkam karena pengaruh Mataram.[1]
Pada akhir abad ke-10 atau awal abad ke-11 di Bali memerintah seorang raja, Dharmodayana yang berpermaisurikan keturuna Empu Sindok, Mahendradatta, dan melahirkan Erlangga. Dengan demikian pada waktu itu Bali dihubungkan dengan Jawa. Erlangga kemudian memerintah atas Jawa, sedang di Bali memerintah atas nama Erlangga, seorang adiknya. Sesudah Erlangga wafat agaknya hubungan antara Jawa dan Bali menjadi kendor. Pada tahun 1284, Krtanagara, raja Singasari menaklukkan Bali. Penaklukkan ini agaknya hanya bersifat sementara saja, sebab pada tahun 1383 Majapahit mengutus tentaranya di bawah pimpinan Gajah Mada menyerbu Bali. Kali ini penaklukkan dilakukan secara mendalam. Gajah Mada mendatangkan bangsawan-bangsawan dari Majapahit. Pemimpin para bangsawan ini mendirikan suatu kerajaan dengan ibukotanya Srampangan, yang kemudian dipindahkan ke Klungkung. Raja ini bergelar Dewa Agung. Sesudah Majapahit jatuh pada awal abad ke-16, Bali terisolir dari daerah-daerah lainnya di Indonesia, hingga kedatangan bangsa Belanda. Sebelum kedatangan Belanda, Bali dan Jawa berkembang sendiri-sendiri.[2]
Secara garis besar dapat dikatakan, bahwa kaum bangsawan berkeyakinan Hindu-Jawa yang dicampuri unsur-unsur religi Bali asli. Sedang rakyat berkeyakinan religi Bali asli dicampur dengan agama Hindu-Jawa. Tetapi kedua aspek agama ini saling berhubungan. Agama campuran ini tidak memiliki nama. Orang Bali sendiri menyebutnya agama Tirta. Baru sekarang agama orang Bali disebut Hindu Dharma. Kira-kira 1.000 tahun sesudah kedatangan agama Hindu yang pertama kali di Bali datanglah pengaruh Barat dengan perantara penjajah Belanda.[3]
Agama asli Bali mempunyai keprcayaan terhadap para dewa yang dihindukan sesuai dengan agama Hindu-Jawa. Orang-orang asli Bali mempercayai para dewa yang dulunya adalah arwah nenek moyang mereka, di samping percaya terhadap roh-roh jahat. Dewa-dewa yang berasal dari Hindu-Jawa disebut dengan Bhatara yang terpenting di antaranya adalah Bhatara Brahma (dewa api), Bhatara Surya (dewa matahari), Bhatara Indra (dewa penguasa surga), Bhatara Yama (penguasa maut), dan Bhatari Durga (dewi maut atau kematian). Bhatara Siwa adalah dewa tertinggi yang menguasai dan memiliki kekuatan para dewa lainnya. Bahkan, semua dewa adalah penjelmaanya. Penjelmaan Siwa yang dianggap penting adalah Bhatara Guru, Bhatara Kala dan Bhatari Durga.[4]
Dalam kaitan ini tidaklah berlebihan apabila dikemukakan bahwa Hindu Dharma adalah agama yang universal. Hal ini dikemukakan karena sering dalam pelbagai tulisan dan pertemuan dikatakan bahwa agama-agama besar di dunia hanya terbatas agama Kristen, Islam dan Buddha, sedangkan Hindu tidak termasuk di dalamnya. Hal ini tentu tidak benar, karena Hindu pun tersebar luas sejak zaman dahulu. Selain dianut di India, dianut pula di negara-negara lain seperti Bhutan, Nepal, Malaysia, Indonesia, Amerika, Australia, Afrika Selatan, dan lain-lainnya, walaupun tidak sebesar jumlah seperti terdapat di India. Hal yang sama kita baca dan kita dengar pula tentang agama Hindu di Indonesia yang katanya hanya ada di Bali. Kalau dilihat dalam buku pintar nusantara susunan Iwan Gayo, nyatanya agama Hindu ada di seluruh provinsi di Indonesia, dengan catatan memang yang terbanyak ada di Bali (93,3%). Provinsi lain yang penganut Hindunya labih dari 2% ada di Kalimantan Tengah (17,7%), NTB (2,6%). Dengan demikian agama Hindu sudah menyebar di seluruh pelosok dunia dan ada di berbagai provinsi di Indonesia.[5]
Aliran agama Hindu Dharma ini nampak merupakan syacritisme antara faham animisme setempat dengan Hinduisme India, dan antara Siwaisme dan Budhisme yang telah mengalami proses rohaniyah typis Jawa. Prinsip-prinsip Hinduisme-Budhisme tetap dipertahankan dalam agama ini, sehingga dewa-dewa yang di pujanya pun berpusat pada Trimurti atau Trisakti yaitu Brahma, Wisnu dan Siwa. Disamping itu masih ada dewa-dewa yang dipuja secara insidentil misalnya, dewa Ganesha sebagai lambang ilmu pengetahuan, dewa Kama dan Ratih, dewa lambang cinta kasih; dewa Bregu sebagai dewa sabung ayam, dewa Skanda sebagai dewa perang, dewa Kuwera sebagai dewa kekayaan dan Bayu sebagai dewa angin dan sebagainya. Dewa yang dijadikan titik lingakaran pemujaan dalam Hindu Dharma ini adalah Siwa. Dewa inilah yang sangat ditakuti oleh mereka karena dapat menghacurkan jalan hidup manusia serta alam sekitarnya. Dan dewa ini pula bilamana banyak dilalaikan orang akan dapat menimbulkan kemarahannya, sehingga dapat merusak manusia serta alam pulau Bali khususnya.[6]
PEMBAHASAN
Dalam pembahasan yang kedua ini adalah ajaran tentang penjadian. Brahma adalah  kekuatan sang Hyang Widi waktu menciptakan atau juga dapat disebut Perbawa (manifestasi) sang Hyang Widi pada waktu ia menciptakan. Daya cipta sang Hyang Widi disebut Kryasaki. Dengan daya cipta ini segala sesuatu dijadikan. Akan tetapi penjadian ini bukan terjadi sekaligus selesai, melainkan dengan perlahan-lahan melalui evolusi. Penciptaan disebut srsti, yaitu pengaliran keluar apa yang sudah ada secara potensial di dalam sang Hyang Widi. Bagaimana dunia ini mulai diciptakan, tak dapat diketahui, karena dunia merupakan suatu perputaran lingkaran. Jadi asal dan akhirnya tak dikenal. Yang jelas ialah bahwa di dalam kehidupan ini setiap saat ada penciptaan (Srsti) dan setiap saat ada peleburan (Pralaya).[7]
a.      Terjadinya Alam Semeta.
Alam ini dipandang oleh Hinduisme sebagai diciptakan oleh dewa Brahma berkali-kali, setelah berkali-kali mengalami kehancuran akibat kekuatan penghancur dari Siwa Mahakala. Dalam tiap-tiap penciptaan terdapat zaman-zaman yang mengandung 4 tingkatan (periode), yaitu:
  1. Kreta Yoga, adalah zaman terdapatnya kebahagiaan abadi.
  2. Dvapara Yoga, adalah zaman mulai timbulnya dosa/noda-noda.
  3. Treta Yoga, adalah zaman yang penuh sengsara dan merajalelanya dosa-dosa.
  4. Kali Yoga, adalah zaman yang penuh dengan kejahatan yang banyak menimpa umat manusia.
Akhirnya sebagai periode penutup, maka timbullah masa Pralaya yaitu kehancuran total dari pada alam. Tetapi sesudah itu dewa Brahma menciptakan lagi dunia baru yang dimulai pada Malam Brahma yang digambarkan sebagai malam gelap gulita.[8]
Menurut pendapat Harun Hadiwijino dalam bukunya, dijelaskan bahwa penciptaan alam semesta (bhuwana agung) terjadi dengan bertapa. Kemudian  sang Hyang Widi memancarkan kemahakuasaannya, artinya: tenaga pikiran yang mengeram di dalam sang Hyang Widi dipusatkan sedemikian rupa hingga menimbulkan panas yang memancar. Pancaran panas ini menyebabkan adanya Brahmanda (telur Brahma atau telur sang Hyang Widi). Yang di sebut telur Brahma adalah planet-planet yang bentuknya bulat seperti telur. Proses menuju telur Brahma adalah sebagai berikut:  Karena bertapa tadi terjadilah dua kekuatan asal (potensi asal) yang disebut Purusa (kekuatan kejiwaan) dan Prakrti (kekuatan kebendaan). Kedua kekuatan ini bertemu. Pertemuan ini menimbulkan yang disebut cita (alam pikiran) yang sudah dikuasai oleh tiga kualitas atau triguna, yaitu sattwa, rajas, dan tamah.
Sesudah itu timbullah buddhi (naluri pengenal), kemudian manah (akal dan perasaan), lalu ahangkara (rasa keakuan), dan dasendrya (sepuluh indra), yang terdiri dari pancendrya (rangsang pendengaran, perasa, pelihat, pengecap, dan pencium) dan karmendrya (penggerak mulut, tangan, kaki, pelepasan, dan kemaluan). Setelah indra-indra ini timbullah yang disebut pancatanmatra atau lima benih zat alam (yaitu benih suara, rasa sentuhan, penglihatan, rasa, dan penciuman). Akhirnya unsur-unsur benda materi yang disebut pancamahabhuta (anasir kasar), yaitu ether, gas (atau hawa), sinar cahaya (apil zat cair (air), dan zat padat (bumi). Bentuk kelima anasir bendani ini adalah atom. Karena pengolahan diri maka dari kelima mahabhuta (anasir kasar) itu terjadilah brahmanda-brahmanda (telur Brahma), yaitu matahari, bulan, bintang-bintang, dan planet-planet, termasuk bumi kita ini.
Seluruh alam semesta ini tersusun dari tujuh lapisan, yang makin tinggi makin halus, sesuai dengan susunan anasir yang menguasainya, yaitu: Bhurloka, Bhuahloka, Swahloka, Mahaloka, Janaloka, Tapoloka, dan Salvaloka. Bhurloka atau Manusialoka adalah bumi tempat kita hidup, terdiri dari campuran kelima anasir kasar tersebut dengan zat padat dan zat cair sebagai bagian yang terbanyak. Bhuahloka adalah alam roh, disebut juga Pitraloka, dengan zat cair dan zat sinar cahaya sebagai bagian yang terpokok. Swahloka, disebut juga Dewaloka atau Sorga, karena dihuni oleh para dewayang bersinar. Alam ini terdiri dari sinar dan hawa sebagai bagian yang terpokok. Demikianlah terjadinya bhuwana agung atau makrokosmos.[9]
Dalam buku yang lain dijelaskan bahwa menurut ajaran Hindu, dalam rangka ciptaan (srsti) alam semesta, sang Hyang Widi dengan ke-Maha-Kuasaan-Nya dunia diciptakan secara perlahan-lahan (dengan proses evolusi). Pada hakekatnya, dari sang Hyang Widhi dan kembali kepadaNya pada waktu kiamat (pralaya) sebagai halnya dari badannya sendiri, kemudian pada akhirnya menarik kembali kedalam dirinya pada waktu pralaya. Tegasnya Tuhan Yang Maha Esa/Sang Hyang Widhi menciptakan alam semesta ini daripada diriNya sendiri, tetapi karena ke-Maha-Kuasaan-Nya, dirinya itu tetap sempurna. Dalam kitab Upanisada ada diletakkan:
Dari yang sempurna lahirlah yang sempurna, walaupun yang sempurna (Sang Hyang Widhi) diambil oleh yang sempurna (alam semesta) tetapi sisanya (Sang Hyang Widhi) tetap sempurna adanya”.
Kapan dunia ini diciptakan? Baik penciptaan (srsti) maupun kiamatnya (pralaya) dunia merupakan perputaran lingkaran sehingga tidak dapat diketahui awal dan akhirnya, karena umur manusia demikian pendeknya serta ingatan manusia demikian terbatas. Tetapi yang adalah bahwa dalam kehidupan ini adalah setiap saat ada penciptaan (srsti), setiat saat ada pralina (pralaya) sehingga sebenarnya ini kehidupan amuba/sel-sel sampai kehidupan yang tertinggi terus mengalami “srsti-pralaya” terus menerus. Dunia diciptakan dengan lima unsur Pancatanmatra, yakni: 1) zat ether (akasa), 2) zat cahaya (teja), 3) zat hawa (bayu), 4) zat cair (apah), dan 5) zat padat (prthiwi) yang terdapat dalam sang Hyang Widhi, atau “parama-anuNya”. ‘Parama’ artinya yang sangat, dan ‘anu’ artinya atom. Parama anu ialah unsur-unsur yang lebih kecil dari atom. Menurut agama Hindu tidak dapat diketahui kapan alam semesta ini diciptakan, tetapi yang jelas adalah: Sang Hyang Widhi secara kontiniu menagadakan ciptaan sebagai tersebut dalam kitab suci Bhagavadgita, Bab III, sloka 24:[10]
“jika aku berhenti bekerja, dunia ini akan hancur-lebur. Dan aku jadi pencipta keruntuhan memusnahkan semua mahluk/manusia ini semua”
Menurut pandangan agama Hindu terhadap alam semesta serta mahluk/manusia ciptaan Maha pencipta Sang Hyang Widhi ini, perlu di sadari bahwa sebelum Hyang Widhi mencipta, sebenarnya tiada terdapat suatu apapun di alam semesta ini. Pustaka Upanisada (Brihad-aranyaka dan Chandogya-Upanisada) mengatakan: “idamwa egra naiwa kincid asit, sad ewa saumnya idam agra asit Ekam Ewa Adwitya.” Artinya “sebelum sebelum diciptakan alam ini tidak ada apa-apa. Sebelum alam diciptakan hanya Hyang Widhi yang ada. Maha Esa dan tidak ada duanya”. Ciptaan Hyang Widhi adalah merupakan pancaran ke-Maha-Kuasaan-Nya (Wibhuti) Hyang Widhi Wasa sendiri. Wibhuti ini terpancar melalui TAPA. Tapa adalah pemusatan tenaga fikiran yang terkeram hingga menimbulkan panas yang memancar. Dalam pustaka Taittrriya-Upanisadha ada disebutkan “Hyang Widhi Wasa melakukan Tapa. Setelah melakukan Tapa, terciptalah semuanya, yaitu segala apa yang ada di alam ini. Setelah menciptakan, kedalam ciptaanNya itu Hyang Widhi menjadi satu”. Kekuatan Tapa-Nya menyebabkan terwujudnya dunia ini. Bentuk dunia ini bulat seperti telur, maka alam semesta ini dalam kitab PURUNA disebut “BRAHMA-ANDA” (telur Hyang Widhi).
Demikian pula bahwa disebabkan Tapa Hyang Widhi maka terjadilah dua kekuatan asal, yakni Kekuatan Kejiwaan (Purusa) dan Kekuatan Kebendaan (Prakrti/Pradhana). Lantaran kedua kekuatan tersebut bertemu, maka terciptalah alam semesta ini. Perlu diketahui, bahwa terjadinya ciptaan ini bukan proses ciptaan sekaligus, melainkan tahap demi tahap atau secara proses evolusi, dari yang halus menjadi yang kasar. Mula pertama timbullah alam fikiran (Cita/citta) yang sudah mulai dipengaruhi oleh TRIGUNA yang terdiri atas SATWA, RAJAH dan TAMAH. Kemudian timbul naluri pengenal (BUDHI). Selanjutnya  timbul akal dan perasaan (MANAH). Lalu timbul rasa keakuan (AHANGKARA). Setelah ini timbul sepuluh sumber Indria (DASA INDRIA) yang terbagi dua pula, yakni Panca-Budhi Indria dan Panca Karma Indria.
Panca Budhi Indria terdiri atas:
1). Rangsang pendengar (Srota Indria)
2). Rangsang perasa (Twak Indria)
3). Rangsang pelihat (Caksu Indria)
4). Rangsang pencium/pengecap (Jihwa indria)
5). Rangsang pencium (Ghrana Indria)
Panca Karma Indria terdiri atas:
1). Penggerak mulut (Wak Indria)
2). Penggerak tangan (Pani Indria)
3). Penggerak kaki (Pada Indria)
4). Penggerak pelepasan (Payu Indria)
5). Penggerak kemaluan (Upastha Indria)
Selanjutnya dari Indria-indria tersebut timbullah lima benih dari zat alam (Panca Tanmatra) yang terdiri atas:
1). Benih suara (Sabda Tanmatra)
2). Benih rasa sentuhan (Sparsa Tanmatra)
3). Benih penglihatan (Rupa Tanmatra)
4). Benih rasa (Rasa Tanmatra)
5). Benih penciuman (Gandha Tanmatra)
Dari Panca Tanmatra yang hanya merupakan benih zat alam terjadilah unsur-unsur benda materi yang nyata (Maha Bhuta) yang dinamai Panca Maha Bhuta (lima unsur zat alam).
Panca Maha Bhuta terdiri atas:
1). Ether (akasa)
2). Gas/api (Bayu)
3). Sinar cahaya (Teja)
4). Zat cair (Apah)
5). Zat padat (Prhtiwi)
Kelima unsur zat alam tersebut berbentuk PARAMA ANU (atom-atom). Panca Maha Bhuta inilah yang mengolah diri secara evolusi, sehingga terjadilah alam semesta ini yang terdiri pula dari Brahmanda-brahmanda seperti matahari, bulan, bintang-bintang dan planet-planet termasuk bumi kita ini. Semuanya itu terdiri atas tujuh lapisan dunia, yakni:
1). Bhur-loka (Manussa-loka)
2). Bhuwah-loka (Pitra-loka)
3). Swah-loka (Swarga/Dewa-loka)
4). Maha-loka
5). Jana-loka
6). Tapa-loka
7). Satya-loka
Adapun perbedaan satu dunia (loka) dengan lainnya ditentukan oleh unsur mana dari Panca Maha Bhuta yang terbanyak menguasainya. Umpamanya Bhur-loka, Bhuwah-loka dan Swah-loka juga dikenal dengan nama TRILOKA (tiga dunia). Bhur-loka yakni tempat kita hidup ini terjadi dari campuran kelima unsur zat alam, tapi komposisi unsur terbanyak adalah zat padat (prthiwi) dan zat cair (Apah), juga disebut Manussa-Loka. Bhuwah-loka juga dinamai Pitra-loka atau dunia roh banyak dikuasai oleh unsur zat cair (Apah) dan zat sinar (Teja). Swah-loka disebut juga Dewa-loka atau sorga (Swarga) dikuasai oleh unsur sinar (Teja) dan zat hawa (Bayu). Para dewa di alam dunia (loka) tersebut senantiasa bersinar/bercahaya berkat pengaruh unsur sinar (Teja). Dewa berarti sinar cahaya.[11]
b.      Terjadinya Manusia (Bhuwana Alit)
Mengenai terjadinya manusia diajarkan demikian: Sari pancamahabhuta, yaitu sari ether, hawa, api, air, dan bumi bersatu menjadi sadrasa (enam rasa), yaitu: rasa manis, pahit, asam, asin, pedas, dan sepat. Kemudian unsur-unsur ini bercampur dengan unsur-unsur yang lain, yaitu cita, budhi, ahangkara, dasendrya, pancatanmatra, dan pancamahabhuta. Pencampuran ini menghasilkan dua unsur benih kehidupan, yaitu mani wanita (swanita) dan mani laki-laki (sukla). Kedua unsur benih kehidupan itu bertemu. Pertemuannya terjadi seperti halnya dengan pertemuan purusa dan prakrti, serta melahirkan manusia. Oleh karena itu maka sama halnya dengan alam semesta, manusia juga juga terdiri dari unsur-unsur cita, budhi, dan ahangkara, yang membentuk watak budi manusia, dilengkapi dengan dasendrya dan pancatanmatra serta pancamahabhuta atau anasir-anasir kasar, yang bersama-sama membentuk tubuh manusia.[12]
Cita, Bhudi dan Ahangkara membentuk watak budi seseorang . dasendria membentuk indrianya. Pancatanmatra dan pancamahabhuta membentuk badan manusia/mahluk. Jika pancamahabhuta di alam besar (Macrocosmos) antara lain membentu Triloka, yakni: 1). Bhur-loka/alam dunia bumi, 2). Bhuwah-loka/alam dunia angkasa udara dan 3). Swah-loka/ alam sorga, maka di alam kecil (microcosmos) atau tubuh manusia/mahluk  terbentuklah tiga lapis badan (Trisarira), yakni: 1) Badan kasar (Sthula Sarira), 2) Badan Halus (Sukma-Sarira), dan 3) Badan penyebab (Karana Sarira). Kedua alam tersebut yakni alam-semesta (Bhuwana agung/Macrocosmos) dan alam badan mahluk (Bhuwana Alit/Microcosmos) mempunyai sifat-sifat keadaan yang bersamaan.
  1. Segala yang kental, padat dan keras pada alam maupun badan mahluk disebabkan oleh zat padat (Prthiwi).
  2. Segala sesuatu yang besifat cair di alam dunia maupun di alam mahluk disebabkan oleh unsur zat cair (Apah).
  3. Segala sesuatu yang bercahaya panas, baik di Bhuwana Agung maupun di Bhuwana Alit disebabkan oleh unsur cahaya panas/api (Teja).
  4. Yang bersifat angin, hawa dan gas pada alam dunia serta nafas pada badan mahluk/manusia disebabkan oleh unsur gas (Bayu).
  5. Adapun unsur kekosongan/kehampaan (Vacuum) yang ada pada alam dunia dan badan mahluk/manusia disebabakan oleh unsur ether (Akasa).
Menurut ajaran agama Hindu, manusia pertama disebut dengan nama: MANU, atau selengkapnya SWAYABHU-MANU, tetapi ini bukan nama perseorangan. Sebab dalam bahasa sansekerta, Swayambhu berarti: yang menjadikan diri sendiri. Suku kata “swayam” berarti diri sendiri, dan suku kata “bhu” berarti: menjadi, dan kata “manu” berarti “mahluk berfikir yang menjadikan dirinya sendiri”, yakni MANUSIA PERTAMA. Istilah manu sekarang menjadi kata manusia. Menurut ajaran Hinduisme, semua manusia adalah keturunan Manu.[13]
Jika di alam semesta atau makrokosmos pancamahabhuta atau anasir kasar membentuk triloka (Bhur-loka, Bhuwah-loka, dan Swah-loka) maka di dalam manusia sebagai mikrokosmos pancamahabhuta membentuk trisarira yaitu tubuh kasar, tubuh halus, dan tubuh penyebab. Itulah sebabnya kedua alam (makro dan mikrokosmos) memiliki sifat-sifat yang sama. Kecuali ketiga macam tubuh dalam manusia masih terdapat Atman, yaitu percikan kecil atau sinar Parama Atman, sinar sang Hyang Widi. Atman pada manusia disebut Jiwatman, yaitu yang menghidupkan manusia. Fungsi Atman di dalam badan manusia saperti kusir terhadap kereta. Sebagai sinar ilahi atau percikan sang Hyang Widi, Atman memiliki sifat-sifat sang Hyang Widi, sebagai misalnya: tak terlukai oleh senjata, tak terbakar oleh api, tak terkeringkan oleh angin, tak terbasahkan oleh air, abadi, ada di mana-mana, tak dilahirkan, tak dipikirkan, dsb.
Sekalipun demikian  manusia tidaklah sempurna, fana, dapat mati. Hal ini disebabkan karena Atman dipenjarakan di dalam tubuh, yang mengakibatkan manusia dikuasai oleh awidya. Akibat awidya lebih lanjut ialah manusia dikuasai oleh hukum karma dan samsara, kelahiran kembali (purnabhawa). Hukum karma tadi dapat menyebabkan orang dilahirkan kembali sebagai manusia, tetapi juga sebagai binatang, tumbuh-tumbuhan. Jika orang dilahirkan kembali sebagai manusia, hal itu adalah suatu keuntungan yang besar, sebab kelahiran kembali sebagai manusia memberi kesempatan untuk meningkatkan kesempurnaan hidup, guna mengatasi kesengsaraan. Itulah sebabnya dewa-dewa pun perlu dilahirkan kembali sebagai manusia dulu, agar dapat mencapai kebebasan abadi (nirwana).[14]
Berbeda dengan keyakinan di dalam  agama islam, Kristen, yahudi, dan Zarathustra, yang mengajarkan bahwa alam semesta itu diciptakan tuhan Yang Maha Esa  dari tidak ada menjadi ada melalui iradat dan kodratnya yang tidak terbatas, maka agama Brahma mengajarkan bahwa alam semesta itu adalah pancaran dari Brahman. Upanishad pada bagian chandogya mengungkapkan pada kejadian alam semesta sebagai berikut:
Pada permulaan hanya ADA sendirian, Maha Esa, tanpa ada yang kedua. Dia, Yang Maha Esa itu,berpikir di dalam dirinya: biarlah aku menjadi banyak, biarlah aku berkembang selanjutnya. Kemudian dengan zat-nya iapun melentunkan alam semesta: setelah melentunkan zat-nya ke alam semesta, ia masuk ke dalam setiap makhluknya itu. Adapun seluruh makhluk memiliki zat-nya yang paling halus di dalam diri tiap makhluk. Dia adalah Al-haqq, dia adalah diri. Dan begitulah, hai Svetaku, bahwa ITU ADALAH ENGKAU.
Di dalam Upanishad pada bagian chandogya itu dikisahkan seterusnya bahwa terhadap Svetaku  yang belum dapat  memahamkan hal itu. Maka Rishi Uddalaka menyuruh Svetaku meletakan kepingan garam ke dalam mangkok air. Pada keesokannya Rishi Uddalaku menyuruh Svetaku memeriksa kepingan garam tersebut, dan hasilnya tidak ada. Kemudian Rhisi Uddalaku menyuruh Svetaku untuk menyicipinya, dan stevaku merasakan asin pada air tersebut. Maka Rhisi Uddalaku menjelaskan bahwa demikianlah zat Brahma merasuk ke dalam tubuh yang ada, dan itulah disebut atman.
Seorang manusia memanggilkan dirinya “aku” , sewaktu kakinya dipotong , dia masih berteriak “aku”, setelah kedua lengannya terpotong dia masih berteriak “aku”, dan setelah badannya dicincang dia masi berteriak “aku”, hingga ketika ia menghembuskan nafas terakhir iapun berbisik “aku”.
Lantas siapakah “aku” itu?
Menurut ajaran Brahman “aku” itu adalah atman yang merupakan proyeksi dari zat Brahman.dalam ajaran ini tampak kesamaan dengan ajaran neoplatonism. Aliran filsafat grik yang terakhir, dibangun oleh Plotinus(205-270M) pada abad ke 3 masehi di Iskandaria. Ada yang berpendapat bahwa Plotinus pernah mendalami filsafat India. Pokok ajaran tentang mengenali dia dalam diri sendiri  dan dia terdapat pada diri seluruhnya  dan dia adalah seluruhnya yang banyak dijumpai dalam Kitab Veda terutama dalam Kitab Upanishad, melahirkan paham bahwa wujud tunggal pencipta itu meresapi  seluruh alam. Paham itu di dalam dunia filsafat disebut dengan panteism. Paham tersebut juga pernah dianut oleh sufi-sufi islam sejak abad ke 10 masehi, oleh Jalaludin Ar-rumi pada tahun(1207-1273). Adapun paham itu juga berpengaruh dalam pihak tertentu dari mistik Kristen, seperti  St. Augustinus salah satu tokoh dalam agama Kristen yang disebut  sebagai santa atau wali allah pada tahun (396-430M).[15]
PENUTUP
Proses penciptaan alam samesta berawal dari tidak ada apa-apa, yang ada hanya Tuhan Yang Maha Esa (Paramasiwa/Nirguna Brahma/Tuhan Tidak berbentuk), sunyi, kosong, gelap, sepi dan hampa. Kemudian Tuhan mewujudkan diriNya menjadi Sadasiwa/Saguna Brahma (Tuhan berwujud) yang merupakan penunggalan dari Purusa (unsur dasar kejiwaan) dan Pradana (unsur dasar kebendaan). Baik Purusa maupun Prakerti keduanya adalah tanpa permulaan, sifatnya tidak dapat diamati.
Penyatuan keduanya (unsur dasar kejiwaan dan unsur dasar kebendaan) melahirkan Tiga sifat yang disebut Triguna yaitu:
  1. Satwa: sifat dasarnya tenang, terang dan menerangi.
  2. Rajas: sifat dasarnya aktif dan dinamis.
  3. Tamas: sifat dasarnya berat dan gelap, statis.
Maksud tiga ajaran di atas tersebut adalah sebagai berikut:
  1. Hubungan manusia  kepada Tuhan, diwujudkan dalam berbagai  bentuk pelaksanaan agama dan keagamaan, sehingga menimbulkan kebahagiaan bhatin yang  damai. Seperti Sembahyang, upakara yadnya sebagai  bentuk visualisasi bhakti yang tinggi.
  2. Hubungan manusia dengan manusia, yaitu dengan selalu menjunjung nilai persaudaraan sejati, toleransi dan hidup rukun.
  3. Hubungan manusia dengan alam, hal ini mengharuskan manusia untuk bisa memahami makna mendekatkan diri dengan alam, karena manusia tidak bisa hidup tanpa alam, yaitu makna relasi yang saling menguntungkan dan saling menjaga satu sama lain.
Kemudian sebelum menciptakan manusia, Tuhan Yang Maha Esa, menciptakan mulai dari yang paling halus menuju yang paling kasar, yaitu menciptakan Dewa-dewa (malaikat), Gandharwa, Pisaca, Raksasa, Yakosa dan sejenisnya, kemudian baru mahluk-mahkluk berbadan kasar seperti manusia dan binatang. Manusia pertama disebut MANU, atau Swayambhu yang artinya: Mahluk berfikir yang menjadikan dirinya sendiri. Dari kata Manu sekarang ini berkembang menjadi kata manusya (MANUSIA) yang berarti: keturunan manu.
Manusia adalah bagian dari Alam samesta, demikian pula asal mula manusia dan alam samesta pada hakekatnya adalah sama, yaitu berawal dari pertemuan Purusa dan Prakerti. Setelah terciptanya Panca Mahabutha yaitu: unsur ruang, unsur Hawa/udara, unsur Api/Panas, unsure Air/bersifat Cair, dan unsur padat/keras, maka sari-sari dari panca mahabutha ini menjadi Sad Rasa yaitu: Enam Jenis Rasa: Manis, Pahit, Asam, Asin, Pedas dan Sepat. Dalam proses penciptaan setelah munculnya Ahamkara (unsure dasar rasa) maka muncullah Dasa Indriya yang dibagi menjadi dua yaitu: Panca Budhi Indria dan Panca Karma Indria.


DAFTAR PUSTAKA

Ali, Mukti. Agama-agama di Dunia. Yogyakarta: IAIN SUNAN KALIJAGA PRESS. 1988.
Arifin, H.M., Belajar Memahami Ajaran Agama-agama Besar. Jakarta: C.V. Sera Jaya, 1980.
Hadiwijono, Harun. Agama Hindu dan Buddha. Jakarta: PT BPK Gunung Mulia, 2001, cet. Ke-12.
Setia, Putu. Cendekiawan Hindu Berbicara. Denpasar: Yayasan Dharma Naradha, 1992. cet. Ke-3.
Sou’yb, Joesoef. Agama-Agama Besar di Dunia (Jakarta, PT. Al Husna Zikra.1996.
Swabodhi, Pandita D.D. Harsa. Upamana-Pramana Buddha dharma dan Hindu Dharma. Medan: Yayasan Perguruan “Budaya” & I.B.C., 1980.


[1] Harun Hadiwijono, Agama Hindu dan Buddha (Jakarta: PT BPK Gunung Mulia, 2001), cet. Ke-12, h. 139.
[2] Harun Hadiwijono, Agama Hindu dan Buddha, h. 140.
[3] Harun Hadiwijono, Agama Hindu dan Buddha, h. 140.
[4] Mukti Ali, Agama-agama di Dunia (Yogyakarta: IAIN SUNAN KALIJAGA PRESS, 1988), h. 96.
[5] Putu Setia, Cendekiawan Hindu Berbicara (Denpasar: Yayasan Dharma Naradha, 1992), cet. Ke-3, h. 55.
[6] H.M. Arifin, Belajar Memahami Ajaran Agama-agama Besar (Jakarta: C.V. Sera Jaya, 1980), h. 74-75.
[7] Harun Hadiwijono, Agama Hindu dan Buddha, h. 171.
[8] H.M. Arifin, Belajar Memahami Ajaran Agama-agama Besar,  h. 54-55.
[9] Harun Hadiwijono, Agama Hindu dan Buddha, h. 172.
[10] Pandita D.D. Harsa Swabodhi, Upamana-Pramana Buddha dharma dan Hindu Dharma (Medan: Yayasan Perguruan “Budaya” & I.B.C., 1980), h.  57-58.
[11] Pandita D.D. Harsa Swabodhi, Upamana-Pramana Buddha dharma dan Hindu Dharma, h. 59-61.
[12] Harun Hadiwijono, Agama Hindu dan Buddha, h. 173.
[13] Pandita D.D. Harsa Swabodhi, Upamana-Pramana Buddha dharma dan Hindu Dharma, h. 68-69.
[14] Harun Hadiwijono, Agama Hindu dan Buddha, h. 174.
[15] Joesoef Sou’yb, Agama-Agama Besar di Dunia (Jakarta, PT. Al Husna Zikra.1996), h. 45-49.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar