Upacara Kelahiran Sampai Perkawinan dalam Agama Hindu
Oleh :
Suartinih dan Shalhing
Pendahuluan
Dalam
agama Hindu banyak terdapat praktek-praktek upacara dalam kegiatan yang
menyangkut kegiatan keseharian serta kerohanian yang mereka jalani
dalan kesehariannya.Seperti bagaima menusia yang masih dalam benih sang
ibu,saat ia dilahirkan sampai menuju jenjang perkawinan.
Upacara bayi dalam kandungan
Dalam agama hindu,ritual atau upacara yang dilakukan ketika bayi masih dalam kandungan disebut Magedog-gendongan.Upacara
ini dilakukuan setelah kandungan berusia di bawah lima bulan.Upacara
ini bertujuan untuk membersihkan dan memohon keselamatan jiwa si bayi
agar kelak menjadi orang yang berguna untuk dalam masyarakat nanti.
Tata cara upacara magedog-gendongan:
Dilakukan
di dalam pemandian di dalam rumah,ibu yang sedang mengandung
disucikan,di tempat suci itu disertakan pula alat upacara berupa benang
hitam satu ikat yang kedua ujungnya diikatkan pada cabang kayu
dadap,bambu runcing,air berisikn ikan yang masih hidup,ceraken dibungkus
dengan kain lalu cabang kayu dadap yang terikat dengan kayu dadap
ditancapkan pada pintu gerbang.Ceraken yang berisi air dan ikan
dijinjing oleh sang ibu,sang suami memegang dengan tangan kiri,sedangkan
tangan kanan suami memegang bamboo,air suci dipercikan pada sesajian
yang telah disediakan,.setelah itu suami istri bersembahyang memohon
keselamatan agar bayi yang di dalam kandungan selamat sampai lahirnya
nanti tanpa hambatan,upacara ini disertakan pula mantra-mantra sepertidi
Bali digunakan mantra Matrpuja Nadisraddhadan dan Prapajapalopuja yang samata-mata dilakukan untuk keselamatan ibu.[1]
Kelahiran bayi
Upacara
Jatakarma yaitu upacara kelahiran bayi yang dilaksanakan ketika
sebelum tali pusar bayi itu terputus,jika tali pusar si bayi sudah
terlanjur lepas,harus dibuatkannya suatu upakara yang bertujuan untuk
membersihkan secara spiritual tempat-tempat suci dan bangunan-bangunan
yang ada disekitarnya.
Tata cara upacara Jatakarma
Pusar
si bayi dibungkus dalam secarik kain lalu dimasukkan ke dalam sebuah
kulit ketupat kecil,disertai dengan sejenis rempah-rempah yang
khasiatnya menghangatkan,seperti cengkeh.Lalu ketupat kecil ini
digantung menghadap arah kaki tempat tidur si bayi
.Terdapat tiga macam tujuan dari upacara ini,yaitu
- Medha Jhana,yaitu diadakan upacara ini untuk menumbuhkan intelektual atau kepintaran anak.Pada saat upacar berlangsung,sang ayah memberikan satu sendok kecil madu atau minyak dari susu kepada bayinya,di telinga bayi itu sang ayah mengucapkan mantra Gayatri.Tujuan dari semua ini adalah agar bayi tumbuh cerdas ,rupa yang bagus,dan kesehatan yang baik karena unsure madu dan minyak susu itu merupakan sumber kecerdasan,wajah dan kesehatan.
- Ayusya,yaitu upacara yang bertujukan adanya umur panjang bagi si bayi tersebut.Pada telinga kanannya,sang ayah mengucapkan mantra yang berbunyi :”Api adalah berumur panjang,melalui dewa api memohon kepada tuhan agar anak itu diberikan umur panjang,air adalah berumur panjang,melalui dewa air memohon kepada tuhan agar anak itu diberikan umur panjang,laut adalah umur panjang…..”dan seterusnya.
- Kekuatan juga dimohonkan untuk pengucapan mantra-mantra kehadapan tuhan,antara lain: Anggad anggad sambhaswasi hrdayadaadhhijase,atma wai putranawabhasi sajiwa saradah satam.Artinya :jadikanlah sekuat batu,jadikanlah sekuat baja,jadikanlah sekuat emas anak kami ya Tuhan,semoga menganugrahi kehidupan seratus tahun.[2]
Perbedaan-perbedaan
Terdapat
beberapa perbedaan dalam upacara Jatakarma dalam umat Hindu di India
dan umat Hindu di Indonesia.Jika di India sehari sebelum melahirkan,sang
ibu dianjurkan memasuki kamar yang telah disediakan khusus untuk proses
kelahiaran,yang telah pula diberikan doa-doa untuk mengusir kekuatan
negative serta penjagaan terhadap kekuatan negatife yang akan masuk.Pada
saat proses kelahiran,sang ibu berbaring,lalu semua pintu kamar dibuka
tetapi pintu rumah luar ditutup,konon cara seperti ini juga digunakan di
Jerman ketika proses kelahiran berlangsung.Pada saat itu pula diucapkan
doa-doa untuk melindungi ibu dan bayinya dari gangguan-gangguan
negative.Pada tradisi umat Hindu di Hindia,tidak adanya doa ataupun
upacara mengenai ari-ari.
Lain
pula halnya di Indonesia,dalam kepercayaan umat Hindu di
Indonesia,beranggapan bahwa mulai saat setelah lahir,pada saat itu juga
bayi itu diasuh oleh Sang Hyang Kumara ,dan untuk itu pula dibuatkan
sebuah tempat bayi itu tidur yang disebut pelangkir Kumara.Sang
Hyang Kumara ini ditugaskan oleh Bhatara Siswa menjadi pengasuh serta
pelindung anank-anak yang seketika itu giginya belum tanggal.Sesajen
untuk Kumara ini berisi nasi putih dan nasi kuning yang berisikan telur
dadar,sepotong kecil pisang mas,geti-geti,gula jawa(gula bali yang
direbus),serta minyak wangi dan bunga-bungaan yang harum,terutama yang
berwarna putih dan kuning.Dalam kepercayaan umat Hindu,Kumara adalah
seorang dewa yamg tidak mau mempunyai keturunan sehinnga tetap sebagai
teap menjadi anak-anak,tetap suci dan lugu,Jika seorang bayi tertawa
kecil sendiri,tiu daanggap sedang bermain-main dengan penjaganya yaitu
Kumara.Tentang masalah ari-ari di Indonesia,hal ini termasuk masalah
penting dalam penanganannya.
Upacara setelah kelahiran bayi
Upacara
Bajong Colong atau Ngerorasin adalah upacara pergantian nama terhadap
Catur Sanak, dan mempersiapkan nama baru untuk sang anak yang
dilaksanakan ketika bayi berumur 12 hari.Tujuan dari upacara ini adalah
untuk keselamatan bayi karena terpisah dangan catur sanak dan
memperkuat kedudukan Atman atau roh sang bayi dengan sekaligus
membersihkan badan halus bayi itu dari kotoran yang dibawa dari rahim
ibu.Umat Hindu Indonesia khususnya di Bali,pada saat upacara ini
berlangsung dilakukan pula pemberian nama.Di India,pemberian nama
disebut Namakarana.
Tata cara upacara Bajong Colong
Sejumlah lilin dinyalakan dan potongan lidi berisi kapas dibasahi oleh minyak yang dsulut api atau di Bali disebut dengan Linting.Jumlah Linting yang digunakan adalah jumlah sesuai” urip”kelahiran bayi tersebut.Pada setiap Linting
digantungkan daun rontal atau kertas yang telah disiapkan nama-nama
yang telah disiapkan oleh orangtuanya,hal demikian dilakukan pada zaman
dahulu ,sekarang pemberian ataupun penambahan atau penggantian nama
tidak lagi menggunakan ketentuan ini lagi,sekarang begitu bayi lahir
telah disiapkan namanya.
Upacara kambuhan
Upacaran
ini adalah upacara pembersihan orangtua dan bayinya terhadap lingkungan
luarnya.upacara ini dilakukan ketika bayi beurmur 42 hari.Karena
sebelum bayi berumur 42 hari,orang tua terutama ibu dianggap kotor
sehinnga belum diperkenankan masuk ke tempat yang suci.
Upacara Tigang Sasih
Upacara
ini diadakan ketika bayi berumur tiga bulan,di India upacara ini
disebut Niskarmana,yang berarti dalam bahasa inggris adalah first
ounting yaitu membawa bayi keluar untuk pertama kalinya.Di
Indonesia,upacara ini dilaksanakan ketika bayi berumur 105
hari,perhitungan ini terjadi dikarenakan terhitung satu bulan berumur 35
hari.
Tata cara upacara Tigang Sasih
Di
India dalam upacara ini,di sekitar pekarangan rumah dibuatkan bentuk
segi empat yang di dalamnya disebarkan beras oleh sang ibu bayi
tersebut,Di atas tebaran beras itu dibuatkan gambaran swastika.Dari
tempat itulah sang bayi diajak melihat mentari pagi.Sebelum ditebari
beras,persegi empat itu diolesi seluiruhnya dengan lumpur tanah
liat,lalu sang ayah menggendong bayinya dengan muka bayinya itu
diarahkan ke matahari.Bayi itu dipakaikan pakaian yang layak serta indah
kemudian diajak ke tempat pemujaan rumah itu(sanggar keluarga).Pemujaan
di tempat itu diantar oleh pendeta serta diiringi oleh bunyi-bunyian
musik,lalu sang pendeta mengucapkan mantra weda kehadapan tuhan dengan
disaksikan oleh para dewa penjaga kedelapan penjuru angin serta dewa
mataharidewa bulan dan dewa angkasa.Ayah sang bayi tidak
berhenti-hentinya mengucapkan mantra Wisnu-dharmottar.Setelah
upacara ini berakhir,sang bayi diberikan kepada pamannya dari pihak ibu
yang terus memangkunya,serta diberikan hadiah-hadiah .
Lain
halnya di Indonesia,upacara ini diadakan rumah tangga sendiri atau di
rumah pendeta tidak di pura(tempat pemujaan umum).Upacara ini dianggap
penting oleh umat Hindu karena hanya dilakukan sekali seumur hidup.
Upacara weton
Upacara
ini dilaksanakan setiap 6 bulan sekali,tidak lain tujuan dari upacara
ini adalah memohon kepada tuhan yang maha esa untuk keselamatan bayi
tersebut,tetapi bukan hanya bayi yang dimintai keselamatannya saja
tetapi juga untuk semua hewan dan tumbuhan agar dapat subur dan panjang
umurnya.
Perkawinan dalam agama Hindu
Pengertian perkawinan
Adalah
merupakan ikatan batin antara pria dan wanita yang akan melaksungkan
pernikahan.Pengertian ini juga tertera dalam Undang-Undang No.1 Tahun
1979,pasal 1,yang bertujuan untuk membentuk keluarga yang bahagia dan
kekal berdasarkan tuhan yang maha esa.
Perkawinan
atau vivaha dalam agama Hindu mempunyai ari dan kedudukan yang khusus
di dalam kehidupan manusia yaitu awal jenjang grhstha.Di dalam kitab
Manava Dharmasastra bahwa pernikahan itu bersifat religius(sakral)dan
wajib hukumnya,ini dianggap mulia karena bisa memberi peluang kepada
anak untuk menebus dosa-dosa leluhurnya agar bisa menjelma atau menitis
kembali ke dunia.[3]
Syarat-syarat perkawinan
Syarat perkawinan terdiri dari dua faktor,yaitu secara:
- Batiniah,yaitu:
- pernikahan yang berdasarkan cinta sama cinta
- mempelai harus agama yang sama
- lahiriah, yaitu:
- faktor usia
- bibit,bebet,bobot
- tidak terikat oleh suatu perkawinan dengan pihak lain[4]
di
dalam masyarakat Hindu,khususnya di Bali, terdapat beberapa cara yang
dapat dilakukan untuk perkawinan yang merupakan bentuk pejabaran dari
bentuk perkawinan yang diungkapkan dalam Pustaka Manawa Dharmasastra, diantaranya: mempadik, ngerorod, nyentana, melegandang.[5]
v Mempadik
(meminang), bentuk ini adalah bentuk yan dianggap sebagai paling
terhormat .Yang melakukan pinangan ini adalah berasal dari pihak
laki-laki (purusa),yang datang memenuhi pihak perempuan(pradhana) dan telah mendapatkan persetujua dari kedua pihak.[6]
mempelai memadik memiliki tatanan sebagai berikut :
ü Pedewasaan(mencari hari baik)
dari
pihak keluarga laki-laki mulai memohon hari baik(dewasa),biasanya
memohon kehadapan sulinggih atau seorang yang sudah biasa memberikan
dewasa(Nibakang Padewasaan).
ü Penjemputan calon pengantin wanita
Pada
saat penjemputan ke rumah calon pengantin wanita,dari pihak laki-laki
harus diikuti oleh semua keluarga besarnya beserta unsur-unsur prajuru
adat(kelihan adat).prajuru dinas(kelihan dinas).Demikian juga dari pihak
calon pengantin wanita serta calon pengantinnya.
ü Ngetok lawang
Sebelum
pelaksanaanm ngetok lawang,sang calon pengantin pria mengucapkan
beberapa pantun,yang akan bersambut-sambutan pantun oleh calon pengantin
wanita.[7]
ü Cara meleksanakan Yadya Sesa (sagehan)
Taruh
sagehan tersebut di bawah,di atas sagehan diisi canang,ditancapkan
sebuah dupa yang sudah mengandung api,dengan posisi menghadap ke jalan
atau menghadap kedua calon pengantin,lalu mmemercikan tetabuhan dangan
beraturan.Adanya tatanan upacara ini adalah mengandung nilai spiritual
dan nilai etika dan menghasilkan dikaruniai anak yang sempurna.
ü Upacara perkawinan.
Tata upacara ini memiliki dua tahapan,yaitu:
- 1. Upacara mekala-mekala,yang berarti “menjadikan seperti kala”yaitu upacara yang dibuat agar identik dengan kekuatan kala(energy yang timbul),agar kekuatan kala yang bersifat negative bias menjadi kala hita atau berubah menjadi mutu kedewataan yang disebut”DAIWISAMPAD”
- Upacara pekala-kalaan
v Ngerorod(merangkat)
Adalah
suatu sistem orangtua berdasarkan cinta sama cinta namun tidak
mendapatkan persetujuan dari salah satu pihak orang tua atau kedua pihak
orangtua mereka,tetapi mereka tetap ingin melakukan pernikahan,dengan
jalan melarikan calon pengantin wanita ke calon pengantin pria.Sistem
perkawinan ini tetap dianggap sah,karena telah tertera sejak dahulu.[8]
Tata cara pelaksanaan perkawinan ngerorod ini dapat dijelaskan sebagai berikut :
ü Pengelukuan(pengandeg)
Setelah
dilarikannya pengantin wanita ke rumah calon pengantin pria,maka dari
pihak pria mengutus beberapa sanak keluarganya untuk dating ke rumah
calon pengantin wanita sambil membawa lampu lenterang yang telah
menyala,dengan tujuan untuk memberitahukan kepada pihak orangtua dan
calon pengantin wanita,bahwa anak gadisnya tersebut telah menyatakan
kawin dengan pria itu.Disaat itu pula sang utusan menunjukkan sehelai
surat pernyataan dari si gadis menyatakan diri sudah kawin dengan
seorang pria berdasarkan cinta sama cinta.
ü Penetes
Yaitu
prajuru banjar atau kepala lingkungan(kelihan dinas)bersama kelihan
adat banjar datang ke rumah calon pengantin setelah ada laporan bhwa ada
salah satu warga banjar akan melangsungkan perkawinan.
ü Tata cara pelaksanaan
Terdapat tiga tatanan dalam pelaksanaan tata cara perkawinan ini yang tidak lain seperti tata cara memadik,yaitu melalui:
- Pelaksanaan upacara mekala-kalan
- Upacara mejaya-jaya
- Upacara pewarang atau mejauman
Berbicara tentang kelangsungan pelaksanaan upacara di atas,tergantung dari persetujuan pihak pengantin wanita
v Nyentana(nyeburin)
Menurut
arti bahasa indonesianya,mungkin sam dengan perkawinan”ambil anak”
yaitu mengawini anak laki-laki untuk masuk menjadi anggota pihak
keluarga wanita dan tinggal pula di sana.Nyentana dikenal pula dengan
sebutan pekidih atau diminta,artinya si laki-laki tersebut diminta menjadu menantu dan meneruskan keturunan pihak wanita.
Perkawinan
ini umumnya dilakukan karena si wanita merupakan anak semata wayang dan
tidak mempunyai saudara pria.Seandaiya ia melakukan perkawinan secara
biasa,maka ia keluar dari keluarganya,sehingga tidak ada lagi yang
meneruskan ketueunan keluarga tersebut.[9]
Adalah
perkawinan yang didasarkan atas cinta sama cinta antara kedua
pihak.Berdasarkan hukum Hindu di Bali menganut system patrelinial,yaitu
bahwa lak-laki adalah hukum kepurusan.
Tata cara pelaksanaan :
Mengenai
tata cara pelaksanaan nyetana ini sama hal nya seperti tta cara
membadik,jika membadik calon pengantin pria yang meminag calon
pengantin wanita,sedangkan pada nyentana ini caon pengantin pria yang di
pinang oleh pengantin wanita serta pelaksanaan perkawinannya pun di
laksanakan oleh keluarga pengantin wanita.[10]
Bentuk-bentuk perkawinan
Di dalam tatanan kehidipan agama Hindu,khususnya di Bali memiliki beberapa bentuk perkawinan menurut petunjuk dari Manawa Dharmasastra Sloka 25-34,yang menyebutkan sebagai berikut:
Brahma Wiwaha
Mendapatkan calon istri yang berdsarkan cinta sama cinta,terlebih dahulu dihias.
Daiwa Wiwaha
Mendapatkan calon istri yang berdasarkan cinta sama cinta dan sebelum pelaksanaan pernikahannya dihias oleh pendeta.
Arsa Wiwaha
Seorang
ayah yang mengawinkan anaknya,dengan menerima mas kawin dari calon
pengantin pria berupa dua pasang lembu untuk memenuhi peraturan dharma.
Prajapati Wiwaha
Mendapatkan
calon istri sete;lah mendapatkan restu dari orangtua pihak wanita
berupa ucapan mantra yang berisi doa restu sebagai berikut :”semoga kamu berdua melaksanakan kewajiban-kewajiban bersama-sama”.
Setelah itu pengantin wanita memberikan penghormatan kepada calon suaminya.
Asura Wiwaha
Jika
pengantin pria menerima seorang perempuan berdasarkan cinta sama
cinta,setelah memberikan mas kawin kepada pengantin wanita berdasarkan
kemampuan serta di dorong oleh keinginan sendiri.
Gandarwa Wiwaha
Pertemuan antara laki-laki dan wanita dan timbul nafsunya untuk melakukan hubungan suami istri tanpa adanya ikatan pernikahan
Raksasa Wiwaha
Melarikan
seorang gadis secara paksa dari rumahnya,sanpai
menangis.berteriak-teriak disertai dengah membunuh keluarga dan merusak
rumah gadis tersebut
Paisaca Wiwaha
jika laki-laki mencuri-curi,memperkosa wanita yang sedang tidur,sedang mabuk atu bingun
Dengan nemikian bentuk perawinan yang masih dilaksanakan oleh umat Hindu khususnya di Bali adalah dari bentuk perkawinan Brahma Wiwaha sampai Prajapati Wiwaha.Pustaka Manawa Dharmasastra 39,menyebutkan sebagai berikut :
BRAHMADISU WIWAHESU
CATURSWEWANUPURWACAH,
BRAHMWARCASWINAH
JAYANTE CISTASAMMATAH.
Maksudnya :
Dari
sudut macam perkawinan yang diiuraikan berturut-turut di mulai dari
cara Brahma Wiwaha sampai Prajapati Wiwaha akan lahir putra yang
gemilang di dalam pengetahuan weda dan dimuliakan oleh orang-orang
budiman.
DAFTAR PUSTAKA
Sudarsana, Putu. Ajaran Agama Hindu. Denpasar : Mandara Saatra, 2002
Sudharta, Tjok Rai. Manusia Hindu. Denpasar : Yayasan Dharma Naradha, 1993.
I nyoman Arhtayasa,dkk. Surabaya : Paramitha, 1998
Tjok Rai Sudharta, Manusia hindu (Denpasar:Yayasan Dharma Naradha, 1993), h. 10-11
Sudharta, Manusia hindu, h. 17-18
I nyoman Arthayasa, Perkawinan Agama Hindu (Surabaya:PARAMITA,1998), hal. 1-3
Arthayasa, Perkawinan Agama Hindu, h. 11-12
Sudharta, Manusia hindu, h. 73
Sudharta, Manusia hindu, h. 118
Putu Sudarsana, Ajaran Agama Hindu(Denpasar: Mandara Sastra, 2002), h. 12-25
Sudarsana, Ajaran Agama Hindu, h. 73
Sudharta, Manusia hindu, h. 135
Sudarsana, Ajaran Agama Hindu, h. 76
[10]