Selasa, 24 Juni 2014

AJARAN BUDDHA DHARMA TENTANG KETUHANAN DAN BAKTI PUJA



AJARAN BUDDHA DHARMA TENTANG KETUHANAN DAN BAKTI PUJA
Oleh:
Ipan Fahmi Fauzillah dan Rodiah Adawiah

Pendahuluan
Sebagaimana kita ketahui, banyak agama-agama di dunia ini yang memfokuskan perhatiannya tehadap pemujaan pada tuhan dan makhluk-makhluk suci lainnya, namun para umat buddha di dunia telah memfokuskan pada tokoh buddha atau siddharta gautama sebagai seorang manusia yang menemukan bagaimana membawa penecerahan dari penderitaan dan keluar dari lingkaran hidup dan mati. Cara umat buddha untuk berhubungan dengan buddha adalah melalui penghormatan, sebagaimana orang lain dapat memuja kekuatan-kekuatan diluar alam atau dewa-dewa yang mereka yakini dapat memberikan pertolongan kepadanya dan sanak keluarganya.
Telah dijelaskan pula bahwa dalam agama buddha tidak mengenal konsep ketuhanan yang maha esa, yang ada adalah nibbana atau kesempurnaan sejati. Nibbana bisa dicapai dengan melaksanakan Jalan Mulia Berunsur Delapan. Tentu saja akan timbul pertanyaan dalam diri para umat serta simpatisan Buddhis bahwa apabila Nibbana atau Tuhan dalam Agama Buddha tidak memiliki konsep seperti pemahaman umum yang dikenal dalam masyarakat, lalu bagaimanakah umat Buddha seharusnya berdoa? Ini akan kita bahas dalam bhakti puja.
Agama buddha adalah religi humanitis, berpusat pada diri manusia sendiri dengan segala kekuatannya yang dapat dikembangkan hingga mencapai kesempurnaan. Berbeda dengan religi otoriter, yang menghendaki penyerahan, kepasrahan atau ketergantungan terhadap kekuatan diluar manusia.


Pembahasan
A.  Konsep Ketuhanan Buddha Dharma
Tak dapat dikatakan bahwa didalam ajaran agama buddha seperti yang terdapat didalam kitab pitaka terdapat ajaran tentang tuhana atau tokoh yang dipertuhankan. Tujuan hidup bukan untuk kembali kepada asalanya, yaitu tuhan. Melainkan unuk masuk kedalam nirwana, pemadaman, suatu suasana yang tanpa kemauan, tanpa perasaan, tanpa keinginan tanpa kesadaran, suatu keadaan dimana orang tidak lagi terbakar oleh nafsunya. Itulah situasi damai.
Oleh karen itu ada ahli-ahli agama yang tidak mau mengakui, bahwa buddhisme adalah suatu agama. Buddhisme adalah suatu falsafah, suatu usaha akal manusia untuk mencari kedamaian dengan rumusan-rumusan yang sistematis mengenai sebab dan akibat[1]. Akan tetapi pendapat yang demikian adalah keliru. Memang harus diakui bahwa sebutan tuhan atau tokoh yang dipertuhan tidak ada. Yang ada adalah nirwana, pemadaman, situasi padam, bukan tokoh yang memadamka. Tak ada gagasan tentang suatu pribadi yang ada dibelakang suasana damai itu. Tak ada gagasan tentang pemberi hukum, tata tertib, baik yang alamiah mauun yang moril. Tiada gambaran tentang yang disembah dan yang menyembah. Sekalipun demikian, dibelakang segala pernyataan yang negatif itu terdengar juga seruan manusia akan yang dipertuhan tadi.
Ajaran agama-agama tentang keyakinan terhadapa tuhan yang maha esa berbeda-beda. Sekalipun tampaknya ada hal-hal yang bertentangan terdapat pula hal-hal yang sama, yaitu dia adalah yang mutlak, yang sering dipahami dan dialami sebagai misteri, rahasia yang mengatasi dunia.
Buddha mengajarkan ketuhanan tanpa menyebut nama tuhan. Tuhan yang tanpa batas, tak terjangkau oleh alam pikiran manusia, tidak diberikan suatu nama, karena dengan sendirinya nama itu akan memberi pembatasan kepada yang tidak terbatas. Dalam agama buddha tuhan tidak dipandang sebagai suatu pribadi (personifikasi), tidak bersifat antropomorfisme (pengenaan ciri-ciri yang berasal dari wujud manusia) dan antropopatisme (pengenaan pengertian yang berasal dari perasaan manusia).
Buddha tidak mengajarkan teisme fatalistis dan determinis yang menempatkan suatu kekuasaan adikodrati merencanakan dan menakdirkan hidup semua makhluk. Teisme semacam itu mengingkari kehendak bebas manusia dan dngan sendirinya swajarnya juga meniadakan tanggung jawab moral perbuatan manusia .
  • Buddha Trasenden
Bagi mereka yang menganggap buddha dilahirkan sebagai orang hindu dan meninggal juga sebagai orang hindu, buddha adalah salah satu awatara. Awatara berarti ititsan atau perwujudan tuhan yang maha esa dalam memulihkan ketentraman dunia. Kitab purana menyebutkan ada 10 awatara, dan buddha adalah awatara yang kesembilan[2].
Thuben chordon melihat ada tiga cara pandang mengenai siapa sebenarnya buddha. Cara yang pertama, melihatnya sebaagai buddha historis, yang dilahirkan sebagai manusia yang kemudian meninggal dunia. Ia seorang penunjuk jalan, yang sekaligus memberi contoh kepada manusia. Cara yang kedua adalah dengan memahami buddha sebagai manifstasi keluhuran yang trasenden, yang muncul dalam berbagai bentuk dan simbol untuk berbagai fungsi. Ada banyak buddha yang masing-msing menonjolkan salah satu aspek dari nilai-nilai kebuddhaan. Hakikat dari semua manifestasi yang beragam sesungguhnya adalah sama. Cara yang ketiga memahaminya sebagai buddha masa mendatang, yang muncul dalam diri kita, karena kita semua memiliki potensi untuk menjadi buddha.
  • Trikaya
Hakikat kebudhaan dharmakaya yang absolut. Yang mutlak ini bersifat kekal, meliputi segalanya, tidak dibatasi olh ruang dan waktu, bukan realitas personifikasi, esa, beban dari pasangan yang berlawanan, ada dengan sedirinya, bebas dari pertalian sebab akibat. Tubuh dharma ini disebut juga rahim tathagata (tathagata garbha).
Keterlibatan dalam dunia yag bersifat relatif dimungkinkan jika buddha mengambil bentuk yang berwujud dan tampak secara fisik sehingga dapat dipahai dan diterima oleh segala makhluk. Dengan car itu buddha bekerja untuk menyelamatkan dunia[3]. Tubuh yang tampak tersebut adalah sambhogakaya dan nirmanakaya. Sambhogakaya, yaitu tubuh rahmat aatu tubuh cahaya, sering dinyatakan dalam perwujudan surgai yang dapat dilihat oleh makhluk surga dan boddhisatwa. Seorang buddha menyadari kebuddhaan dengan memiliki tubuh ini. Buddha memiliki tubuh cahaya untuk mengajar para boddhsatwa. Nirmanakaya yaitu tubuh perubahan yang dapat dilihat oleh manusia. Dipakai untuk mengajar manusia biasa. Buddha gotama sebagai buddha historis adalah wujud nirmanakaya.
  • Adi Buddha
Dalam agama buddha terdapat banyak buddha, tetapi hanya ada satu dharmakaya. Dharmakaya yang merupakan sumber perwujudan panca dhyani buddha dinamakan adi buddha. ”buddha tanpa awal dan akhir adalah adi buddha”[4]. Sebutan adi buddha berasal dari tradisi aisvarika (isvara, tuhan, maha buddha), aliran mahayana di nepal, yang menyebar lewat benggala, hinnga dikenal pula di jawa.
Adi buddha merupakan buddha primordial, yang esa atau dinamakan juga paramadhi buddha (buddha yang pertama dan tiada banding). Adi buddha timbl dari kekosongan (sunyata) dan dapat muncul dalam berbagai bentuk sehingga disebut visvarupa serta namanya pun tidak terbilang banyaknya. Adi buddha sering diidentifikasikan sebagai salah satu buddha mistis, berbeda-beda menurut sekte. Dengan memahami arti dari setiap sebutan yang maha esa, yang maha pengasih, yang maha tahu dan sebagainyayang bermacam-macam, sama menunjuk dari sifat tuhan yang satu.
Konsep adi buddha terdapat dalam kitabnamangsiti, karandavyuha, svayambhupurana, maha vairocanabhisambodhi sutra, guhya samaya sutra, tattvasangraha sutra, dan paramadi buddhodharta sri kalacakra sutra. Di indonesia sikenal dengan kitab namangsiti versi chandrakirti dari sriwijaya dan sanghyang kama hayanikan dari zaman pemerintahan mpu sendok.
Walau umat buddha menyebut tuhan yang maha esa dengan nama yang berbeda-beda. Undang-undang RI no.43 tahun 1999 (perubahan atas UU no. 8 tahun 1974  tentang pokok-pokok kepegawaian), sebagaimana peraturan pemerintah  RI no. 21 tahun 1975 (tentang sumpah/janji pegawai negri sipil), menyatakan dalam pengucapan sumpah atau janji bagi mereka yang beragama buddha, kata-kata “demi allah” diganti dengan “demi sang hyang adi buddha”[5].
  • Manifestasi Keyakinan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa
Keyakinan terhadap tuhan yang maha esa dengan sebutan atau nama yang berbeda-beda adalah pengakuan akan kebesaran tuhan yang tak dapat dijelaskan secara tepat . tingkat pemahaman akan hakikat tuhan bisa berbeda-beda pada setiap manusia. Keyakinan ini membawa konsekuensi kepada kita untuk bersikap saling menghormati, toleran, memelihara kerukunan dan bekerjasama antar pemeluk agam dan penganut kepercayaan yang berbeda, apalagi antar sekte.
Keyakinan bahwa tuhan yang maha esa mengatasi dunia, mendorong agar kita mengembangkan pemahaman, hingga mampu membebaskan diri dari semua rintangan duniawi, melalui penembusan bodhi, untuk sapai kepadanya. Karena tuhan yang maha esa itu juga maha tinggi, maha luhur, maha suci, maha sempurna, manusia yang percaya dan memujanya akan selalu mencinati segala sifat-sifatnya yang mulia, mengembangkan sifat-sifat itu dalam diri masing-masing. Salah satunya brahma vihara atau kediaman luhur yang bisa diarikan sebagai rumah tuhan yaitu cinta kasih (metta), welas asih (karuna), simpati (mudita) dan keseimbangan batin (upekkha).
Keyakinan terhadap tuhan yang maha esa sebagai kebenaran mutlak atau dharma yang mnguasai dan mengatur alam smesta, serta melindungi mereka yang melaksanakan kebenaran membuat kita selalu menjauh kejahatan dan tidak menentang hukum alam. Menyadari kehadirannya yang tidak dibatasi ruang dan waktu, membuat kita senantiasa merasa dekat dengannya dalam kehidupan sehari-hari, didunia luar hingga hati.
Beriman itu membuat seorang buddha dengan mantap memiliki kekuatan, selalu berusaha untuk meninggalkan hal-hal yang baik,bersemangat sekuat tenaga melatih dan tidak melepaskan tanggung jawab. Kebjikan orang yang memilii keyakinan harus dapat dikenali dari tiga hal, ia berhasrat untukmenemui orang-orang yang bijaksana, berhasrat untuk mendengarkan dharma, dan dengan hati yang bebas dari keserakahan, ia hidup dengan murah hati, bekerja tanpa suka mencela, suka berdana, suka menolong, dan berbagi dengan orang lain.
Berdasarkan uraian diatas, bahwa untuk memahami konsep ketuhanan dalam Agama Buddha, perlu dimengerti terlebih dahulu bahwa dalam masyarakat pada umumnya terdapat dua cara pendekatan. Pertama, tuhan dikenal melalui bentuk manusia. Oleh karena itu, tidak jarang dijumpai istilah tuhan melihat umatnya, atau tuhan mendengar doa umatnya serta masih banyak lainnya.
Pendekatan kedua, tuhan dikenal melalui sifat manusia. Misalnya, tuhan marah, tuhan cemburu, tuhan mengasihi, tuhan adil, serta masih banyak istilah sejenis lainnya. Berbeda dengan yang telah disampaikan, ketuhanan dalam agama buddha tidak menggunakan kedua cara di atas. Agama buddha menggunakan aspek nafi atau penolakan atas segala sesuatu yang dapat dipikirkan oleh manusia. Jadi, pengertian nibbana atau tuhan dalam agama buddha adalah yang tidak terlahirkan, yang tidak menjelma, yang tidak bersyarat, yang tidak kondisi. yang tidak terpikirkan, serta masih banyak kata tidak lainnya. Secara singkat, tuhan atau nibbana adalah mutlak, tidak ada kondisi apapun juga. Pendekatan yang berbeda ini sehubungan dengan ketidakmampuan bahasa manusia untuk menceritakan segala sesuatu bahkan hal sederhana yang ada di sekitar hidup manusia. Misalnya, seseorang tidak akan pernah mampu menceritakan rasa maupun bentuk durian kepada orang yang sama sekali belum pernah melihat durian. Sepandai apapun juga orang itu bercerita, si pendengar tetap mengalami kesulitan untuk membayangkannya, apalagi jika membahas mengenai bau durian yang khas. Pasti tidak mungkin terceritakan. Untuk itu, cara yang jauh lebih mudah menjelaskan hal ini adalah dengan membawa contoh durian asli untuk dikenalkan kepada si pendengar. Setelah melihat bendanya, mencium aromanya, si pendengar pasti segera menganggukkan kepada penuh pengertian.
B.  Konsep Bhakti Puja dalam Buddha Dharma
Banyak orang sering menyebutkan secara keliru bahwa umat buddha melakukan sembahyang di vihara. Untuk itu, sebaiknya harus dimengerti terlebih dahulu istilah sembahyang yang sebenarnya terdiri dari dua suku kata yaitu sembah berarti menghormat dan hyang yaitu dewa. Dengan demikian, sembahyang berarti menghormat, menyembah para dewa. Apabila sembahyang diartikan seperti itu, maka umat buddha sesungguhnya tidak melakukan sembahyang. Umat buddha bukanlah umat yang menghormat maupun menyembah para dewa. Umat buddha mengakui keberadaan para dewa dewi di surga, namun umat tidak sembahyang kepada mereka. Umat buddha juga tidak berdoa karena istilah ini mempunyai pengertian ada permintaan yang disebutkan ketika seseorang sedang berdoa[6]. Umat buddha tentu saja tidak pernah meminta kepada arca sang buddha maupun kepada pihak lain. Keterangan ini jelas menegaskan bahwa umat buddha bukanlah penyembah berhala karena memang tidak pernah meminta-minta apapun juga kepada arca sang buddha, arca yang lain bahkan kekuatan di luar manusia lainnya. Daripada disebut sembahyang maupun doa, umat buddha lebih sesuai dinyatakan sedang melakukan puja bakti. Istilah puja bakti ini terdiri dari kata puja yang bermakna menghormat dan bakti yang lebih diartikan sebagai melaksanakan ajaran sang buddha dalam kehidupan sehari-hari.
Dalam melakukan puja bakti, umat buddha melaksanakan tradisi yang telah berlangsung sejak jaman sang buddha masih hidup yaitu umat datang, masuk ke ruang penghormatan dengan tenang, melakukan namakara atau bersujud yang bertujuan untuk menghormat kepada lambang sang buddha, jadi bukan menyembah patung atau berhala. Kebiasaan bersujud ini dilakukan karena sang buddha berasal dari India. Sudah menjadi tradisi sejak jaman dahulu di berbagai negara timur termasuk India bahwa ketika seseorang bertemu dengan mereka yang dihormati, maka ia akan melakukan sujud yaitu menempelkan dahi ke lantai sebagai tanda menghormati mereka yang layak dihormati dan menunjukkan upaya untuk mengurangi keakuan sendiri.
Karena bersujud di depan altar ataupun arca Sang Buddha hanyalah bagian dari tradisi, maka para umat dan simpatisan boleh saja tidak melakukannya apabila batinnya tidak berkenan untuk melakukan tindakan itu. Tidak masalah, karena sebentuk arca tidak mungkin menuntut dan memaksa seseorang yang berada di depannya untuk bersujud. Namun, dengan mampu bersujud, maka seseorang akan mempunyai kesempatan lebih besar untuk berbuat baik dengan badannya. Ia belajar bersikap rendah hati.
Setelah memasuki ruangan dan bersujud, umat buddha dapat duduk bersila di tempat yang telah disediakan. Umat kemudian secara sendiri atau bersama-sama dengan umat yang ada dalam ruangan tersebut membaca paritta yaitu mengulang kotbah sang buddha. Diharapkan dengan pengulangan kotbah sang buddha, umat mempunyai kesempatan untuk merenungkan isi uraian dhamma sang buddha serta berusaha melaksanakannya dalam kehidupan sehari-hari. Dengan demikian, semakin lama seseorang mengenal dhamma, semakin banyak ia melakukan puja bakti, semakin banyak kotbah sang buddha yang diulang, maka sudah seharusnya ia semakin baik pula dalam tindakan, ucapan maupun pola pikirnya.
Salah satu contoh yang paling mudah ditemukan adalah kebiasaan umat membaca karaniyametta Sutta di vihara. Sutta atau kotbah sang buddha ini berisikan cara memancarkan pikiran penuh cinta kasih kepada semua mahluk di setiap waktu, ketika seseorang sedang berdiri, berjalan, berbaring, berdiam selagi ia tidak tidur. Diharapkan, dengan sering membaca sutta tersebut seseorang akan selalu berusaha memancarkan pikiran cinta kasih kepada lingkungannya. Ia hendaknya menjadi orang yang lebih sabar dari sebelumnya. Disebutkan pula dalam salah satu bait sutta tersebut bahwa jangan karena marah dan benci mengharapkan orang lain celaka. Pengertian baris cinta kasih ini sungguh sangat mendalam dan layak dilaksanakan. Dengan mampu melaksanakan satu baris ini saja dalam kehidupan, maka batin seseorang akan menjadi lebih tenang dan bahagia walaupun berjumpa dengan kondisi yang tidak sesuai keinginannya. Ia akan menjadi orang yang mampu mengendalikan dirinya. Dengan demikian, setiap kali ia hadir dan berkumpul maka ia akan selalu membawa kebahagiaan untuk lingkungannya.
Itulah makna sesungguhnya dari pengertian puja bakti yaitu menghormat dan melaksanakan ajaran sang buddha. Sekali lagi, umat buddha tidak berdoa, juga tidak sembahyang. Namun, sebagai manusia biasa, adalah wajar apabila umat buddha mempunyai keinginan atau permintaan, misalnya ingin banyak rejeki, ingin kaya dan sebagainya. Jika demikian, bagaimanakah yang dilakukan oleh umat buddha agar keinginan atau harapan yang ia miliki tersebut dapat tercapai?
Untuk mencapai keinginan yang dimiliki, secara tradisi umat buddha disarankan untuk melakukan kebajikan terlebih dahulu dengan badan, ucapan dan juga pikiran. Setelah berbuat kebajikan, ia dapat mengarahkan kebajikan yang telah dilakukan tersebut agar memberikan kebahagiaan seperti yang diharapkan.
  • Berdoa Bukan Meminta
Doa yang paling sering kita dengar adalah berbagai jenis permohonan. Kalaupun mengandung pujian, biasanya diikuti dengan permintaan. Ketika menghadapi penderitaan, kesulitan dan ketakutan, banyak orang berdoa meminta pertolongan. Seperti dalam mite rahu, sang surya berdoa saat gerhana matahari. Doa dalam mora parita juga memohon pertolongan dan perlindungan. Ini tidak salah, tetapi sembahyang atau doa saja tidak cukup untuk memecahkan masalah[7]. Kepada anathapindika, buddha pernah mengemukakan bahwa kebanyakan orang mendambakan panjang usia, kecantikan, kebahagiaan, kehormatan dan alam surga. Kelima hal itu tidaklah tercapai hanya dengan berdoa. Untuk mencapai apa yang diinginkan janganlah bergantung pada doa atau bersikap pasrah tak berdaya, tapi ia harus berusaha menempuh jalan kearah itu. Setiap orang dapat merubah nasibnya dengan berusaha melakukan apa yang terbaik.
Sehari-hari dapat kita lihat orang yang meminta agar keinginannya dipenuhi orang lain bersikap merendah atau juga menjilat hingga menyogok, dan menuntut. Jika doa diartikan meminta, dan ternyata yang diharkan sesorang tidak terkabul, mungkin timbul kemudian rasa jengkel dan kecewa. Bagi seorang buddhis, rahmat dan berkah tuhan, kasih buddha, perlindungan tritana tidak hanya bagi orang yang meminta. Tanpa meminta, apa yang diharapkan pasti akan datang pada waktunya sebagai buah dari perbuatan (karma). Karena itu orang berdoa seraya mawas diri, buddha selalu melindungi, buddha selalu memancarkan kasih sayangnya yang tidak terbatas.
Contoh doa dalam syair shanti deva (abad ke 7)[8].
Semoga aku menjadi penwar rasa sakit bagi semua makhluk 
Semoga aku menjadi dokter dan perawat bagi semua orang sakit
Semoga aku dapat memberi makan dan minum semua yang menderita lapar dan kehausan
Semoga aku menjadi mestika yang tak ternilai bagi orang-orang miskin
Smoga aku menjadi pembela bagi mereka yang dicampakan terlantar dipinggir jalan
Semoga aku menjadi perahu dan titian bagi mereka yang merindukan pantai sebrang
Semoga aku menjadi elita penerang bagi mereka yang tersesat jalan.
Shanti deva tidak berdoa agar menjadi kaya, tatapi apa yang diharapkannya jelas tidak akan tercapai tanpa kekayaan. Doanya bukan meminta, malah menunjukan untuk bisa memberi.
  • Parrita dan Mantra
Parrita adalah bacaan perlindungan yang dalam pengertian sekarang disamakan dengan doa. Pembacaan parita bermula dari petunjuk buddha kepada siswanya untuk mengucapkan bacaan tertentu agar terhindar dari kesulitan atau telindung dari kejahatan. Misalnya angulimala parrita yang dibacakan menjelang suatu persalinan. Berasal dari formula pernyataan kebenaran dan doa agar ibu dan bayiny selamat, yang diajarkan oleh buddha gotama kepada angulimala untuk menolong perempuan yang menghadapi kesukaran melahirkan.
Selanjutnya adalah mantra. Mantra adalah rumusan mistis suku-suku kata yang dipandang suci dan mengandung kekuatan gaib. Pada mulanya sebuah sutra panjang diringkas menjadi beberapa bait kalimat yang disebut hrdaya (ikhtisar). Hrdaya ini diringkas menjadi dharani yang hanya terdiri dari satu atau dua baris kalimat, yang selanjutnya diringkas lagi menjadi mantra yang terdiri dari beberapa suku kata.
Konsep mantra berkembang dai keyakinan agar kegunaan suara (sabda) sebagai sumber suatu kekuatan atau bahkan sebagai kekuatan itu sendiri yang memiliki pengaruh kuat terhadap diri manusia dan alam semesta. Agar suatu mantra menjadi efektif setelah dibaca berulang-ulang dengan mulut atau dengan hati, ia harus dibangkitkan didalam kesadaran seorang melalui integrasi psiofisik dan meditasi yang mendalam. Tanpa konsentrasi mendalam dan meditasi, mantra tidak memiliki kekuatan[9].
  • Persembahan
Berdoa (bhakti puja) dapat dilakukan secara pribadi atau bersama. Dalam suatu upacara, berdoa dapat dilakukan dengan ataupun tanpa mempersembahkan sajian. Untuk melakukan upacara persembahan karena buddha dan boddhisattwa mwmwrlukan persembahan itu. Tidak juga suatu persembahan dimaksudkan untuk mengambil hati mereka. Memberi persembahan bukan keharusan, tetapi biasany dilakukan sebagai cara untuk mengembangkan potensi batin dan melatih pikiran kita. Lewat persembahan kita mengikis egoisme, melenyapkan kemelekatan dan kekikiran. Kita membiasakan diri untuk memberi apa yang terbaik dengan terimakasih yang tulus, gembira berbagi, tanpa merasa kehilangan. Para buddha dan boddhisattwa menerima persembahan tanpa membawanya pergi.
Setiap sajian yang dipersembahkan memiliki makna simbolik. Pelita atau lilin melambangkan penerangan, menghapus saput kegelapan dan ketidaktahuan. Air selain membersihkan juga melambangkan kerendahan hati. Dupa yang harum dengan asap membumbung keatas mengingatkan kepada harumnya nama baik dan kebajikan menyebar kemana-mana hingga ke surga. Bunga mengingatkan ketidak kekalan sehingga kita terdorong untuk mencapai kebebasan.

Daftar Pustaka

Ali, Mukhti.H.A, Agama-agama di Dunia.Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga Press.1988.
Mukti, Krishanda Wijaya, Wacana Buddha Dharma. Jakarta: Yayasan Dharma Pembangunan. 2006.
Tanggok, M. Ikhsan,  Agama Buddha. Jakarta: Lembaga Penelitian Uin Jakarta. 2009.
Hadiwijono, Harun, Agama Hindu dan Buddha, Jakarta: PT. BPK Gunung Mulia. 1987.
Mahatera, Narada.Sang Buddha danAjaranya.Jakarta: Yayasan Dharmadipa Arama 1994.






[1] Harun Hardiwijono, Agama Hindu Dan Buddha, PT. BPK Gunung Mulia, Jakarta, 1987, h. 77
[2] Krishnanda Wijaya. Wacana Buddha Dharma, Yayasan Dharma Pembangunan, Jakarta 2006. h. 43
[3] Lihat Trevor O. Ling, “Buddha Kaya”, h. 156-157
[4] Krishnanda Wijaya. Wacana Buddha Dharma, Yayasan Dharma Pembangunan, Jakarta 2006. h. 49
[5] Krishnanda Wijaya. Wacana Buddha Dharma, Yayasan Dharma Pembangunan, Jakarta 2006. h. 51
[7] Krishnanda Wijaya. Wacana Buddha Dharma, Yayasan Dharma Pembangunan, Jakarta 2006. h. 97
[8] T.L Vaswani. Mengikuti Jejak Buddha, diterjemahkan oleh Edij, Bandung: Karaniya, 1989, h. 14-15
[9] Suwarto T. Buddha Dharma Mahayana, Jakarta: Majelis Agama Buddha Mahayana indonsia, 1995, h. 121-122.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar