Ajaran Buddha Dharma Tentang Etika
Oleh
BAB I
PENDAHULUAN
Dalam
alur sejarah agama-agama, khususnya di India, zaman agama Buddha
dimulai semenjak tahun 500 SM hingga tahun 300 M.. Secara historis agama
tersebut mempunai kaitan erat dengan agama yang mendahuluinya, namun
mempunyai beberapa perbedaan dengan agama yang didahuluinya dan yang
datang sesudahnya, yaitu agama Hindu. Sebagai agama, ajaran Buddha tidak
bertitik-tolak dari Tuhan dan hubungan-Nya dengan alam semesta dan
seluruh isinya, termasuk manusia. Tetapi dari keadaan yang dihadapi
manusia dalam kehidupan sehari-hari, khususnya tentang tata susila yang
harus dijalani manusia agar terbebas dari lingkaran dukkha yang selalu mengiringi hidupnya.[1]
Kata
‘Etika’ berasal dari bahasa Latin ‘Ethicus’; bahasa Yunani ‘Ethikos’
berarti prinsip-prinsip moril; kesopanan; kebiasaan; tata susila atau
kesusilaan. Kalau ditilik dari kata ‘susila’, maka susila terdiri dari
suku ‘su’ dan ‘sila’. Suku ‘su’ tersimpul pengertian baik; bagus,
sedangkan kata ‘sila’ mengandung makna: hukum; kaidah; moril;
peri-kelakuan; keadaan batin dan sebagainya. Jadi istilah ‘Susila’
bermakna norma moril yang baik atau peri-kelakuan batin yang sesuai
dengan norma hukum agama.[2]
Perlunya
etika timbul dari kenyataan bahwa manusia tidak sempurna, ia harus
melatih dirinya untuk lebih baik. Etika umat budha tidak belandaskan
pada adat sosial yang berubah tetapi pada hukum alam yang tidak berubah.
Nilai-nilai etika umat Budha pada hakikatnya adalah bagian dari alam
dan hukum tetap sebab akibat moral (kamma).[3]
BAB II
PEMBAHASAN
AJARAN BUDDHA DHARMA TENTANG ETIKA
Dalam
sistem agama Buddha, Hasta Arya Marga, yang membicarakan masalah
perbuatan baik dan buruk, benar dan salah, menempati kedudukan yang
sangat penting karena merupakan inti dari seluruh ajaran agama Buddha
untuk membebaskan manusia dari dukkha dan mencapai nirwana. Kesunyatan tentang Hasta Arya Marga ini juga dikenal dengan majjhimapattipada; atau
jalan tengah, karena ajarannya menghindari dua hal yang ekstrim, yaitu
mencari kebahagiaan dengan menuruti hawa nafsu yang rendah dan mencari
kebahagiaan dengan jalan menyiksa diri dalam berbagai cara yang dapat ia
tempuh (Abdurrahman 1988: 127). Michael D. Coogan mengatakan bahwa,
meskipun praktek etika agama Buddha berhasrat untuk mencapai nirwana,
namun praktek-praktek etika tersebut tidak sampai mengabdikan
perhatiannya untuk mengembangkan kepribadian secara keseluruhan (2005:
163).
Etika Budha diungkapkan dalam sejarah hidup seseorang manusia yang bernama Malunkyaputta,
yang diceritakan Budha bahwa dia tidak akan mendengarkan ajaranya
sampai dia (Budha) menjawab pertanyaan-pertayaanya, seperti bagaimana
duni diciptakan? Dan akankah Budha ada setelah kematian? Budha menjawab
pertanyaan dengan membandingkan Malunkyaputta dengan seorang manusia
yang telah tetembak oleh anak panah yang beracun tapi panah tersebut
tidak mau dicabutnya sampai dokter menceritakan apakah anak panah
tersebut dibuat dari apa, siapa yang menembakan anak panah tersebut
dan seterusnya. Untuk semua pengikut Budha, semua spekulasi adalah
subjek untuk seseorang mempraktikan prinsip: prinsip itu akan berharga
jika prinsip itu langsung membantu seseorang menghilangkan “kesakitan
akibat anak panah” dan menemukan jalan unuk sampai ke nirwana. Peranyaan dari Malunkyaputta itu adalah bentuk dari spekulasi yang datang secara tiba-tiba.
Selama
hidupnya Budha rela melepas kemewahan yang menjadi hak miliknya di
lingkungan kerjaan, namun ia tinggalkan semua itu demi menyelamatkan
banyak orang. Salah
satu cara yang ia tempuh adalah hidup dalam penderitaan. Hidup dalam
penderitaan sebagaimana dilakkan Budha adalah perbuatan yag baik, yan
dipusatkan pada pembebasan penderitaan diri sendiri dan orang lain. Ini
mencakup membantu orang lan mencapai nirwana, meskipun ia sendiri
menunda masuk nirwana untuk kepentingan orang lain. Kebijaksanaan
memfokuskan pada melihat sesuatu melalui hayalan yang merupakan
pengalaman yang lua biasa dalam hidup manusia, dengan demikian mnjadi
bebas dari penderitaan diri sendiri.[1]
Etika
sosial Buddhis dalam agama Budha hukum-hukum moral bukanlah dibuat atau
ditentukan oleh suatu pribadi tertentu, melainkan merupakan bagian tak
terpisahkan dari hukum-hukum universal maupun alam yang dapat dipandang
sebagai alat untuk mencapai tujuan tertentu dalam taraf rendah, untuk
mencapai kehidupan-kehidupan yang bahagia dalam roda kelahiran ini, dan
taraf tertinggi untuk mencapai pembebasan/penerangan sempurna. Disamping
menjadi petunjuk jalan menuju pembebasan, sang Budha juga menaruh
perhatian mendalam terhadap kesejahteraan manusia, dan telah mengajarkan
pedoman-pedoman untuk mencapai kebahagiaan dalam kehidupan masyarakat
sebagai seorang Bhisakka (dokter), beliau adalah dokter spiritual yan
besar, yang meningkatkan keseatan jiwa manusia dan masyarakatnya.
Sifat-sifat
ajaran beliau disebutkan sebagai: realistik, rasional, pragmatis dan
humanistik. Maka oleh karena itu kita melihat bahwa sang Budha sendiri
tidak berminat untuk memperbincangkan masalah-masalah metafisika,
melainkan beliau mengutamakan usaha utuk meningkatkan etika masyarakat.
Agama
Budha pada awalnya menitikberatkan pada segi etika, pemikiran-pemikiran
metafisika bukan saja tak bermanaat, tetapi juga menghambat usaha untuk
mencapai tujuan yang tertinggi.[2]
Kedelapan jalan mulia secara garis besar dapat dibagi menjadi sila, samadhi dan panna. Berikut rinciannya:
Ucapan benar
Perbuatan benar
Penghidupan benar
»» Kemoralan (sila)
Usaha/ Daya upaya benar
Perhatian benar
Konsentrasi benar
»» Konsentrasi (samadhi)
Pengertian benar
Pikiran benar
»» Kebijaksanaan (panna)
Sila adalah
ajaran kesusilaan yang didasarkan atas cinta kasih dan belas kasih
kepada sesama makhluk. Ajaran kasih kepada sesama makhluk ini tampaknya
sangat diperhatikan oleh umat Buddha dewasa ini.[3] Termasuk kelompok ini adalah:
- Ø Ucapan Benar (Samma vaca)
Pada
dasarnya adalah ucapan yang bukan dusta / bohong, fitnah, kasar, dan
kosong. Seseorang yang berpantang atau menghindari ucapan seperti ini
berarti telah berlatih berkata benar. Ucapan benar adalah sammavaca virati, salah satu dari 52 jenis faktor batin (cetasika),
yang termasuk dalam kelompok pantangan. Seseorang yang berpantang dari
ucapan salah, akan melatih atau melaksanakan ucapan yang berisi
kebenaran, ucapan yang dapat dipertanggungjawabkan, ucapan yang lemah
lembut, dan ucapan yang berguna.
- Ø Perbuatan Benar (Samma kammanta)
Adalah perbuatan yang:
- Bukan pembunuhan terhadap manusia maupun binatang
- Bukan pencurian atas barang yang berharga / tak berharga yang tak diberikan
- Bukan perzinahan dengan paksa atau atas dasar suka sama suka
Perbuatan dursila semacam ini dapat terjadi karena kurangnya sifat mulia seperti cinta kasih, belas kasihan dan kepuasan.
Seseorang yang berpantang atau menghindari perbuatan buruk di atas berarti telah melakukan perbuatan benar (sammakammanta virati).
- Ø Penghidupan Benar (Samma ajiva)
Sekurang-kurangnya
adalah penghidupan yang bukan salah satu, sebagian atau semua, dari
lima macam perdagangan yang harus dihindari, yaitu: perdagangan senjata
pembunuh, perdagangan budak, perdagangan mahluk yang disembelih (daging
atau anggota badan lain), perdagangan minuman keras / obat perangsang /
obat bius / narkotika, dan perdagangan racun.
Penipuan
yang tidak didasari alasan ekonomi, termasuk ucapan salah. Tetapi jika
penipuan itu berkaitan dengan perniagaan sebagai mata pencaharian,
tentunya tergolong sebagai penghidupan salah.
Begitu
juga, penyimpangan hubungan kelamin dengan orang yang terlarang karena
alasan tradisi, pemerintahan, agama, jika bukan sebagai mata
pencaharian, termasuk perbuatan salah, namun praktik prostitusi tentunya
terjajar dalam deretan mata pencaharian yang tergolong sebagai
penghidupan salah.
Sementara itu, perdagangan yang melanggar hukum juga dapat dianggap sebagai penghidupan salah.
Bagi
para Bhikkhu, penghidupan benar adalah penghidupan yang bersih dari
praktik seperti menjadi tukang ramal, dukun, tukang teluh, pesuruh, dan
yang bukan merupakan hasil perniagaan dalam bentuk apa pun.
Seperti
halnya ucapan benar dan perbuatan benar, penghidupan benar juga dilatih
dan dilaksanakan melalui penghindaran atau pantangan (viraati cetasika). Seseorang yang telah menghindari atau berpantang melakukan penghidupan salah berarti telah melaksanakan penghidupan benar.
Samadhi sangat diperlukan dalam membentuk etika dalam agama Buddha. Samadhi dapat melatih mendisiplinkan seseorang dan mental seseorang.[4] Disiplin mental tetdiri dari:
- Ø Usaha Benar (Samma vayama)
Terdiri dari:
- Samvarappadhana, usaha benar dalam mencegah timbulnya hal jahat dan tidak baik yang belum muncul ketika menerima suatu bentuk melalui mata, suara melalui telinga, bau melalui hidung, rasa melalui lidah, sentuhan melalui tubuh, atau kesan melalui pikiran.
- Pahanappadhana, usaha benar dalam mengatasi hal jahat dan tidak baik yang sudah muncul seperti: nafsu indera, itikad jahat, dan lainnya.
- Bhavanappadhana, usaha benar dalam mengembangkan hal baik yang belum muncul, yaitu unsur-unsur pencerahan agung (bojjhanga) yang terdiri dari: perhatian (sati), penyelidikan Dhamma (dhammavicaya), semangat (viriya), kegiuran (piti), ketenangan (passadhi), konsentrasi (samadhi), dan keseimbangan batin (upekkha).
- Anurakkhappadhana, usaha benar dalam mempertahankan hal baik yang telah muncul antara lain, yaitu pemusatan batin pada suatu objek meditasi.
- Ø Perhatian Benar (Samma sati)
Secara garis besar, berisikan empat landasan pengembangan perhatian murni (satipatthana), yang harus dibangun dengan merenungkan:
- Jasmani (kayanupassana)
- Perasaan (vedananupassana)
- Kesadaran (cittanupassana)
- Gejala dan Objek batin (dhammanupassana)
Pelaksanakan empat macam perenungan ini dapat menghapus tuntas:
- Kekhayalan atas kesenangan (sukhavipallasa)
- Kekhayalan atas kelanggengan (niccavipallasa)
- Kekhayalan atas adanya diri/kepemilikan (attavipallasa)
- Ø Konsentrasi Benar (Samma samadhi)
Konsentrasi yang merupakan penunggalan pikiran pada satu objek (cittekkaggata) ini mempunyai dua jenis tingkat pengembangan, yaitu:
- Upacara samadhi, konsentrasi mendekati - jhana
- Appana samadhi, konsentrasi penuh di dalam objek - pencapaian jhana
Dalam
pencapaian kedua tingkatan di atas, lima rintangan batin (nafsu indera,
itikad jahat, kemalasan dan kelambanan batin, kegelisahan dan
kekhawatiran batin, serta keraguan skeptis) dapat diendapkan, namun
belum dikikis / dihancurkan.
Sedangkan Panna, atau kebijaksanaan luhur dalam Hasta Arya Marga, terdiri dari;
- Ø Pengertian Benar (Samma ditthi)
Pada hakekatnya adalah pengertian benar tentang Empat Kebenaran Mulia (Cattari Ariya Saccani), yaitu:
- Kebenaran mulia tentang penderitaan
- Kebenaran mulia tentang sebab penderitaan
- Kebenaran mulia tentang terhentinya penderitaan
- Kebenaran mulia tentang jalan menuju terhentinya penderitaan
Dalam pengembangannya, pengertian benar ini masing-masing terdiri dari tiga tahap, yaitu:
- Sacca nana, pengetahuan bahwa hal ini adalah kebenaran sejati
- Kicca nana, pengetahuan bahwa fungsi tertentu dari kebenaran ini harus dijalankan
- Kata nana, pengetahuan bahwa fungsi-fungsi tertentu dari kebenaran ini telah dijalankan
Dengan cara lain, dalam Kitab Uparipannasa, pengertian benar dirinci menjadi lima tingkat, yaitu:
- Kammassakata sammaditthi
Berarti pengertian benar tentang keselarasan perbuatan (kamma niyama)
yang pada pokoknya menerangkan bahwa setiap perbuatan akan memberikan
akibat yang setimpal; dan setiap mahluk memiliki, mewarisi, terlahir,
berhubungan dan terlindung oleh kammanya sendiri.
- Vipassana sammaditthi
Pengertian benar yang timbul setelah penyadaran jeli terhadap jasmani dan batin (rupa dan nama dhamma)
Pengertian benar ini tidak dapat diperoleh hanya melalui penghafalan
kitab-kitab suci atau pun melalui kecerdasan otak, tetapi timbul dari
pengamatan langsung terhadap aktivitas jasmani dan batin sehingga dapat
menyadari sifatnya yang anicca, dukkha dan anatta.
- Magga sammaditthi
Pengertian benar berupa pengetahuan dalam perenungan terhadap objek indera dan batin sebagaimana adanya sehingga merealisasi magga nana.
- Phala sammaditthi
Pengertian
benar berupa pengetahuan dalam perenungan terhadap objek indera dan
batin sebagaimana adanya sehingga merealisasi phala nana. Begitu
penembusan magga nana terealisasi, maka langsung diikuti dengan phala nana.
- Paccavekkhana samaditthi
Pengertian benar berupa perenungan setelah phala nana atas perealisasian yang telah dicapai.
- Pikiran Benar (Samma sankappa)
Tidak
lain adalah pikiran yang melepaskan kesenangan dunia, dan yang bebas
dari kemelekatan serta sifat mementingkan diri sendiri (nekkhamasankappa). Pikiran yang penuh kemauan baik, cinta kasih, kelemahlembutan, dan yang bebas dari itikad jahat, kebencian, dan kemarahan (avyapadasankappa). Dan pikiran yang penuh belas kasihan, dan yang bebas dari kekejaman dan kebengisan (avihimsasankappa).
Kedelapan
jalan utama di atas meskipun terdiri delapan unsur, namun secara
keseluruhan merupakan kesatuan yang tidak dapat dipisahkan, dan harus
dikembangkan bersama-sama secara harmonis. Sila adalah landasan bagi
samadhi, samadhi adalah landasan bagi panna. Bila panna berkembang, sila
dan samadhi akakn menjadi lebih mantap, dan bila panna sudah sempurna,
maka sila bukan lagi merupakan latihan (sikkha), melainkan akan terwujud dengan sendirinya atau sewajarnya.[5]
Dalam
kehidupan umat Buddha sehari-hari, kedelapan jalan tersebut menjadi
dasar dan pedoman hidup umat Buddha yang dijabarkan dalam konsep Panca Sila, Hasta Sila, Majjhima Sila dan Patimokha Sila.
Panca Sila terdiri dari lima sila yang dilaksanakan oleh umat Buddha biasa dalam kehidupan sehari-hari, yaitu;
- Tidak akan menganiaya atau membunuh;
- Tidak akan mengambil dan memiliki sesuatu yang tidak atas pemberian atau bukan untuknya;
- Akan hidup bersusila;
- Tidak berlaku serong dan zina, tidak berdusta, menipu atau menfitnah; dan
- Menjauhi percakapan-percakapan yang tidak berguna atau harus berkata benar.
Hasta Sila, atau delapan janji, adalah janji para umat awam untuk menjauhi delapan perbuatan yang terlarang, yaitu:
- Tidak akan menganiaya atau membunuh;
- Tidak akan mengambil atau memiliki sesuatu yang tidak atas pemberian atau bukan haknya;
- Tidak akan zina;
- Tidak berdusta, menipu maupun menfitnah dan menjauhi percakapan-percakapan yang tidak berguna;
- Menjauhi segala macam minuman keras maupun makanan yang dapat merusak kesadaran dan memabokkan;
- Tidak akan makan setelah jam 12;
- Tidak menari, menyanyi, bermain musik, melihat pertunjukan, tidak memakai wangi-wangian, perhiasan, dan sebagainya;
- Tidak akan memakai tempat duduk dan tempat tidur yang tinggi dan mewah.
Dasa Sila, atau
sepuluh sila atau janji bagi para bikhu dan samanera, adalah janji
untuk tidak melaksanakan perbuatan yang terdapat dalam atthanga sila
sampai nomor enam, sedang nomor tujuh dipecah menjadi dua sehingga
urutannya adalah: (7) tidak akan menari, menyanyi, bermain musik dan
melihat pertunjukan hanya untuk memuaskan indra saja, (8) tidak akan
memakai wangi-wangian, bunga-bungaan, minyak rambut dan perhiasan
bersolek lainnya; (9) tidak akan memakai tempat duduk dan tempat tidur
yang tinggi dan mewah; dan (10) tidak akan menerima emas dan perak untuk
dimiliki.
Pattimokha Sila adalah
sila utama dan merupakan sila paling tinggi yang dilakukan oleh para
bikkhu atau bikkhuni yang telah menerima panahbisan (upasampada), berupa 227 peraturan dalam kehidupan sehari-hari.
Dengan
melaksanakan dan menjalankan Hasta Arya Marga, seperti telah diuraikan
di atas, umat Buddha akan dapat mencapai nirwana. Dari urutan jumlah
peraturan yang harus ditaati dan larangan yang harus ditinggalkan,
tampak bahwa jalan untuk mencapai nirwana haruslah dengan cara hidup
sebagai atau seperti bikkhu yang menjalani 227 peraturan dalam hidupnya.[6]
[2] Cornelis Wowor, Pandangan Sosial Agama Budha, (Jakarta: CV. Nitra Kencana Buana, 2004), h. 12-14.
BAB III
KESIMPULAN
Secara
umum sama dengan aliran agama Buddha lainnya, Theravada juga
mengajarkan mengenai pembebasan akan dukkha (penderitaan) yang ditempuh
dengan menjalankan sila (kemoralan), samadhi (konsentrasi) dan panna
(kebijaksanaan).
Agama
Buddha Theravada hanya mengakui Buddha Gautama sebagai Buddha sejarah
yang hidup pada masa sekarang. Meskipun demikian Theravada mengakui
pernah ada dan akan muncul Buddha-Buddha lainnya.
Kedelapan
Jalan Tengah itu, secara keseluruhan merupakan kesatuan yang tidak
dapat dipisahkan, dan harus dikembangkan bersama-sama secara harmonis.
Sila adalah landasan bagi samadhi, samadhi adalah landasan bagi panna.
Bila panna berkembang, sila dan samadhi akakn menjadi lebih mantap, dan
bila panna sudah sempurna, maka sila bukan lagi merupakan latihan (sikkha), melainkan akan terwujud dengan sendirinya atau sewajarnya.
Dengan
melaksanakan dan menjalankan Hasta Arya Marga, umat Buddha akan dapat
mencapai nirwana. Dengan syarat menjalankan sejumlah peraturan yang
harus ditaati dan meninggalkan larangan yang harus ditinggalkan, tampak
bahwa jalan untuk mencapai nirwana haruslah dengan cara hidup sebagai
atau seperti bikkhu yang menjalani 227 peraturan dalam hidupnya.
DAFTAR PUSTAKA
Ali, Mukti. Agama-Agama di Dunia. Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga Press. 1988.
Dammanand, Sri. Keyakinan Umat Budha. Jakarta: Karaniya. 2005.
Hadiwijono, Harun. Agama Hindu dan Buddha. Jakarta: PT BPK Gunung Mulia. 1987.
Swabodhi, Pandita D. D. Harsa. Buddha Dharma dan Hindu Dharm. Medan: Yayasan Perguruan Budaya & I. B. C. 1980.
Tanggok, M. Ikhsan. Agama Buddha. Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Jakarta. 2009.
Wowor, Cornelis. Pandangan Sosial Agama Budha. Jakarta: CV. Nitra Kencana Buana. 2004.
[2] Pandita D. D. Harsa Swabodhi, Buddha Dharma dan Hindu Dharma, (Medan: Yayasan Perguruan Budaya & I. B. C, 1980), h. 121.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar