Selasa, 24 Juni 2014

AJARAN BUDDHA DHARMA TENTANG ETIKA

Ajaran Buddha Dharma Tentang Etika
Oleh


BAB I
PENDAHULUAN

Dalam alur sejarah agama-agama, khususnya di India, zaman agama Buddha dimulai semenjak tahun 500 SM hingga tahun 300 M.. Secara historis agama tersebut mempunai kaitan erat dengan agama yang mendahuluinya, namun mempunyai beberapa perbedaan dengan agama yang didahuluinya dan yang datang sesudahnya, yaitu agama Hindu. Sebagai agama, ajaran Buddha tidak bertitik-tolak dari Tuhan dan hubungan-Nya dengan alam semesta dan seluruh isinya, termasuk manusia. Tetapi dari keadaan yang dihadapi manusia dalam kehidupan sehari-hari, khususnya tentang tata susila yang harus dijalani manusia agar terbebas dari lingkaran dukkha yang selalu mengiringi hidupnya.[1]
Kata ‘Etika’ berasal dari bahasa Latin ‘Ethicus’; bahasa Yunani ‘Ethikos’ berarti prinsip-prinsip moril; kesopanan; kebiasaan; tata susila atau kesusilaan. Kalau ditilik dari kata ‘susila’,  maka susila terdiri dari suku ‘su’ dan ‘sila’. Suku ‘su’ tersimpul pengertian baik; bagus, sedangkan kata ‘sila’ mengandung makna: hukum; kaidah; moril; peri-kelakuan; keadaan batin dan sebagainya. Jadi istilah ‘Susila’ bermakna norma moril yang baik atau peri-kelakuan batin yang sesuai dengan norma hukum agama.[2]
Perlunya etika timbul dari kenyataan bahwa manusia tidak sempurna, ia harus melatih dirinya untuk lebih baik. Etika umat budha tidak belandaskan pada adat sosial yang berubah tetapi pada hukum alam yang tidak berubah. Nilai-nilai etika umat Budha pada hakikatnya adalah bagian dari alam dan hukum tetap sebab akibat moral (kamma).[3]


BAB II
PEMBAHASAN
AJARAN BUDDHA DHARMA TENTANG ETIKA

Dalam sistem agama Buddha, Hasta Arya Marga, yang membicarakan masalah perbuatan baik dan buruk, benar dan salah, menempati kedudukan yang sangat penting karena merupakan inti dari seluruh ajaran agama Buddha untuk membebaskan manusia dari dukkha dan mencapai nirwana. Kesunyatan tentang Hasta Arya Marga ini juga dikenal dengan majjhimapattipada; atau jalan tengah, karena ajarannya menghindari dua hal yang ekstrim, yaitu mencari kebahagiaan dengan menuruti hawa nafsu yang rendah dan mencari kebahagiaan dengan jalan menyiksa diri dalam berbagai cara yang dapat ia tempuh (Abdurrahman 1988: 127). Michael D. Coogan mengatakan bahwa, meskipun praktek etika agama Buddha berhasrat untuk mencapai nirwana, namun praktek-praktek etika tersebut tidak sampai mengabdikan perhatiannya untuk mengembangkan kepribadian secara keseluruhan (2005: 163).
Etika Budha diungkapkan dalam sejarah hidup seseorang manusia yang bernama Malunkyaputta, yang diceritakan Budha bahwa dia tidak akan mendengarkan ajaranya sampai dia (Budha) menjawab pertanyaan-pertayaanya, seperti bagaimana duni diciptakan? Dan akankah Budha ada setelah kematian? Budha menjawab pertanyaan dengan membandingkan Malunkyaputta dengan seorang manusia yang telah tetembak oleh anak panah yang beracun tapi panah tersebut tidak mau dicabutnya sampai dokter menceritakan apakah anak panah tersebut  dibuat dari apa, siapa yang menembakan anak panah tersebut  dan seterusnya. Untuk semua pengikut Budha, semua spekulasi adalah subjek untuk seseorang mempraktikan prinsip: prinsip itu akan berharga jika prinsip itu langsung  membantu seseorang menghilangkan “kesakitan akibat anak panah” dan menemukan jalan unuk sampai ke nirwana. Peranyaan dari Malunkyaputta itu adalah bentuk dari spekulasi yang datang secara tiba-tiba.
Selama hidupnya Budha rela melepas kemewahan yang menjadi hak miliknya di lingkungan kerjaan, namun ia tinggalkan semua itu demi menyelamatkan banyak orang. Salah satu cara yang ia tempuh adalah hidup dalam penderitaan. Hidup dalam penderitaan sebagaimana dilakkan Budha adalah perbuatan yag baik, yan dipusatkan pada pembebasan penderitaan diri sendiri dan orang lain. Ini mencakup membantu orang lan mencapai nirwana, meskipun ia sendiri menunda masuk nirwana untuk kepentingan orang lain. Kebijaksanaan memfokuskan pada melihat sesuatu melalui hayalan yang merupakan pengalaman yang lua biasa dalam hidup manusia, dengan demikian mnjadi bebas dari penderitaan diri sendiri.[1]
Etika sosial Buddhis dalam agama Budha hukum-hukum moral bukanlah dibuat atau ditentukan oleh suatu pribadi tertentu, melainkan merupakan bagian tak terpisahkan dari hukum-hukum universal maupun alam yang dapat dipandang sebagai alat untuk mencapai tujuan tertentu dalam taraf rendah, untuk mencapai kehidupan-kehidupan yang bahagia dalam roda kelahiran ini, dan taraf tertinggi untuk mencapai pembebasan/penerangan sempurna. Disamping menjadi petunjuk jalan menuju pembebasan, sang Budha juga menaruh perhatian mendalam terhadap kesejahteraan manusia, dan telah mengajarkan pedoman-pedoman untuk mencapai kebahagiaan dalam kehidupan masyarakat sebagai seorang Bhisakka (dokter), beliau adalah dokter spiritual yan besar, yang meningkatkan keseatan jiwa manusia dan masyarakatnya.
Sifat-sifat ajaran beliau disebutkan sebagai: realistik, rasional, pragmatis dan humanistik. Maka oleh karena itu kita melihat bahwa sang Budha sendiri tidak berminat untuk memperbincangkan masalah-masalah metafisika, melainkan beliau mengutamakan usaha utuk meningkatkan etika masyarakat.
Agama Budha pada awalnya menitikberatkan pada segi etika, pemikiran-pemikiran metafisika bukan saja tak bermanaat, tetapi juga menghambat usaha untuk mencapai tujuan yang tertinggi.[2]
Kedelapan jalan mulia secara garis besar dapat dibagi menjadi sila, samadhi dan panna. Berikut rinciannya:
Ucapan benar
Perbuatan benar
Penghidupan benar

»» Kemoralan (sila)

Usaha/ Daya upaya benar
Perhatian benar
Konsentrasi benar

»» Konsentrasi (samadhi)

Pengertian benar
Pikiran benar

»» Kebijaksanaan (panna)
Sila adalah ajaran kesusilaan yang didasarkan atas cinta kasih dan belas kasih kepada sesama makhluk. Ajaran kasih kepada sesama makhluk ini tampaknya sangat diperhatikan oleh umat Buddha dewasa ini.[3] Termasuk kelompok ini adalah:
  • Ø Ucapan Benar (Samma vaca)
Pada dasarnya adalah ucapan yang bukan dusta / bohong, fitnah, kasar, dan kosong. Seseorang yang berpantang atau menghindari ucapan seperti ini berarti telah berlatih berkata benar. Ucapan benar adalah sammavaca virati, salah satu dari 52 jenis faktor batin (cetasika), yang termasuk dalam kelompok pantangan. Seseorang yang berpantang dari ucapan salah, akan melatih atau melaksanakan ucapan yang berisi kebenaran, ucapan yang dapat dipertanggungjawabkan, ucapan yang lemah lembut, dan ucapan yang berguna.
  • Ø Perbuatan Benar (Samma kammanta)
Adalah perbuatan yang:
  • Bukan pembunuhan terhadap manusia maupun binatang
  • Bukan pencurian atas barang yang berharga / tak berharga yang tak diberikan
  • Bukan perzinahan dengan paksa atau atas dasar suka sama suka
Perbuatan dursila semacam ini dapat terjadi karena kurangnya sifat mulia seperti cinta kasih, belas kasihan dan kepuasan.
Seseorang yang berpantang atau menghindari perbuatan buruk di atas berarti telah melakukan perbuatan benar (sammakammanta virati).
  • Ø Penghidupan Benar (Samma ajiva)
Sekurang-kurangnya adalah penghidupan yang bukan salah satu, sebagian atau semua, dari lima macam perdagangan yang harus dihindari, yaitu: perdagangan senjata pembunuh, perdagangan budak, perdagangan mahluk yang disembelih (daging atau anggota badan lain), perdagangan minuman keras / obat perangsang / obat bius / narkotika, dan perdagangan racun.
Penipuan yang tidak didasari alasan ekonomi, termasuk ucapan salah. Tetapi jika penipuan itu berkaitan dengan perniagaan sebagai mata pencaharian, tentunya tergolong sebagai penghidupan salah.
Begitu juga, penyimpangan hubungan kelamin dengan orang yang terlarang karena alasan tradisi, pemerintahan, agama, jika bukan sebagai mata pencaharian, termasuk perbuatan salah, namun praktik prostitusi tentunya terjajar dalam deretan mata pencaharian yang tergolong sebagai penghidupan salah.
Sementara itu, perdagangan yang melanggar hukum juga dapat dianggap sebagai penghidupan salah.
Bagi para Bhikkhu, penghidupan benar adalah penghidupan yang bersih dari praktik seperti menjadi tukang ramal, dukun, tukang teluh, pesuruh, dan yang bukan merupakan hasil perniagaan dalam bentuk apa pun.
Seperti halnya ucapan benar dan perbuatan benar, penghidupan benar juga dilatih dan dilaksanakan melalui penghindaran atau pantangan (viraati cetasika). Seseorang yang telah menghindari atau berpantang melakukan penghidupan salah berarti telah melaksanakan penghidupan benar.
Samadhi sangat diperlukan dalam membentuk etika dalam agama Buddha. Samadhi dapat melatih mendisiplinkan seseorang dan mental seseorang.[4] Disiplin mental tetdiri dari:
  • Ø Usaha Benar (Samma vayama)
Terdiri dari:
  1. Samvarappadhana, usaha benar dalam mencegah timbulnya hal jahat dan tidak baik yang belum muncul ketika menerima suatu bentuk melalui mata, suara melalui telinga, bau melalui hidung, rasa melalui lidah, sentuhan melalui tubuh, atau kesan melalui pikiran.
  2. Pahanappadhana, usaha benar dalam mengatasi hal jahat dan tidak baik yang sudah muncul seperti: nafsu indera, itikad jahat, dan lainnya.
  3. Bhavanappadhana, usaha benar dalam mengembangkan hal baik yang belum muncul, yaitu unsur-unsur pencerahan agung (bojjhanga) yang terdiri dari: perhatian (sati), penyelidikan Dhamma (dhammavicaya), semangat (viriya), kegiuran (piti), ketenangan (passadhi), konsentrasi (samadhi), dan keseimbangan batin (upekkha).
  4. Anurakkhappadhana, usaha benar dalam mempertahankan hal baik yang telah muncul antara lain, yaitu pemusatan batin pada suatu objek meditasi.
  • Ø Perhatian Benar (Samma sati)
Secara garis besar, berisikan empat landasan pengembangan perhatian murni (satipatthana), yang harus dibangun dengan merenungkan:
  1. Jasmani (kayanupassana)
  2. Perasaan (vedananupassana)
  3. Kesadaran (cittanupassana)
  4. Gejala dan Objek batin (dhammanupassana)
Pelaksanakan empat macam perenungan ini dapat menghapus tuntas:
  1. Kekhayalan atas kesenangan (sukhavipallasa)
  2. Kekhayalan atas kelanggengan (niccavipallasa)
  3. Kekhayalan atas adanya diri/kepemilikan (attavipallasa)
  • Ø Konsentrasi Benar (Samma samadhi)
Konsentrasi yang merupakan penunggalan pikiran pada satu objek (cittekkaggata) ini mempunyai dua jenis tingkat pengembangan, yaitu:
  1. Upacara samadhi, konsentrasi mendekati - jhana
  2. Appana samadhi, konsentrasi penuh di dalam objek - pencapaian jhana
Dalam pencapaian kedua tingkatan di atas, lima rintangan batin (nafsu indera, itikad jahat, kemalasan dan kelambanan batin, kegelisahan dan kekhawatiran batin, serta keraguan skeptis) dapat diendapkan, namun belum dikikis / dihancurkan.
Sedangkan Panna, atau kebijaksanaan luhur dalam Hasta Arya Marga, terdiri dari;
  • Ø Pengertian Benar (Samma ditthi)  
Pada hakekatnya adalah pengertian benar tentang Empat Kebenaran Mulia (Cattari Ariya Saccani), yaitu:
  1. Kebenaran mulia tentang penderitaan
  2. Kebenaran mulia tentang sebab penderitaan
  3. Kebenaran mulia tentang terhentinya penderitaan
  4. Kebenaran mulia tentang jalan menuju terhentinya penderitaan
Dalam pengembangannya, pengertian benar ini masing-masing terdiri dari tiga tahap, yaitu:
  1. Sacca nana, pengetahuan bahwa hal ini adalah kebenaran sejati
  2. Kicca nana, pengetahuan bahwa fungsi tertentu dari kebenaran ini harus dijalankan
  3. Kata nana, pengetahuan bahwa fungsi-fungsi tertentu dari kebenaran ini telah dijalankan
Dengan cara lain, dalam Kitab Uparipannasa, pengertian benar dirinci menjadi lima tingkat, yaitu:
  1. Kammassakata sammaditthi
Berarti pengertian benar tentang keselarasan perbuatan (kamma niyama) yang pada pokoknya menerangkan bahwa setiap perbuatan akan memberikan akibat yang setimpal; dan setiap mahluk memiliki, mewarisi, terlahir, berhubungan dan terlindung oleh kammanya sendiri.
  1. Vipassana sammaditthi
Pengertian benar yang timbul setelah penyadaran jeli terhadap jasmani dan batin (rupa dan nama dhamma) Pengertian benar ini tidak dapat diperoleh hanya melalui penghafalan kitab-kitab suci atau pun melalui kecerdasan otak, tetapi timbul dari pengamatan langsung terhadap aktivitas jasmani dan batin sehingga dapat menyadari sifatnya yang anicca, dukkha dan anatta.
  1. Magga sammaditthi
Pengertian benar berupa pengetahuan dalam perenungan terhadap objek indera dan batin sebagaimana adanya sehingga merealisasi magga nana.
  1. Phala sammaditthi
Pengertian benar berupa pengetahuan dalam perenungan terhadap objek indera dan batin sebagaimana adanya sehingga merealisasi phala nana. Begitu penembusan magga nana terealisasi, maka langsung diikuti dengan phala nana.
  1. Paccavekkhana samaditthi
Pengertian benar berupa perenungan setelah phala nana atas perealisasian yang telah dicapai.
  • Pikiran Benar (Samma sankappa)
Tidak lain adalah pikiran yang melepaskan kesenangan dunia, dan yang bebas dari kemelekatan serta sifat mementingkan diri sendiri (nekkhamasankappa). Pikiran yang penuh kemauan baik, cinta kasih, kelemahlembutan, dan yang bebas dari itikad jahat, kebencian, dan kemarahan (avyapadasankappa). Dan pikiran yang penuh belas kasihan, dan yang bebas dari kekejaman dan kebengisan (avihimsasankappa).
Kedelapan jalan utama di atas meskipun terdiri delapan unsur, namun secara keseluruhan merupakan kesatuan yang tidak dapat dipisahkan, dan harus dikembangkan bersama-sama secara harmonis. Sila adalah landasan bagi samadhi, samadhi adalah landasan bagi panna. Bila panna berkembang, sila dan samadhi akakn menjadi lebih mantap, dan bila panna sudah sempurna, maka sila bukan lagi merupakan latihan (sikkha), melainkan akan terwujud dengan sendirinya atau sewajarnya.[5]
Dalam kehidupan umat Buddha sehari-hari, kedelapan jalan tersebut menjadi dasar dan pedoman hidup umat Buddha yang dijabarkan dalam konsep Panca Sila, Hasta Sila, Majjhima Sila dan Patimokha Sila.
Panca Sila terdiri dari lima sila yang dilaksanakan oleh umat Buddha biasa dalam kehidupan sehari-hari, yaitu;
  1. Tidak akan menganiaya atau membunuh;
  2. Tidak akan mengambil dan memiliki sesuatu yang tidak atas pemberian atau bukan untuknya;
  3. Akan hidup bersusila;
  4. Tidak berlaku serong dan zina, tidak berdusta, menipu atau menfitnah; dan
  5. Menjauhi percakapan-percakapan yang tidak berguna atau harus berkata benar.
Hasta Sila, atau delapan janji, adalah janji para umat awam untuk menjauhi delapan perbuatan yang terlarang, yaitu:
  1. Tidak akan menganiaya atau membunuh;
  2. Tidak akan mengambil atau memiliki sesuatu yang tidak atas pemberian atau bukan haknya;
  3. Tidak akan zina;
  4. Tidak berdusta, menipu maupun menfitnah dan menjauhi percakapan-percakapan yang tidak berguna;
  5. Menjauhi segala macam minuman keras maupun makanan yang dapat merusak kesadaran dan memabokkan;
  6. Tidak akan makan setelah jam 12;
  7. Tidak menari, menyanyi, bermain musik, melihat pertunjukan, tidak memakai wangi-wangian, perhiasan, dan sebagainya;
  8. Tidak akan memakai tempat duduk dan tempat tidur yang tinggi dan mewah.
Dasa Sila, atau sepuluh sila atau janji bagi para bikhu dan samanera, adalah janji untuk tidak melaksanakan perbuatan yang terdapat dalam atthanga sila sampai nomor enam, sedang nomor tujuh dipecah menjadi dua sehingga urutannya adalah: (7) tidak akan menari, menyanyi, bermain musik dan melihat pertunjukan hanya untuk memuaskan indra saja, (8) tidak akan memakai wangi-wangian, bunga-bungaan, minyak rambut dan perhiasan bersolek lainnya; (9) tidak akan memakai tempat duduk dan tempat tidur yang tinggi dan mewah; dan (10) tidak akan menerima emas dan perak untuk dimiliki.
Pattimokha Sila adalah sila utama dan merupakan sila paling tinggi yang dilakukan oleh para bikkhu atau bikkhuni yang telah menerima panahbisan (upasampada), berupa 227 peraturan dalam kehidupan sehari-hari.
Dengan melaksanakan dan menjalankan Hasta Arya Marga, seperti telah diuraikan di atas, umat Buddha akan dapat mencapai nirwana. Dari urutan jumlah peraturan yang harus ditaati dan larangan yang harus ditinggalkan, tampak bahwa jalan untuk mencapai nirwana haruslah dengan cara hidup sebagai atau seperti bikkhu yang menjalani 227 peraturan dalam hidupnya.[6]


[1] M. Ikhsan Tanggok, Agama Buddha (Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Jakarta, 2009), h. 67-72.

[2] Cornelis Wowor, Pandangan Sosial Agama Budha, (Jakarta: CV. Nitra Kencana Buana, 2004), h. 12-14.
[3] M. Ikhsan Tanggok, Agama Buddha, h. 67.
[4] M. Ikhsan Tanggok, Agama Buddha, h. 69.
[5] Mukti Ali, Agama-Agama di Dunia, h. 128.
[6] Mukti Ali, Agama-Agama di Dunia, h. 128-129.



BAB III
KESIMPULAN

Secara umum sama dengan aliran agama Buddha lainnya, Theravada juga mengajarkan mengenai pembebasan akan dukkha (penderitaan) yang ditempuh dengan menjalankan sila (kemoralan), samadhi (konsentrasi) dan panna (kebijaksanaan).
Agama Buddha Theravada hanya mengakui Buddha Gautama sebagai Buddha sejarah yang hidup pada masa sekarang. Meskipun demikian Theravada mengakui pernah ada dan akan muncul Buddha-Buddha lainnya.
Kedelapan Jalan Tengah itu, secara keseluruhan merupakan kesatuan yang tidak dapat dipisahkan, dan harus dikembangkan bersama-sama secara harmonis. Sila adalah landasan bagi samadhi, samadhi adalah landasan bagi panna. Bila panna berkembang, sila dan samadhi akakn menjadi lebih mantap, dan bila panna sudah sempurna, maka sila bukan lagi merupakan latihan (sikkha), melainkan akan terwujud dengan sendirinya atau sewajarnya.
Dengan melaksanakan dan menjalankan Hasta Arya Marga, umat Buddha akan dapat mencapai nirwana. Dengan syarat menjalankan sejumlah peraturan yang harus ditaati dan meninggalkan larangan yang harus ditinggalkan, tampak bahwa jalan untuk mencapai nirwana haruslah dengan cara hidup sebagai atau seperti bikkhu yang menjalani 227 peraturan dalam hidupnya.

DAFTAR PUSTAKA

Ali, Mukti. Agama-Agama di Dunia. Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga Press. 1988.
Dammanand, Sri. Keyakinan Umat Budha. Jakarta: Karaniya. 2005.
Hadiwijono, Harun. Agama Hindu dan Buddha. Jakarta: PT BPK Gunung Mulia. 1987.
Swabodhi, Pandita D. D. Harsa. Buddha Dharma dan Hindu Dharm. Medan: Yayasan Perguruan Budaya & I. B. C. 1980.
Tanggok, M. Ikhsan.  Agama Buddha. Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Jakarta. 2009.
Wowor, Cornelis. Pandangan Sosial Agama Budha. Jakarta: CV. Nitra Kencana Buana. 2004.


 


[1] H.A. Mukti Ali, Agama-Agama di Dunia, (Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga Press, 1988), h. 101.
[2] Pandita D. D. Harsa Swabodhi, Buddha Dharma dan Hindu Dharma, (Medan: Yayasan Perguruan Budaya & I. B. C, 1980), h. 121.
[3] Sri Dammanand, Keyakinan Umat Budha, Karaniya (Jakarta: 2005), h. 210-213.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar