Selasa, 24 Juni 2014

UPACARA KELAHIRAN SAMPAI PERKAWINAN DALAM AGAMA HINDU

Upacara Kelahiran Sampai Perkawinan dalam Agama Hindu

Oleh :
Suartinih dan Shalhing

Pendahuluan      
Dalam agama Hindu banyak terdapat praktek-praktek upacara dalam kegiatan yang menyangkut kegiatan keseharian serta kerohanian yang mereka jalani dalan kesehariannya.Seperti  bagaima menusia yang masih dalam benih sang ibu,saat ia dilahirkan sampai menuju jenjang perkawinan.
Upacara bayi dalam kandungan
Dalam agama hindu,ritual atau upacara yang dilakukan ketika bayi masih dalam kandungan disebut Magedog-gendongan.Upacara ini dilakukuan setelah kandungan berusia di bawah lima bulan.Upacara ini bertujuan untuk membersihkan dan memohon keselamatan jiwa si bayi agar kelak menjadi orang yang berguna untuk dalam masyarakat nanti.
Tata cara upacara magedog-gendongan:
Dilakukan di dalam pemandian di dalam rumah,ibu yang sedang mengandung disucikan,di tempat suci itu disertakan pula alat upacara berupa benang hitam satu ikat yang kedua ujungnya diikatkan pada cabang kayu dadap,bambu runcing,air berisikn ikan yang masih hidup,ceraken dibungkus dengan kain lalu cabang kayu dadap yang terikat dengan kayu dadap ditancapkan pada pintu gerbang.Ceraken yang berisi air dan ikan dijinjing oleh sang ibu,sang suami memegang dengan tangan kiri,sedangkan tangan kanan suami memegang bamboo,air suci dipercikan pada sesajian yang telah disediakan,.setelah itu suami istri bersembahyang memohon keselamatan agar bayi yang di dalam kandungan  selamat sampai lahirnya nanti tanpa hambatan,upacara ini disertakan pula mantra-mantra sepertidi Bali digunakan mantra Matrpuja Nadisraddhadan dan Prapajapalopuja yang samata-mata dilakukan untuk keselamatan ibu.[1]
Kelahiran bayi 
Upacara Jatakarma yaitu upacara kelahiran bayi yang dilaksanakan ketika  sebelum tali pusar bayi itu terputus,jika tali pusar si bayi sudah terlanjur lepas,harus dibuatkannya suatu upakara yang bertujuan untuk membersihkan secara spiritual tempat-tempat suci dan bangunan-bangunan yang ada disekitarnya. 
 Tata cara upacara Jatakarma                     
Pusar si bayi dibungkus dalam secarik kain lalu dimasukkan ke dalam sebuah kulit  ketupat kecil,disertai dengan sejenis rempah-rempah yang khasiatnya menghangatkan,seperti cengkeh.Lalu ketupat kecil ini digantung menghadap arah kaki tempat tidur si bayi 
.Terdapat tiga macam tujuan dari upacara ini,yaitu
  • Medha Jhana,yaitu diadakan upacara ini untuk menumbuhkan intelektual atau kepintaran anak.Pada saat upacar berlangsung,sang ayah memberikan satu sendok kecil madu atau minyak dari susu kepada bayinya,di telinga bayi itu  sang ayah mengucapkan mantra Gayatri.Tujuan dari semua ini adalah agar bayi tumbuh cerdas ,rupa yang bagus,dan kesehatan yang baik karena unsure madu dan minyak susu itu merupakan sumber kecerdasan,wajah dan kesehatan.
  • Ayusya,yaitu upacara yang bertujukan adanya umur panjang bagi si bayi tersebut.Pada telinga kanannya,sang ayah mengucapkan mantra yang berbunyi :”Api adalah berumur panjang,melalui dewa api memohon kepada tuhan agar anak itu diberikan umur panjang,air adalah berumur panjang,melalui dewa air memohon kepada tuhan agar anak itu diberikan umur panjang,laut adalah umur panjang…..”dan seterusnya.
  • Kekuatan  juga dimohonkan untuk pengucapan mantra-mantra kehadapan tuhan,antara lain: Anggad anggad sambhaswasi hrdayadaadhhijase,atma wai putranawabhasi sajiwa saradah satam.Artinya :jadikanlah sekuat batu,jadikanlah sekuat baja,jadikanlah sekuat emas anak kami ya Tuhan,semoga menganugrahi kehidupan seratus tahun.[2]
Perbedaan-perbedaan 
Terdapat beberapa perbedaan dalam upacara Jatakarma dalam umat Hindu di India dan umat Hindu di Indonesia.Jika di India sehari sebelum melahirkan,sang ibu dianjurkan memasuki kamar yang telah disediakan khusus untuk proses kelahiaran,yang telah pula diberikan doa-doa untuk mengusir kekuatan negative serta penjagaan terhadap kekuatan negatife yang akan masuk.Pada saat proses kelahiran,sang ibu berbaring,lalu semua pintu kamar dibuka tetapi pintu rumah luar ditutup,konon cara seperti ini juga digunakan di Jerman ketika proses kelahiran berlangsung.Pada saat itu pula diucapkan doa-doa untuk melindungi ibu dan bayinya dari gangguan-gangguan negative.Pada tradisi umat Hindu di Hindia,tidak adanya doa ataupun upacara mengenai ari-ari. 
Lain pula halnya di Indonesia,dalam kepercayaan umat Hindu di Indonesia,beranggapan bahwa mulai saat setelah lahir,pada saat itu juga bayi itu diasuh oleh Sang Hyang Kumara ,dan untuk itu pula dibuatkan  sebuah tempat bayi itu tidur yang disebut pelangkir Kumara.Sang Hyang Kumara ini ditugaskan oleh Bhatara Siswa menjadi pengasuh serta pelindung anank-anak yang seketika itu giginya belum tanggal.Sesajen untuk Kumara ini berisi nasi putih dan nasi kuning  yang berisikan telur dadar,sepotong kecil pisang mas,geti-geti,gula jawa(gula bali yang direbus),serta minyak wangi dan bunga-bungaan yang harum,terutama yang berwarna putih dan kuning.Dalam kepercayaan umat Hindu,Kumara adalah seorang dewa yamg tidak mau mempunyai keturunan sehinnga tetap sebagai teap menjadi anak-anak,tetap suci dan lugu,Jika seorang bayi tertawa kecil sendiri,tiu daanggap sedang bermain-main dengan penjaganya yaitu Kumara.Tentang masalah ari-ari di Indonesia,hal ini termasuk masalah penting dalam penanganannya.
Upacara setelah kelahiran bayi  
Upacara Bajong Colong atau Ngerorasin adalah upacara pergantian nama terhadap Catur Sanak, dan mempersiapkan nama baru untuk sang anak  yang dilaksanakan ketika bayi berumur  12 hari.Tujuan dari upacara ini adalah untuk keselamatan bayi karena terpisah dangan catur sanak dan memperkuat kedudukan Atman atau roh sang bayi dengan sekaligus membersihkan badan halus bayi itu dari kotoran  yang dibawa dari rahim ibu.Umat Hindu Indonesia khususnya di Bali,pada saat upacara ini berlangsung dilakukan pula pemberian nama.Di India,pemberian nama disebut Namakarana.
Tata cara upacara  Bajong Colong 
Sejumlah lilin dinyalakan dan potongan lidi berisi kapas dibasahi oleh minyak yang dsulut api atau di Bali disebut dengan Linting.Jumlah Linting yang digunakan adalah jumlah sesuai” urip”kelahiran bayi tersebut.Pada setiap Linting digantungkan daun rontal atau kertas yang telah disiapkan nama-nama yang telah disiapkan oleh orangtuanya,hal demikian dilakukan pada zaman dahulu ,sekarang pemberian ataupun penambahan atau penggantian nama tidak lagi menggunakan ketentuan ini lagi,sekarang begitu bayi lahir telah disiapkan namanya. 
Upacara kambuhan 
Upacaran ini adalah upacara pembersihan orangtua dan bayinya terhadap lingkungan luarnya.upacara ini dilakukan ketika bayi beurmur 42 hari.Karena sebelum bayi berumur 42 hari,orang tua terutama ibu dianggap kotor sehinnga belum diperkenankan masuk ke tempat yang suci. 
Upacara Tigang Sasih 
Upacara ini diadakan ketika bayi berumur  tiga bulan,di India upacara ini disebut Niskarmana,yang berarti dalam bahasa inggris adalah first ounting yaitu membawa bayi keluar untuk pertama kalinya.Di Indonesia,upacara ini dilaksanakan ketika bayi berumur 105 hari,perhitungan ini terjadi dikarenakan terhitung satu bulan berumur 35 hari.
Tata cara upacara Tigang Sasih
Di India dalam upacara ini,di sekitar pekarangan rumah dibuatkan bentuk segi empat yang di dalamnya disebarkan beras oleh sang ibu bayi tersebut,Di atas tebaran beras itu dibuatkan gambaran swastika.Dari tempat itulah sang bayi diajak melihat mentari pagi.Sebelum ditebari beras,persegi empat itu diolesi seluiruhnya dengan lumpur  tanah liat,lalu sang ayah menggendong bayinya dengan muka bayinya itu diarahkan ke matahari.Bayi itu dipakaikan pakaian yang layak serta indah kemudian diajak ke tempat pemujaan rumah itu(sanggar keluarga).Pemujaan di tempat itu diantar oleh pendeta serta diiringi oleh bunyi-bunyian musik,lalu sang pendeta mengucapkan mantra weda kehadapan tuhan dengan disaksikan oleh para dewa penjaga kedelapan penjuru angin serta dewa mataharidewa bulan dan dewa angkasa.Ayah sang bayi tidak berhenti-hentinya mengucapkan mantra Wisnu-dharmottar.Setelah upacara ini berakhir,sang bayi diberikan kepada pamannya dari pihak ibu yang terus memangkunya,serta diberikan hadiah-hadiah .
Lain halnya di Indonesia,upacara ini diadakan rumah tangga sendiri atau di rumah pendeta tidak di pura(tempat pemujaan umum).Upacara ini dianggap penting oleh umat Hindu karena hanya dilakukan sekali seumur hidup.
Upacara weton 
Upacara ini dilaksanakan setiap 6 bulan sekali,tidak lain tujuan dari upacara ini adalah memohon kepada tuhan yang maha esa untuk keselamatan bayi tersebut,tetapi bukan hanya bayi yang dimintai keselamatannya saja tetapi juga untuk semua hewan dan tumbuhan agar dapat subur dan panjang umurnya.


Perkawinan dalam agama Hindu
Pengertian perkawinan
Adalah merupakan ikatan batin antara pria dan wanita yang akan melaksungkan pernikahan.Pengertian ini juga tertera dalam Undang-Undang No.1 Tahun 1979,pasal 1,yang bertujuan untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan tuhan yang maha esa.
Perkawinan atau vivaha dalam agama Hindu mempunyai ari dan kedudukan yang khusus di dalam kehidupan manusia yaitu awal jenjang grhstha.Di dalam kitab Manava Dharmasastra bahwa pernikahan itu bersifat religius(sakral)dan wajib hukumnya,ini dianggap mulia karena bisa memberi peluang kepada anak untuk menebus dosa-dosa leluhurnya agar bisa menjelma atau menitis kembali ke dunia.[3]
Syarat-syarat perkawinan
Syarat perkawinan terdiri dari dua faktor,yaitu secara:
  • Batiniah,yaitu:
  1. pernikahan yang berdasarkan cinta sama cinta
  2. mempelai harus agama yang sama
  • lahiriah, yaitu:
  1. faktor usia
  2. bibit,bebet,bobot
  3. tidak terikat oleh suatu perkawinan dengan pihak lain[4]
di dalam masyarakat Hindu,khususnya di Bali, terdapat beberapa cara yang dapat dilakukan untuk perkawinan yang merupakan bentuk pejabaran dari bentuk perkawinan yang diungkapkan dalam Pustaka Manawa Dharmasastra, diantaranya: mempadik, ngerorod, nyentana, melegandang.[5]
Mempadik (meminang), bentuk ini adalah bentuk yan dianggap sebagai paling terhormat .Yang melakukan pinangan ini adalah berasal dari pihak laki-laki (purusa),yang datang memenuhi pihak perempuan(pradhana) dan telah mendapatkan persetujua dari kedua pihak.[6]
mempelai memadik memiliki tatanan sebagai berikut :
ü  Pedewasaan(mencari hari baik)
dari pihak keluarga laki-laki mulai memohon hari baik(dewasa),biasanya memohon kehadapan sulinggih atau  seorang yang sudah biasa memberikan dewasa(Nibakang Padewasaan).
ü  Penjemputan calon pengantin wanita
Pada saat penjemputan ke rumah calon pengantin wanita,dari pihak laki-laki harus diikuti oleh semua keluarga besarnya beserta unsur-unsur prajuru adat(kelihan adat).prajuru dinas(kelihan dinas).Demikian juga dari pihak calon pengantin wanita serta calon pengantinnya.
ü  Ngetok lawang
Sebelum pelaksanaanm ngetok lawang,sang calon pengantin pria mengucapkan beberapa pantun,yang akan bersambut-sambutan pantun oleh calon pengantin wanita.[7]
ü  Cara meleksanakan Yadya Sesa (sagehan)
Taruh sagehan tersebut di bawah,di atas sagehan diisi canang,ditancapkan sebuah dupa yang sudah mengandung api,dengan posisi menghadap ke jalan atau menghadap kedua calon pengantin,lalu mmemercikan tetabuhan dangan beraturan.Adanya tatanan upacara ini adalah mengandung nilai spiritual dan nilai etika dan menghasilkan dikaruniai anak yang sempurna.
ü  Upacara perkawinan.
Tata upacara ini memiliki dua tahapan,yaitu:
  1. 1.      Upacara mekala-mekala,yang berarti “menjadikan seperti kala”yaitu upacara yang dibuat agar identik dengan kekuatan kala(energy yang timbul),agar  kekuatan kala yang bersifat negative bias menjadi kala hita  atau berubah menjadi mutu kedewataan yang disebut”DAIWISAMPAD”
  2. Upacara pekala-kalaan
Ngerorod(merangkat)
Adalah suatu sistem  orangtua berdasarkan cinta sama cinta namun tidak mendapatkan persetujuan dari salah satu pihak orang tua atau kedua pihak orangtua mereka,tetapi mereka tetap ingin melakukan pernikahan,dengan jalan melarikan calon pengantin wanita ke calon pengantin pria.Sistem perkawinan ini tetap  dianggap sah,karena telah tertera sejak dahulu.[8]
Tata cara pelaksanaan perkawinan ngerorod ini dapat dijelaskan sebagai berikut :
ü  Pengelukuan(pengandeg)
Setelah dilarikannya pengantin wanita ke rumah calon pengantin pria,maka dari pihak pria mengutus beberapa sanak keluarganya untuk dating ke rumah calon pengantin wanita sambil membawa lampu lenterang yang telah menyala,dengan tujuan untuk memberitahukan kepada pihak orangtua dan calon pengantin wanita,bahwa anak gadisnya tersebut telah menyatakan kawin dengan pria itu.Disaat itu pula sang utusan menunjukkan sehelai surat pernyataan dari si gadis menyatakan diri sudah kawin dengan seorang pria berdasarkan cinta sama cinta.
ü  Penetes
Yaitu prajuru banjar atau kepala lingkungan(kelihan dinas)bersama kelihan adat banjar datang ke rumah calon pengantin setelah ada laporan bhwa ada salah satu warga banjar akan melangsungkan perkawinan.
ü  Tata cara pelaksanaan
Terdapat tiga tatanan dalam pelaksanaan tata cara perkawinan ini yang tidak lain seperti tata cara memadik,yaitu melalui:
  1. Pelaksanaan upacara mekala-kalan
  2. Upacara mejaya-jaya
  3. Upacara pewarang atau mejauman
Berbicara tentang kelangsungan pelaksanaan upacara di atas,tergantung dari persetujuan pihak pengantin wanita
Nyentana(nyeburin)
Menurut arti bahasa indonesianya,mungkin sam dengan perkawinan”ambil anak” yaitu mengawini anak laki-laki untuk masuk menjadi anggota pihak keluarga wanita dan tinggal pula di sana.Nyentana dikenal pula dengan sebutan pekidih atau diminta,artinya si laki-laki tersebut diminta menjadu menantu dan meneruskan keturunan pihak wanita.
Perkawinan ini umumnya dilakukan karena si wanita merupakan anak semata wayang dan tidak mempunyai saudara pria.Seandaiya ia melakukan perkawinan secara biasa,maka ia keluar dari keluarganya,sehingga tidak ada lagi yang meneruskan ketueunan keluarga tersebut.[9]
Adalah perkawinan yang didasarkan atas cinta sama cinta antara kedua pihak.Berdasarkan hukum Hindu di Bali menganut system patrelinial,yaitu bahwa lak-laki adalah hukum kepurusan.
Tata cara pelaksanaan :
Mengenai tata cara pelaksanaan nyetana ini sama hal nya seperti tta cara membadik,jika membadik  calon pengantin pria yang meminag calon pengantin wanita,sedangkan pada nyentana ini caon pengantin pria yang di pinang oleh pengantin wanita serta pelaksanaan perkawinannya pun di laksanakan oleh keluarga pengantin wanita.[10]
 Bentuk-bentuk perkawinan 
Di dalam tatanan kehidipan agama Hindu,khususnya di Bali memiliki beberapa bentuk perkawinan  menurut petunjuk dari Manawa Dharmasastra Sloka 25-34,yang menyebutkan sebagai berikut:
Brahma Wiwaha
Mendapatkan calon istri yang berdsarkan cinta sama cinta,terlebih dahulu dihias.
Daiwa Wiwaha
Mendapatkan calon istri yang berdasarkan cinta sama cinta dan sebelum pelaksanaan pernikahannya dihias oleh pendeta.
Arsa Wiwaha
Seorang ayah yang mengawinkan anaknya,dengan menerima mas kawin dari calon pengantin pria berupa dua pasang lembu untuk memenuhi peraturan dharma.
Prajapati Wiwaha
Mendapatkan calon istri sete;lah mendapatkan restu dari orangtua pihak wanita berupa ucapan mantra yang berisi doa restu sebagai berikut :”semoga kamu berdua melaksanakan kewajiban-kewajiban bersama-sama”.
Setelah itu  pengantin wanita  memberikan penghormatan kepada calon suaminya.
Asura Wiwaha
Jika pengantin pria menerima  seorang perempuan berdasarkan cinta sama cinta,setelah memberikan mas kawin kepada pengantin wanita berdasarkan kemampuan serta di dorong oleh keinginan sendiri.
Gandarwa Wiwaha
Pertemuan   antara laki-laki dan wanita dan timbul nafsunya untuk melakukan hubungan suami istri tanpa adanya ikatan pernikahan
Raksasa Wiwaha
Melarikan seorang gadis secara paksa dari rumahnya,sanpai menangis.berteriak-teriak disertai dengah membunuh keluarga dan merusak rumah gadis tersebut
Paisaca Wiwaha
jika laki-laki mencuri-curi,memperkosa wanita yang sedang tidur,sedang mabuk atu bingun
Dengan nemikian bentuk perawinan yang masih dilaksanakan oleh umat Hindu khususnya di Bali adalah dari bentuk perkawinan Brahma Wiwaha sampai Prajapati Wiwaha.Pustaka Manawa Dharmasastra 39,menyebutkan sebagai berikut :

BRAHMADISU WIWAHESU
            CATURSWEWANUPURWACAH,
BRAHMWARCASWINAH
            JAYANTE CISTASAMMATAH.
Maksudnya :
Dari sudut macam perkawinan yang diiuraikan  berturut-turut di mulai dari cara Brahma Wiwaha sampai Prajapati Wiwaha akan lahir putra yang gemilang di dalam pengetahuan weda dan dimuliakan oleh orang-orang budiman.

 DAFTAR PUSTAKA

Sudarsana, Putu. Ajaran Agama Hindu. Denpasar : Mandara Saatra, 2002
Sudharta, Tjok Rai. Manusia Hindu. Denpasar : Yayasan Dharma Naradha, 1993.
I nyoman Arhtayasa,dkk. Surabaya : Paramitha, 1998











 Tjok Rai Sudharta, Manusia hindu (Denpasar:Yayasan Dharma Naradha, 1993), h. 10-11
Sudharta, Manusia hindu, h. 17-18
I nyoman Arthayasa, Perkawinan Agama Hindu (Surabaya:PARAMITA,1998), hal. 1-3
Arthayasa, Perkawinan Agama Hindu, h. 11-12
Sudharta, Manusia hindu, h. 73
Sudharta, Manusia hindu, h. 118
Putu Sudarsana, Ajaran Agama Hindu(Denpasar: Mandara Sastra, 2002), h. 12-25
Sudarsana, Ajaran Agama Hindu, h. 73
Sudharta, Manusia hindu, h. 135
Sudarsana, Ajaran Agama Hindu, h. 76



[1]
[2]
[3]
[4]
[5]
[6]
[7]
[8]
[9]
[10]

AJARAN BUDDHA DHARMA TENTANG KETUHANAN DAN BAKTI PUJA



AJARAN BUDDHA DHARMA TENTANG KETUHANAN DAN BAKTI PUJA
Oleh:
Ipan Fahmi Fauzillah dan Rodiah Adawiah

Pendahuluan
Sebagaimana kita ketahui, banyak agama-agama di dunia ini yang memfokuskan perhatiannya tehadap pemujaan pada tuhan dan makhluk-makhluk suci lainnya, namun para umat buddha di dunia telah memfokuskan pada tokoh buddha atau siddharta gautama sebagai seorang manusia yang menemukan bagaimana membawa penecerahan dari penderitaan dan keluar dari lingkaran hidup dan mati. Cara umat buddha untuk berhubungan dengan buddha adalah melalui penghormatan, sebagaimana orang lain dapat memuja kekuatan-kekuatan diluar alam atau dewa-dewa yang mereka yakini dapat memberikan pertolongan kepadanya dan sanak keluarganya.
Telah dijelaskan pula bahwa dalam agama buddha tidak mengenal konsep ketuhanan yang maha esa, yang ada adalah nibbana atau kesempurnaan sejati. Nibbana bisa dicapai dengan melaksanakan Jalan Mulia Berunsur Delapan. Tentu saja akan timbul pertanyaan dalam diri para umat serta simpatisan Buddhis bahwa apabila Nibbana atau Tuhan dalam Agama Buddha tidak memiliki konsep seperti pemahaman umum yang dikenal dalam masyarakat, lalu bagaimanakah umat Buddha seharusnya berdoa? Ini akan kita bahas dalam bhakti puja.
Agama buddha adalah religi humanitis, berpusat pada diri manusia sendiri dengan segala kekuatannya yang dapat dikembangkan hingga mencapai kesempurnaan. Berbeda dengan religi otoriter, yang menghendaki penyerahan, kepasrahan atau ketergantungan terhadap kekuatan diluar manusia.


Pembahasan
A.  Konsep Ketuhanan Buddha Dharma
Tak dapat dikatakan bahwa didalam ajaran agama buddha seperti yang terdapat didalam kitab pitaka terdapat ajaran tentang tuhana atau tokoh yang dipertuhankan. Tujuan hidup bukan untuk kembali kepada asalanya, yaitu tuhan. Melainkan unuk masuk kedalam nirwana, pemadaman, suatu suasana yang tanpa kemauan, tanpa perasaan, tanpa keinginan tanpa kesadaran, suatu keadaan dimana orang tidak lagi terbakar oleh nafsunya. Itulah situasi damai.
Oleh karen itu ada ahli-ahli agama yang tidak mau mengakui, bahwa buddhisme adalah suatu agama. Buddhisme adalah suatu falsafah, suatu usaha akal manusia untuk mencari kedamaian dengan rumusan-rumusan yang sistematis mengenai sebab dan akibat[1]. Akan tetapi pendapat yang demikian adalah keliru. Memang harus diakui bahwa sebutan tuhan atau tokoh yang dipertuhan tidak ada. Yang ada adalah nirwana, pemadaman, situasi padam, bukan tokoh yang memadamka. Tak ada gagasan tentang suatu pribadi yang ada dibelakang suasana damai itu. Tak ada gagasan tentang pemberi hukum, tata tertib, baik yang alamiah mauun yang moril. Tiada gambaran tentang yang disembah dan yang menyembah. Sekalipun demikian, dibelakang segala pernyataan yang negatif itu terdengar juga seruan manusia akan yang dipertuhan tadi.
Ajaran agama-agama tentang keyakinan terhadapa tuhan yang maha esa berbeda-beda. Sekalipun tampaknya ada hal-hal yang bertentangan terdapat pula hal-hal yang sama, yaitu dia adalah yang mutlak, yang sering dipahami dan dialami sebagai misteri, rahasia yang mengatasi dunia.
Buddha mengajarkan ketuhanan tanpa menyebut nama tuhan. Tuhan yang tanpa batas, tak terjangkau oleh alam pikiran manusia, tidak diberikan suatu nama, karena dengan sendirinya nama itu akan memberi pembatasan kepada yang tidak terbatas. Dalam agama buddha tuhan tidak dipandang sebagai suatu pribadi (personifikasi), tidak bersifat antropomorfisme (pengenaan ciri-ciri yang berasal dari wujud manusia) dan antropopatisme (pengenaan pengertian yang berasal dari perasaan manusia).
Buddha tidak mengajarkan teisme fatalistis dan determinis yang menempatkan suatu kekuasaan adikodrati merencanakan dan menakdirkan hidup semua makhluk. Teisme semacam itu mengingkari kehendak bebas manusia dan dngan sendirinya swajarnya juga meniadakan tanggung jawab moral perbuatan manusia .
  • Buddha Trasenden
Bagi mereka yang menganggap buddha dilahirkan sebagai orang hindu dan meninggal juga sebagai orang hindu, buddha adalah salah satu awatara. Awatara berarti ititsan atau perwujudan tuhan yang maha esa dalam memulihkan ketentraman dunia. Kitab purana menyebutkan ada 10 awatara, dan buddha adalah awatara yang kesembilan[2].
Thuben chordon melihat ada tiga cara pandang mengenai siapa sebenarnya buddha. Cara yang pertama, melihatnya sebaagai buddha historis, yang dilahirkan sebagai manusia yang kemudian meninggal dunia. Ia seorang penunjuk jalan, yang sekaligus memberi contoh kepada manusia. Cara yang kedua adalah dengan memahami buddha sebagai manifstasi keluhuran yang trasenden, yang muncul dalam berbagai bentuk dan simbol untuk berbagai fungsi. Ada banyak buddha yang masing-msing menonjolkan salah satu aspek dari nilai-nilai kebuddhaan. Hakikat dari semua manifestasi yang beragam sesungguhnya adalah sama. Cara yang ketiga memahaminya sebagai buddha masa mendatang, yang muncul dalam diri kita, karena kita semua memiliki potensi untuk menjadi buddha.
  • Trikaya
Hakikat kebudhaan dharmakaya yang absolut. Yang mutlak ini bersifat kekal, meliputi segalanya, tidak dibatasi olh ruang dan waktu, bukan realitas personifikasi, esa, beban dari pasangan yang berlawanan, ada dengan sedirinya, bebas dari pertalian sebab akibat. Tubuh dharma ini disebut juga rahim tathagata (tathagata garbha).
Keterlibatan dalam dunia yag bersifat relatif dimungkinkan jika buddha mengambil bentuk yang berwujud dan tampak secara fisik sehingga dapat dipahai dan diterima oleh segala makhluk. Dengan car itu buddha bekerja untuk menyelamatkan dunia[3]. Tubuh yang tampak tersebut adalah sambhogakaya dan nirmanakaya. Sambhogakaya, yaitu tubuh rahmat aatu tubuh cahaya, sering dinyatakan dalam perwujudan surgai yang dapat dilihat oleh makhluk surga dan boddhisatwa. Seorang buddha menyadari kebuddhaan dengan memiliki tubuh ini. Buddha memiliki tubuh cahaya untuk mengajar para boddhsatwa. Nirmanakaya yaitu tubuh perubahan yang dapat dilihat oleh manusia. Dipakai untuk mengajar manusia biasa. Buddha gotama sebagai buddha historis adalah wujud nirmanakaya.
  • Adi Buddha
Dalam agama buddha terdapat banyak buddha, tetapi hanya ada satu dharmakaya. Dharmakaya yang merupakan sumber perwujudan panca dhyani buddha dinamakan adi buddha. ”buddha tanpa awal dan akhir adalah adi buddha”[4]. Sebutan adi buddha berasal dari tradisi aisvarika (isvara, tuhan, maha buddha), aliran mahayana di nepal, yang menyebar lewat benggala, hinnga dikenal pula di jawa.
Adi buddha merupakan buddha primordial, yang esa atau dinamakan juga paramadhi buddha (buddha yang pertama dan tiada banding). Adi buddha timbl dari kekosongan (sunyata) dan dapat muncul dalam berbagai bentuk sehingga disebut visvarupa serta namanya pun tidak terbilang banyaknya. Adi buddha sering diidentifikasikan sebagai salah satu buddha mistis, berbeda-beda menurut sekte. Dengan memahami arti dari setiap sebutan yang maha esa, yang maha pengasih, yang maha tahu dan sebagainyayang bermacam-macam, sama menunjuk dari sifat tuhan yang satu.
Konsep adi buddha terdapat dalam kitabnamangsiti, karandavyuha, svayambhupurana, maha vairocanabhisambodhi sutra, guhya samaya sutra, tattvasangraha sutra, dan paramadi buddhodharta sri kalacakra sutra. Di indonesia sikenal dengan kitab namangsiti versi chandrakirti dari sriwijaya dan sanghyang kama hayanikan dari zaman pemerintahan mpu sendok.
Walau umat buddha menyebut tuhan yang maha esa dengan nama yang berbeda-beda. Undang-undang RI no.43 tahun 1999 (perubahan atas UU no. 8 tahun 1974  tentang pokok-pokok kepegawaian), sebagaimana peraturan pemerintah  RI no. 21 tahun 1975 (tentang sumpah/janji pegawai negri sipil), menyatakan dalam pengucapan sumpah atau janji bagi mereka yang beragama buddha, kata-kata “demi allah” diganti dengan “demi sang hyang adi buddha”[5].
  • Manifestasi Keyakinan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa
Keyakinan terhadap tuhan yang maha esa dengan sebutan atau nama yang berbeda-beda adalah pengakuan akan kebesaran tuhan yang tak dapat dijelaskan secara tepat . tingkat pemahaman akan hakikat tuhan bisa berbeda-beda pada setiap manusia. Keyakinan ini membawa konsekuensi kepada kita untuk bersikap saling menghormati, toleran, memelihara kerukunan dan bekerjasama antar pemeluk agam dan penganut kepercayaan yang berbeda, apalagi antar sekte.
Keyakinan bahwa tuhan yang maha esa mengatasi dunia, mendorong agar kita mengembangkan pemahaman, hingga mampu membebaskan diri dari semua rintangan duniawi, melalui penembusan bodhi, untuk sapai kepadanya. Karena tuhan yang maha esa itu juga maha tinggi, maha luhur, maha suci, maha sempurna, manusia yang percaya dan memujanya akan selalu mencinati segala sifat-sifatnya yang mulia, mengembangkan sifat-sifat itu dalam diri masing-masing. Salah satunya brahma vihara atau kediaman luhur yang bisa diarikan sebagai rumah tuhan yaitu cinta kasih (metta), welas asih (karuna), simpati (mudita) dan keseimbangan batin (upekkha).
Keyakinan terhadap tuhan yang maha esa sebagai kebenaran mutlak atau dharma yang mnguasai dan mengatur alam smesta, serta melindungi mereka yang melaksanakan kebenaran membuat kita selalu menjauh kejahatan dan tidak menentang hukum alam. Menyadari kehadirannya yang tidak dibatasi ruang dan waktu, membuat kita senantiasa merasa dekat dengannya dalam kehidupan sehari-hari, didunia luar hingga hati.
Beriman itu membuat seorang buddha dengan mantap memiliki kekuatan, selalu berusaha untuk meninggalkan hal-hal yang baik,bersemangat sekuat tenaga melatih dan tidak melepaskan tanggung jawab. Kebjikan orang yang memilii keyakinan harus dapat dikenali dari tiga hal, ia berhasrat untukmenemui orang-orang yang bijaksana, berhasrat untuk mendengarkan dharma, dan dengan hati yang bebas dari keserakahan, ia hidup dengan murah hati, bekerja tanpa suka mencela, suka berdana, suka menolong, dan berbagi dengan orang lain.
Berdasarkan uraian diatas, bahwa untuk memahami konsep ketuhanan dalam Agama Buddha, perlu dimengerti terlebih dahulu bahwa dalam masyarakat pada umumnya terdapat dua cara pendekatan. Pertama, tuhan dikenal melalui bentuk manusia. Oleh karena itu, tidak jarang dijumpai istilah tuhan melihat umatnya, atau tuhan mendengar doa umatnya serta masih banyak lainnya.
Pendekatan kedua, tuhan dikenal melalui sifat manusia. Misalnya, tuhan marah, tuhan cemburu, tuhan mengasihi, tuhan adil, serta masih banyak istilah sejenis lainnya. Berbeda dengan yang telah disampaikan, ketuhanan dalam agama buddha tidak menggunakan kedua cara di atas. Agama buddha menggunakan aspek nafi atau penolakan atas segala sesuatu yang dapat dipikirkan oleh manusia. Jadi, pengertian nibbana atau tuhan dalam agama buddha adalah yang tidak terlahirkan, yang tidak menjelma, yang tidak bersyarat, yang tidak kondisi. yang tidak terpikirkan, serta masih banyak kata tidak lainnya. Secara singkat, tuhan atau nibbana adalah mutlak, tidak ada kondisi apapun juga. Pendekatan yang berbeda ini sehubungan dengan ketidakmampuan bahasa manusia untuk menceritakan segala sesuatu bahkan hal sederhana yang ada di sekitar hidup manusia. Misalnya, seseorang tidak akan pernah mampu menceritakan rasa maupun bentuk durian kepada orang yang sama sekali belum pernah melihat durian. Sepandai apapun juga orang itu bercerita, si pendengar tetap mengalami kesulitan untuk membayangkannya, apalagi jika membahas mengenai bau durian yang khas. Pasti tidak mungkin terceritakan. Untuk itu, cara yang jauh lebih mudah menjelaskan hal ini adalah dengan membawa contoh durian asli untuk dikenalkan kepada si pendengar. Setelah melihat bendanya, mencium aromanya, si pendengar pasti segera menganggukkan kepada penuh pengertian.
B.  Konsep Bhakti Puja dalam Buddha Dharma
Banyak orang sering menyebutkan secara keliru bahwa umat buddha melakukan sembahyang di vihara. Untuk itu, sebaiknya harus dimengerti terlebih dahulu istilah sembahyang yang sebenarnya terdiri dari dua suku kata yaitu sembah berarti menghormat dan hyang yaitu dewa. Dengan demikian, sembahyang berarti menghormat, menyembah para dewa. Apabila sembahyang diartikan seperti itu, maka umat buddha sesungguhnya tidak melakukan sembahyang. Umat buddha bukanlah umat yang menghormat maupun menyembah para dewa. Umat buddha mengakui keberadaan para dewa dewi di surga, namun umat tidak sembahyang kepada mereka. Umat buddha juga tidak berdoa karena istilah ini mempunyai pengertian ada permintaan yang disebutkan ketika seseorang sedang berdoa[6]. Umat buddha tentu saja tidak pernah meminta kepada arca sang buddha maupun kepada pihak lain. Keterangan ini jelas menegaskan bahwa umat buddha bukanlah penyembah berhala karena memang tidak pernah meminta-minta apapun juga kepada arca sang buddha, arca yang lain bahkan kekuatan di luar manusia lainnya. Daripada disebut sembahyang maupun doa, umat buddha lebih sesuai dinyatakan sedang melakukan puja bakti. Istilah puja bakti ini terdiri dari kata puja yang bermakna menghormat dan bakti yang lebih diartikan sebagai melaksanakan ajaran sang buddha dalam kehidupan sehari-hari.
Dalam melakukan puja bakti, umat buddha melaksanakan tradisi yang telah berlangsung sejak jaman sang buddha masih hidup yaitu umat datang, masuk ke ruang penghormatan dengan tenang, melakukan namakara atau bersujud yang bertujuan untuk menghormat kepada lambang sang buddha, jadi bukan menyembah patung atau berhala. Kebiasaan bersujud ini dilakukan karena sang buddha berasal dari India. Sudah menjadi tradisi sejak jaman dahulu di berbagai negara timur termasuk India bahwa ketika seseorang bertemu dengan mereka yang dihormati, maka ia akan melakukan sujud yaitu menempelkan dahi ke lantai sebagai tanda menghormati mereka yang layak dihormati dan menunjukkan upaya untuk mengurangi keakuan sendiri.
Karena bersujud di depan altar ataupun arca Sang Buddha hanyalah bagian dari tradisi, maka para umat dan simpatisan boleh saja tidak melakukannya apabila batinnya tidak berkenan untuk melakukan tindakan itu. Tidak masalah, karena sebentuk arca tidak mungkin menuntut dan memaksa seseorang yang berada di depannya untuk bersujud. Namun, dengan mampu bersujud, maka seseorang akan mempunyai kesempatan lebih besar untuk berbuat baik dengan badannya. Ia belajar bersikap rendah hati.
Setelah memasuki ruangan dan bersujud, umat buddha dapat duduk bersila di tempat yang telah disediakan. Umat kemudian secara sendiri atau bersama-sama dengan umat yang ada dalam ruangan tersebut membaca paritta yaitu mengulang kotbah sang buddha. Diharapkan dengan pengulangan kotbah sang buddha, umat mempunyai kesempatan untuk merenungkan isi uraian dhamma sang buddha serta berusaha melaksanakannya dalam kehidupan sehari-hari. Dengan demikian, semakin lama seseorang mengenal dhamma, semakin banyak ia melakukan puja bakti, semakin banyak kotbah sang buddha yang diulang, maka sudah seharusnya ia semakin baik pula dalam tindakan, ucapan maupun pola pikirnya.
Salah satu contoh yang paling mudah ditemukan adalah kebiasaan umat membaca karaniyametta Sutta di vihara. Sutta atau kotbah sang buddha ini berisikan cara memancarkan pikiran penuh cinta kasih kepada semua mahluk di setiap waktu, ketika seseorang sedang berdiri, berjalan, berbaring, berdiam selagi ia tidak tidur. Diharapkan, dengan sering membaca sutta tersebut seseorang akan selalu berusaha memancarkan pikiran cinta kasih kepada lingkungannya. Ia hendaknya menjadi orang yang lebih sabar dari sebelumnya. Disebutkan pula dalam salah satu bait sutta tersebut bahwa jangan karena marah dan benci mengharapkan orang lain celaka. Pengertian baris cinta kasih ini sungguh sangat mendalam dan layak dilaksanakan. Dengan mampu melaksanakan satu baris ini saja dalam kehidupan, maka batin seseorang akan menjadi lebih tenang dan bahagia walaupun berjumpa dengan kondisi yang tidak sesuai keinginannya. Ia akan menjadi orang yang mampu mengendalikan dirinya. Dengan demikian, setiap kali ia hadir dan berkumpul maka ia akan selalu membawa kebahagiaan untuk lingkungannya.
Itulah makna sesungguhnya dari pengertian puja bakti yaitu menghormat dan melaksanakan ajaran sang buddha. Sekali lagi, umat buddha tidak berdoa, juga tidak sembahyang. Namun, sebagai manusia biasa, adalah wajar apabila umat buddha mempunyai keinginan atau permintaan, misalnya ingin banyak rejeki, ingin kaya dan sebagainya. Jika demikian, bagaimanakah yang dilakukan oleh umat buddha agar keinginan atau harapan yang ia miliki tersebut dapat tercapai?
Untuk mencapai keinginan yang dimiliki, secara tradisi umat buddha disarankan untuk melakukan kebajikan terlebih dahulu dengan badan, ucapan dan juga pikiran. Setelah berbuat kebajikan, ia dapat mengarahkan kebajikan yang telah dilakukan tersebut agar memberikan kebahagiaan seperti yang diharapkan.
  • Berdoa Bukan Meminta
Doa yang paling sering kita dengar adalah berbagai jenis permohonan. Kalaupun mengandung pujian, biasanya diikuti dengan permintaan. Ketika menghadapi penderitaan, kesulitan dan ketakutan, banyak orang berdoa meminta pertolongan. Seperti dalam mite rahu, sang surya berdoa saat gerhana matahari. Doa dalam mora parita juga memohon pertolongan dan perlindungan. Ini tidak salah, tetapi sembahyang atau doa saja tidak cukup untuk memecahkan masalah[7]. Kepada anathapindika, buddha pernah mengemukakan bahwa kebanyakan orang mendambakan panjang usia, kecantikan, kebahagiaan, kehormatan dan alam surga. Kelima hal itu tidaklah tercapai hanya dengan berdoa. Untuk mencapai apa yang diinginkan janganlah bergantung pada doa atau bersikap pasrah tak berdaya, tapi ia harus berusaha menempuh jalan kearah itu. Setiap orang dapat merubah nasibnya dengan berusaha melakukan apa yang terbaik.
Sehari-hari dapat kita lihat orang yang meminta agar keinginannya dipenuhi orang lain bersikap merendah atau juga menjilat hingga menyogok, dan menuntut. Jika doa diartikan meminta, dan ternyata yang diharkan sesorang tidak terkabul, mungkin timbul kemudian rasa jengkel dan kecewa. Bagi seorang buddhis, rahmat dan berkah tuhan, kasih buddha, perlindungan tritana tidak hanya bagi orang yang meminta. Tanpa meminta, apa yang diharapkan pasti akan datang pada waktunya sebagai buah dari perbuatan (karma). Karena itu orang berdoa seraya mawas diri, buddha selalu melindungi, buddha selalu memancarkan kasih sayangnya yang tidak terbatas.
Contoh doa dalam syair shanti deva (abad ke 7)[8].
Semoga aku menjadi penwar rasa sakit bagi semua makhluk 
Semoga aku menjadi dokter dan perawat bagi semua orang sakit
Semoga aku dapat memberi makan dan minum semua yang menderita lapar dan kehausan
Semoga aku menjadi mestika yang tak ternilai bagi orang-orang miskin
Smoga aku menjadi pembela bagi mereka yang dicampakan terlantar dipinggir jalan
Semoga aku menjadi perahu dan titian bagi mereka yang merindukan pantai sebrang
Semoga aku menjadi elita penerang bagi mereka yang tersesat jalan.
Shanti deva tidak berdoa agar menjadi kaya, tatapi apa yang diharapkannya jelas tidak akan tercapai tanpa kekayaan. Doanya bukan meminta, malah menunjukan untuk bisa memberi.
  • Parrita dan Mantra
Parrita adalah bacaan perlindungan yang dalam pengertian sekarang disamakan dengan doa. Pembacaan parita bermula dari petunjuk buddha kepada siswanya untuk mengucapkan bacaan tertentu agar terhindar dari kesulitan atau telindung dari kejahatan. Misalnya angulimala parrita yang dibacakan menjelang suatu persalinan. Berasal dari formula pernyataan kebenaran dan doa agar ibu dan bayiny selamat, yang diajarkan oleh buddha gotama kepada angulimala untuk menolong perempuan yang menghadapi kesukaran melahirkan.
Selanjutnya adalah mantra. Mantra adalah rumusan mistis suku-suku kata yang dipandang suci dan mengandung kekuatan gaib. Pada mulanya sebuah sutra panjang diringkas menjadi beberapa bait kalimat yang disebut hrdaya (ikhtisar). Hrdaya ini diringkas menjadi dharani yang hanya terdiri dari satu atau dua baris kalimat, yang selanjutnya diringkas lagi menjadi mantra yang terdiri dari beberapa suku kata.
Konsep mantra berkembang dai keyakinan agar kegunaan suara (sabda) sebagai sumber suatu kekuatan atau bahkan sebagai kekuatan itu sendiri yang memiliki pengaruh kuat terhadap diri manusia dan alam semesta. Agar suatu mantra menjadi efektif setelah dibaca berulang-ulang dengan mulut atau dengan hati, ia harus dibangkitkan didalam kesadaran seorang melalui integrasi psiofisik dan meditasi yang mendalam. Tanpa konsentrasi mendalam dan meditasi, mantra tidak memiliki kekuatan[9].
  • Persembahan
Berdoa (bhakti puja) dapat dilakukan secara pribadi atau bersama. Dalam suatu upacara, berdoa dapat dilakukan dengan ataupun tanpa mempersembahkan sajian. Untuk melakukan upacara persembahan karena buddha dan boddhisattwa mwmwrlukan persembahan itu. Tidak juga suatu persembahan dimaksudkan untuk mengambil hati mereka. Memberi persembahan bukan keharusan, tetapi biasany dilakukan sebagai cara untuk mengembangkan potensi batin dan melatih pikiran kita. Lewat persembahan kita mengikis egoisme, melenyapkan kemelekatan dan kekikiran. Kita membiasakan diri untuk memberi apa yang terbaik dengan terimakasih yang tulus, gembira berbagi, tanpa merasa kehilangan. Para buddha dan boddhisattwa menerima persembahan tanpa membawanya pergi.
Setiap sajian yang dipersembahkan memiliki makna simbolik. Pelita atau lilin melambangkan penerangan, menghapus saput kegelapan dan ketidaktahuan. Air selain membersihkan juga melambangkan kerendahan hati. Dupa yang harum dengan asap membumbung keatas mengingatkan kepada harumnya nama baik dan kebajikan menyebar kemana-mana hingga ke surga. Bunga mengingatkan ketidak kekalan sehingga kita terdorong untuk mencapai kebebasan.

Daftar Pustaka

Ali, Mukhti.H.A, Agama-agama di Dunia.Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga Press.1988.
Mukti, Krishanda Wijaya, Wacana Buddha Dharma. Jakarta: Yayasan Dharma Pembangunan. 2006.
Tanggok, M. Ikhsan,  Agama Buddha. Jakarta: Lembaga Penelitian Uin Jakarta. 2009.
Hadiwijono, Harun, Agama Hindu dan Buddha, Jakarta: PT. BPK Gunung Mulia. 1987.
Mahatera, Narada.Sang Buddha danAjaranya.Jakarta: Yayasan Dharmadipa Arama 1994.






[1] Harun Hardiwijono, Agama Hindu Dan Buddha, PT. BPK Gunung Mulia, Jakarta, 1987, h. 77
[2] Krishnanda Wijaya. Wacana Buddha Dharma, Yayasan Dharma Pembangunan, Jakarta 2006. h. 43
[3] Lihat Trevor O. Ling, “Buddha Kaya”, h. 156-157
[4] Krishnanda Wijaya. Wacana Buddha Dharma, Yayasan Dharma Pembangunan, Jakarta 2006. h. 49
[5] Krishnanda Wijaya. Wacana Buddha Dharma, Yayasan Dharma Pembangunan, Jakarta 2006. h. 51
[7] Krishnanda Wijaya. Wacana Buddha Dharma, Yayasan Dharma Pembangunan, Jakarta 2006. h. 97
[8] T.L Vaswani. Mengikuti Jejak Buddha, diterjemahkan oleh Edij, Bandung: Karaniya, 1989, h. 14-15
[9] Suwarto T. Buddha Dharma Mahayana, Jakarta: Majelis Agama Buddha Mahayana indonsia, 1995, h. 121-122.